Opini  

Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas

Picture by Binanalar

Karena berkali-kali, Trump berseru bakal mencegah masuknya imigran ilegal dari Meksiko ke AS dengan membangun dinding pembatas pada perbatasan Meksiko-AS sepanjang 3.100 kilometer. “Saya tidak tahu ada apa dengan budaya baru yang mempertahankan wilayah dengan cara membangun tembok. Kita sudah pernah mengalami yang seperti ini, di (Tembok) Berlin, itu membuat kita pening dan menderita,” ujar pemimpin Gereja Katolik Roma itu, seperti dikutip dari Huffpost, Rabu (29/5/20).

“Barang siapa, siapa pun itu, yang hanya ingin membangun dinding (pembatas) dan bukan jembatan, ia bukanlah seorang Kristen,” seru Paus Fransisikus, pada Kamis (18/2/20), dalam perjalanan pulang pasca-kunjungannya di Meksiko selama lima hari.[2]

Baca Juga:

Doa: Sarana yang Menghasilkan Buah

Di sana, Paus berkhotbah tentang tragedi kemanusiaan yang dialami para migran akibat aksi kekerasan di seluruh dunia. Sepertiga dari bentangan garis perbatasan itu kini telah dilengkapi pagar berkeamanan tingkat tinggi. Menurut Paus bukan tembok yang seharusnya dibangun tetapi jembatan penghubung, jembatan kemanusiaan. Trump kemudian menanggapi dengan keras pendapat Paus itu. Menurut Trump, mempertanyakan keyakinan seseorang seperti yang dilakukan Paus yang merupakan pemimpin agama, “Ialah hal yang memalukan.” Trump dalam hal ini mati-matian tetap pada posisinya.

Baca juga :  Hal Berpuasa

Kurang lebih kita bisa menebak beberapa alasan Trump bertindak demikian. Pertama, untuk menjaga keamanan dan stabilitas sosial serta pemerintahan. Kedua, menghindari ancaman dari luar. Ketiga, mencari aman (comfort zone). Keempat, memang sengaja menutup diri dengan dunia luar (tetangga). Kelima, untuk keperluan politik dan Keenam, ingin menghindari persoalan-persoalan pelik lainnya. Keenam alasan ini kurang lebih menjadi representasi sekaligus background dari kebijakan tembok Trump tersebut.

Baca juga :  Curhat Si Anak Pengemis Pada Sang Ibu || Lembar Sastra

Bukan hanya pada kasus Trump ini, di beberapa negara lain di Eropa yang tak sempat diliput media pun berbuat demikian. Di Indonesia fenomena “membangun tembok” semacam itu amat jelas terlihat. Di Jakarta ditemukan ratusan gedung pencakar langit. Gedung dibangun setinggi mungkin dan ratusan tembok memagari gedung tersebut. Rumah-rumah di berbagai kota besar di Indonesia pun demikian. Di bagian luarnya banyak dipagari tembok-tembok tinggi. Di Yogyakarta kita saksikan sendiri. Beberapa rumah memiliki pagar pembatas yang kokoh, tembok-tembok yang tinggi dan menjulang.