Tidak mengenal, tidak mencintai. Pepatah ini menggarisbawahi pentingnya pengenalan terhadap seseorang atau sesuatu. Pengenalan yang tepat akan menghasilkan tindakan yang tepat. Hemat saya, prinsip ini juga berlaku bagi pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Nusantara. Kebanyakan konstruksi sejarah Nusantara dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan egoistik dan narsistik penguasa. Tidak mengherankan kalau berbagai kegalauan yang kita alami akibat tindakan diskriminatif dan separatis terhadap pihak yang dilyankan dikonstitusikan oleh pembelokan sejarah. Salah mengetahui dan memahami akan menelurkan tindakan-tindakan yang salah.
Nusantara: Surga Dunia yang Pernah Hilang
Kita mengenal Arab, India, Eropa, dan Cina sebagai pembentuk peradaban dunia. Mereka berkontribusi bagi pembentukan paradigma kita mengenai dunia dan manusia. Pada zaman klasik, Nusantara kemungkinan besar hanya eksis dalam imajinasi dan angan-angan manusia. Nusantara pernah digambarkan sebagai Surga duniawi, tujuan akhir ziarah manusia, dipenuhi dengan aroma surgawi dari bunga dan buah-buahan, dan dihuni oleh banyak makhluk alegoris seperti phoenix dan alconost (salamander)[1]. Surga ini redup oleh gelapnya kerakusan bangsa-bangsa kolonialis. Kecemburuan dan kerakusan mereka menenggelamkan kekayaan-kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Mereka hanya melihat eksotisme Nusantara dari sisi kekayaan sumber daya alam, yakni rempah-rempah, minyak, mineral, dan sebagainya. Namun di lain sisi, menihilkan kekayaan peradaban yang ada padanya.
Nusantara adalah sebuah cagar kebudayaan yang sangat eksotis dan seksi. Lama tenggelam dalam aras kerakusan kolonialis, ia kembali menemukan keunikannya dalam diskursus modern. Nusantara ibarat sebuah cagar yang dimukimi oleh berbagai kebudayaan besar (Eropa, Cina, India, dan Arab). Menariknya bahwa kebudayaan-kebudayaan tersebut hidup berdampingan dan bahkan melebur menjadi satu. Hal lain yang menarik adala kehadiran budaya-budaya tersebut tidak menihilkan kekhasan dan keunikan Nusantara. Salah satu buktinya adalah bahasa. Denys Lombard mencatat bahwa Bahasa lokal Nusantara tidak berubah dalam persentuhannya dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain, walaupun mengampiloper kata-kata tertentu dari bahasa lain seperti Dravida, Semit, dan China[2]. Pengambiloperan ini tidak terlepas dari persentuhan Nusantara dengan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Letak sosio-geografis Nusantara sangat memungkinkan persentuhan tersebut. Dengan demikian kita patut mengamini bahwa identitas Nusantara adalah Hybrid.
Kondisi sosio-grafis Nusantara menjadi kapital berharga persentuhannya dengan yang lain. Sejak abad V hingga abad XV nusantara telah berfungsi sebagai tempat perjumpaan dan persilangan berbagai budaya. Secara geografis, nusantara terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kenyataan geografis ini menunjukan bahwa Nusantara dekat dengan India. Sejalan dengan itu, kesatuan daerah ini dekat dengan Laut Tengah Cina yang daerahnya banyak mendapat pengaruh dari Cina[3]. Nusantara adalah sebuah laboratorium raksasa untuk meneliti konsep tradisi, dan etnisitas. Nusantara juga mengandung kekayaan kultural di dalam dirinya. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa Nusantara merupakan tempat pemukiman berbagai bangsa yang tersebar di antara pulau-pulau. Berbagai literatur klasik menggambarkan kenyataan ini.
Secara konseptual, kata Nusantara berasal dari dua kata Sansekerta: nusa yang berarti ‘pulau’ dan antara yang berarti ‘di antara’ atau ‘termasuk’. Dalam teks-teks Jawa kuno, nūsāntara diterjemahkan sebagai ‘pulau-pulau lain’. Kata nusantara muncul dalam sebuah prasasti tertanggal 1305 dan dalam manuskrip Jawa pada sekitaran abad XIV dan XV. Dokumen tertulis yang paling terkenal adalah Pararaton. Sebuah teks Jawa yang mengisahkan tentang kerajaan Singhasari dan Majapahit dan leluhur mitos mereka Ken Anrok. Teks ini melaporkan bahwa Gadjah Mada, menteri utama Kerajaan Majapahit, bersumpah (sumpah palapa) (1334). Ia akan menahan diri dari menggunakan rempah-rempah dengan makanannya sampai sejumlah kerajaan di Nusantara di pinggiran Kerajaan Majapahit didirikan[4]. Nusantara diidentikan dengan jejeran pulau-pulau. Sampai saat ini Nusantara (Indonesia) memiliki 17.000-an pulau. Kenyataan ini mengafirmasi kekayaan kultur Nusantara.
Kekayaan yang Hilang
Nusantara sudah lama menjadi destinasi kebudayaan-kebudayaan besar. Letaknya yang strategis dan kekayaan alam dan budayanya menjadikannya objek yang eksotis dan seksi untuk dikunjungi dan bahkan dieksploitasi bangsa-bangsa lain. Berbagai kebudayaan yang datang dan berbaur membentuk kebudayaan lokal. Namun, hasil asimilasi antara kebudayaan-kebudayaan tidak pernah menghilangkan kekhasan dari kebudayaan lokal (Nusantara). Namun demikian, kita tetap mengamini bahwa perjumpaan antarkultur bumi Nusantara telah memperkaya dan membangun kebudayaan Nusantara secara dinamis.
Identitas nusantara sudah merupakan hibriditas antara budaya lokal dan budaya asing. Nusantara selalu ada dalam perjumpaannya dengan yang lain. Lautnya yang mahaluas mengafirmasi kenyataan ini. Sudah sejak lama, Nusantara berdiri pada kakinya sendiri. Namun pada saat yang sama tetap menghargai kelyanan dari yang lain. Berkaca pada kenyataan ini, kita patut mengafirmasi bahwa kekayaan ini perlahan-lahan sirna. Kontestasi elektoral dengan mengusung kemurnian identitas yang ‘kaufinistik’ perlahan-lahan meminggirkan laboratorium kultur ini. Pada akhirnya kita menyaksikan sendiri mewabahnya berbagai tindakan diskriminatif, separatis, dan ekstrimis dalam kehidupan publik Nusantara. Nusantara sedang mengalami kegalauan dengan identitasnya.
Nusantara: Relasi Antarbudaya
Permenungan terhadap wawasan Nusantara membuat saya meratapi fenomena kehidupan bewarganegara saat ini. Dalam konstestasi elektoral pemikiran biner (aku-dia, kita-mereka) selalu dijadikan jargon utama untuk meraih suara. Interkonektivitas antarbudaya dan antaretnis telah menjadi persoalan. Kita melupakan bahwa relasi antarbudaya dan antaretnis telah menjadi modus vivendi (cara hidup) orang-orang Nusantara sejak dulu. Modus vivendi ini menjadi sumbangan berharga Nusantara bagi pembangunan peradaban dunia. Hemat saya, modus vivendi ini menjadi penanda utama Nusantara. Nusantara adalah cagar budaya. Perbedaan kultur dan agama ini memukimi berbagai pulau yang kita namakan Nusantara. Sejak dulu tidak ada pertentangan antara aku-dia dan kita-mereka. Semua bangsa mendiami teritori Nusantara membentuk jalinan kekitaan yang berjalan dinamis dan harmonis. Inilah kekayaan dan kontribusi besar bangsa ini bagi pembentukan peradaban dunia yang kental dengan keharmonisan dan solidaritas. Kita semua dipanggil untuk berelasi dan hidup berdampingan dengan lyan. Nasionalisme etnis yang sedang bertumbuh perlu disikapi secara kritis.
[1]Tatyana Alexentsev, “Images of Nusantara in Russian Literature by Vladimir I. Branginsky; Elena M. Diakonova”, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 74, No. 1, (2001), 128.
[2]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1987), 2.
[3]Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya,11-12.
[4]Hans-Dieter Evers, “Nusantara: History of a Concept”, dalam Journal of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society, Vol. 89, No. 310, (2016), 3-4.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.