Opini  

Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas

Picture by Binanalar

Penaclaret.com – Dewasa ini, banyak orang suka hidup di balik tembok. Entah itu tembok biara, tembok rumah pribadi, tembok rumah dinas, tembok apartemen, tembok sekolah, tembok perusahan, tembok antarnegara, dan tembok-tembok lainnya. Tembok-tembok tersebut dibangun dengan rapi, kuat, terencana dan sistematis. Menggunakan segala macam cara, sarana, material yang ada untuk menunjang kekokohannya. Ada yang terbuat dari kayu, besi, baja, batu, logam, dan bahkan ada yang terbuat dari emas murni. Bahkan beberapa negara di Eropa dan Amerika menyediakan budget khusus untuk membangun tembok tersebut.

Baca juga :  Nusantara: Peradaban Klasik yang Hilang Dulu dan Kini

Kita pasti mengingat, salah satu program unggulan dari mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump beberapa tahun silam. Dalam kampanye politiknya kala itu salah satu program kerjanya ialah membangun tembok pemisah di perbatasan Meksiko. Sebagai suatu startegi politik, “progam tembok” tersebut ternyata sukses menumbangkan rivalnya Hillary Clinton dalam pesta demokrasi saat itu.[1] Beliau akhirnya melenggang ke Gedung Putih dan menjadi Presiden Amerika Serikat berkat politik tembok tersebut. Di kemudian hari tembok tersebut benar-benar dibangunnya dengan kucuran dana dari para pendukungnya.

Baca Juga:

Covid-19 dan Guncangan Pendidikan Indonesia

Tak sedikit orang yang mengkritik kebijakan tersebut. Salah satunya datang dari Tahta Suci, Vatikan, Roma, Italia. Paus Fransiskus pada saat itu mengecam Donald Trump  atas kebijakannya itu. Dalam wawancaranya dengan stasiun berita Meksiko Televisa, pemimpin umat Katolik sedunia itu memperingatkan Trump agar tidak melanjutkan kebijakan pemisahan keluarga-keluarga imigran.