Opini  

Neoliberalisme, Krisis Multidimensi, dan Signifikansi Transformasi Paradigma Pembangunan

Neoliberalisme
Sumber gambar: ekonomi.kompas.com

ClaretPath.com – Tidak dapat kita pungkiri bahwa sistem ekonomi neoliberalisme dewasa ini telah berekspansi ke negara-negara dunia ketiga. Ia telah menjadi paradigma mainstream dalam dalam sistem pembangunan.

Di Indonesia misalnya, tanpa disadari, paradigma pembangunan ala neoliberalisme sudah gencar sejak lama. Namun yang menjadi pertanyaanya, apakah paradigma mainstream ini membawa kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Sulit menjawab pertanyaan ini. Alasannya, neoliberalisme sering mempertontonkan realitas ambivalensi. Alih-alih membawa bonum commune, dalam praksisnya, sangat meresahkan. Tulisan ini hendak membongkar kedok sistem ekonomi neoliberalisme. Tesis tulisan ini ialah sistem ekonomi neoliberalisme memicu lahirnya krisis multidimensi. Karena itu, upaya transformasi paradigma pembangunan adalah sesuatu yang mutlak (conditio sine qua non).

Memahami Neoliberalisme

Sistem ekonomi neoliberalisme merupakan reinkarnasi dari sistem ekonomi kapitalis liberal klasik Adam Smith. Smith adalah seorang ahli ekonomi berkebangsaan Skotlandia. Ia dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1723. Pada usia 14 tahun, ia pergi ke Universitas Glasgow. Di sana ia belajar moral, matematika, dan ekonomi politik. Setelah menyelesaikan studi ia terpilih menjadi ketua jurusan filsafat moral dan sekaligus profesor filsafat moral di universitas tersebut.[1]

Gagasan ekonomi Smith bertolak dari situasi kemiskinan yang melanda masyarakat Skotlandia akibat kemajuan industri, bank, dan perdagangan. Ia melihat bahwa persoalan ekonomi, yang notabene merupakan persoalan praktis, sesungguhnya bisa menjadi tema pembicaraan para pelaku bisnis bersama dengan para akademisi. Atas dasar itu, ia mendirikan sebuah “political economy club”. Klub ini kemudian beranggotakan banyak orang dari berbagai kalangan, meliputi pelaku bisnis, akademisi, politisi, teknisi dan bahkan tukang roti.[2]

Dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nation, Smith berbicara tentang masyarakat pasar. Smith melihat bahwa pasar dan pembagian kerja adalah tonggak penting yang dapat membuat masyarakat pasar menjadi lebih rasional.[3]

Tentang pembagian kerja, Smith mengikuti John Locke. Ia menegaskan, pembagian kerja menyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban modern. Penjelasan kemajuan ini dapat mencakup tiga fenomena:[4]

  • Pertama, pembagian kerja meningkatkan kerajinan pada setiap pekerja khusus, yang pada gilirannya membuat kondisi hidup mereka menjadi lebih baik.
  • Kedua, pembagian kerja menyebabkan efisiensi waktu.
  • Ketiga, pembagian kerja mendorong munculnya sejumlah mesin baru yang berguna untuk mempercepat proses produksi, menghemat tenaga dan mengurangi para pekerja.

Kemudian tentang pasar bebas, Smith bertolak dari realitas pengalaman masyarakat Skotlandia. Menurutnya, masyarakat Skotlandia yang berprofesi sebagai pembuat keju awalnya mengalami kesulitan menjual hasil produksinya karena pasar masih relatif kecil. Namun ketika ada akses perdagangan antardaerah dan antarnegara, tingkat produksi dan distribusi barang-barang sangat cepat. Atas dasar itu, Smith mengatakan bahwa selain pembagian kerja (spesialisasi), pasar juga merupakan faktor kedua yang mendorong terciptanya kemakmuran rakyat.[5]

Pasar Bebas, Apa Itu?

Lantas apa yang dimaksud pasar bebas? Pemikiran Smith tentang pasar bebas menyentuh dua dimensi, yakni filosofis dan ekonomi.[6] Secara filosofis, Smith melihat pasar bebas sebagai perwujudan kebebasan kodrati manusia dalam bidang ekonomi. Setiap individu secara bebas memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang ingin dilakukannya. Keputusannya itu pada giliranya sebisa mungkin akan menyumbang terwujudnya suatu masyarakat yang lebih baik dan lebih makmur.[7]

Kemudian dari segi ekonomi, Smith menegaskan bahwa perdagangan bebas akan menguntungkan setiap negara yang terlibat di dalamnya. Alasannya, perusahaan di dalam negara tidak hanya menjual barang-barang mereka di dalam negeri, tetapi juga di arena internasional. Produktivitas dalam negeri akan dengan sendirinya meningkat karena dipasarkan secara luas.[8]

Baca juga :  Dia yang Melihat Memberikan Kesaksian

Dengan argumentasi ini, Smith secara tidak langsung mengkritik pandangan kaum merkantilis. Mereka menghendaki adanya pembatasan dalam perdagangan dengan pajak yang lebih tinggi untuk melindungi produsen domestik. Sebaliknya, Smith mengatakan bahwa justru dengan perdagangan bebas, ekonomi dalam suatu negara akan mengalami keuntungan. Pasar bebas memungkinkan orang menjual barang-barang dengan jumlah yang banyak, membangun spesialisasi kerja yang terfokus, dan memproduksi barang dengan tenaga kerja yang sama.[9]

Khalayak umum pada gilirannya menerima logika ekonomi kapitalis liberal Smith ini. Kini sistem ini menjadi yang dominan dari semua sistem ekonomi dominan. Namun apesnya, dalam praksis, sistem ekonomi pasar bebas yang mengusung moto “kompetisi dan laissez-faire” telah memicu lahirnya bencana berskala gigantis di Eropa Barat dan Amerika Utara. Pada waktu itu (1920-1930), keruntuhan ekonomi melanda Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga memicu lahirnya perang dunia II.[10]

Vis a vis realitas tersebut, jajaran para penguasa Amerika Serikat dan Eropa mencoba merestrukturisasi bentuk-bentuk negara dan relasi internasional untuk mencegah terjadinya bencana-bencana serupa. Dalam hal ini, mereka mencoba membentuk tatanan ekonomi baru. Itulah New World Economic Order yang ditandai dengan berdirinya Bank Dunia, IMF dan GATT/WTO.[11] Tujuannya adalah untuk menciptakan ekonomi dunia yang seadil-adilnya supaya di masa depan tidak terjadi lagi perang besar di planet bumi.[12]

Harapan mulia itu tak terwujud. Pasca-pembentukkan tata ekonomi baru, benturan antarnegara (Blok Barat vs Blok Timur) kembali terjadi. Benturan di antara keduanya kemudian menciptakan perang dingin dari tahun 1946 hingga keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.[13]

Pasca-keruntuhan Uni Soviet, secara diam-diam, sistem ekonomi kapitalis liberal hidup kembali dengan nama baru neoliberalisme. Neo artinya bentuk baru, dan liberal artinya kebebasan. Neoliberalisme, dengan demikian, adalah kebebasan bentuk baru. Kebebasan bentuk baru yang dimaksud ialah kembalinya kekuasaan pasar (fundamentalisme pasar).

Kebebasan individu di arena pasar tidak boleh diintervensi oleh negara. Intervensi negara, seturut kacamata Friedrich A. Hayek, dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik.[14] Karena itu, harus ditolak dan dibendung supaya sirkulasi modal dan keuntungan terus meningkat. Sistem baru ini kemudian menjadi pilihan kebijakan ekonomi politik oleh Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara industri maju lain.

Neoliberalisme dan Krisis Multidimensi

Bangkitnya sistem ekonomi neoliberalisme telah membawa sejumlah perubahan besar. Perubahan tersebut tidak hanya dirasakan oleh negara-negara Barat (industri maju), tetapi juga oleh negara-negara dunia ketiga. Akselerasi pembangunan di negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) misalnya, tidak terlepas dari geliat sistem ekonomi neoliberalisme yang sudah menghegemoni dan mendominasi.

Pada kenyataan, menerima sistem ekonomi neoliberalisme sebagai paradigma pembangunan bukan tanpa implikasi (dampak negatif). Sistem ini juga ternyata turut membidani lahirnya persoalan berskala gigantis di negara-negara dunia ketiga. Alih-alih mengejar ketertinggalan, memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan, tetapi dalam realitasnya, sistem ekonomi neoliberalisme ternyata menelurkan sejumlah krisis.  

Pertama, krisis ekologi.

Kebijakan pembangunan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme turut memicu lahirnya masalah ekologis. Bumi tempat tinggal segala mahluk, dewasa ini, menghadapi tantangan yang cukup serius. Bumi semakin hancur akibat eksplorasi dan eksploitasi yang melampaui batas.

Logika neoliberalisme, “akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya” telah mendestruksi tatanan ekosistem alam. Demi mencapai keuntungan besar, perut bumi disobek tanpa memperhitungkan kehidupan jangka panjang.

Kedua, krisis budaya.

Menurut Noam Comsky, neoliberalisme Robert McChesney itu alih-alih menghasilkan ikatan kewargaan, ia justru menghasilkan konsumerisme. Alih-alih menghasilkan tatanan kemasyarakatan, ia menghasilkan pusat perbelanjaan. Hasil akhirnya adalah masyarakat tercerabut dari akar dan individu-individu yang kehilangan moral. Akibatnya, mereka secara sosial tidak berdaya.[15]

Baca juga :  Melihat Masa Lalu NTT Perspektif Etnomusikologi

Afirmasi Comsky ini hemat penulis bukan bertolak dari sesuatu yang abstrak, melainkan dari realitas-empiris. Neoliberalisme memang menyebabkan kemelut, khususnya menyangkut moralitas. Hal ini sangat relevan dalam konteks Indonesia. Kepribadian bangsa semakin merosot lantara tatanan nilai-nilai budaya yang menjiwai hidup bangsa Indonesia semakin tergerus oleh geliat neoliberalisme.

Ketiga, krisis politik.

Kebijakan pembangunan yang mengikuti paradigma neoliberalisme juga turut berkontribusi dalam memberangus citra politik. Marwah politik menjadi buram lantaran politik menjadi ladang basah yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi bagi segelintir orang.

Ranah politik akhirnya sesak dengan kaum oligarki yang korup, egois, dan oportunis. Mereka berlomba-lomba membangun kerajaan pribadi dengan mengais sumber-sumber kekayaan negara. Alhasil politik kehilangan esensinya, yakni bonum commune. 

Keempat, krisis ekonomi.

Salah satu dampak gigantis dari kebijakan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme adalah terjadinya krisis ekonomi. Menurut Sri Mulyani Indrawati, dalam 25 tahun terakhir, negara Indonesia mengalami tiga kali krisis ekonomi, yakni krisis moneter (1997-1998), krisis finansial global terjadi dua kali (2008 dan 2020).[16]

Rentetan krisis ini, tidak terlepas dari geliat sistem ekonomi neoliberalisme yang sudah menjadi paradigma dalam pembangunan (ekonomi politik). Kebijakan ekonomi politik yang bercorak neoliberal telah membawa keresahan, sebagaimana tampak dalam dampaknya selama ini. Masyarakat akar rumput mengalami penderitaan lantaran terjadi defisit dan disparitas ekonomi yang sangat tajam.

Kelima, krisis kemanusiaan.

Dampak paling terasa akibat kebijakan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme adalah terhadap martabat manusia. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh kekuasaan politik, tetapi juga oleh kekuasaan bisnis atau pasar yang saat ini menghegemoni segala bidang kehidupan manusia.

Dalam bidikan kaca mata neoliberalisme, manusia bukan subjek pembangunan, melainkan objek pembangunan. Implikasinya martabat dan hak-hak asasi manusia (khususnya masyarakat akar rumput atau masyarakat adat) dilecehkan. Masyarakat akar rumput bak robot, yang mudah dikendalikan, ditipu, dan dieksploitasi.

Signifikansi Transformasi Paradigma Pembangunan

Menyadari besarnya dampak destruktif paradigma pembangunan a la neoliberalisme, maka Negara Indonesia perlu melakukan upaya transformasi paradigma kebijakan pembangunan, yakni dari neoliberalisme ke paradigma pancasila. Pancasila sejatinya merupakan dasar, pandangan hidup, dan ideologi Negara Indonesia.

Sebagai dasar, pancasila berfungsi sebagai fondasi bagi berdirinya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, sebagai pandangan hidup, pancasila berfungsi sebagai kompas atau penunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam menjalani aktivitasnya di setiap dimensi kehidupan, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Akhirnya, sebagai ideologi, pancasila berfungsi untuk mendeterminasi masa depan Negara Indonesia.

Peran krusial pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mesti diakomodasi. Karena itu, pancasila seyogianya menjadi paradigma dalam sistem pembangunan, baik dalam kancah lokal maupun nasional. Founding fathers, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengafirmasi pancasila sebagai paradigma pembangunan yang ideal dan relevan untuk Indonesia sebab ia berorientasi pada bonum commune.

Senada dengan itu, Aleksander Jebadu, dalam bukunya, menjelaskan sistem ekonomi Indonesia sebagai sistem ekonomi campuran, yaitu sistem demokrasi ekonomi. Sistem ini merupakan sistem ekonomi jalan tengah di antara dua sistem yang saling berseberangan, yakni kapitalis liberal Adam Smith yang mengadopsi nama baru sistem ekonomi neoliberalisme dan sistem ekonomi sosialis/komunis.[17]

Baca juga :  Guratan Makna Sosial-Politik Sawah Lodok dalam Pijar Filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas

Berbeda dengan sistem ekonomi neoliberalisme – yang menghendaki liberalisasi pasar tanpa kendali negara – dan sistem ekonomi sosialis/komunis – yang kebijakan perekonomiannya dimonopoli negara – sistem ekonomi Indonesia (sistem ekonomi pancasila) adalah sistem ekonomi kesejahteraan yang mengakomodasi kepentingan semua warga negara.[18]

Selain mengakomodasi bonum commune, sistem ekonomi pancasila juga mengakomodasi pembangunan yang memperhitungkan kondisi alam, budaya, dan kemanusiaan. Karena itu, bangsa Indonesia tidak akan mengeluh mengenai ketidakadilan karena pembangunan mulai berorientasi pada bonum commune. Alam pun tidak akan menangis dan memuntahkan virus yang mematikan (seperti virus corona), sebab orang mulai memperhitungkan orientasi pembangunan berkelanjutan, sustainable development. Martabat manusia pun tetap pada fitrahnya, sebab manusia tidak lagi dilihat sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek pembangunan. Nilai-nilai budaya pun akan tetap terjaga dengan baik, karena spirit Pancasila mengakomodasi kekayaan khazanah budaya lokal dan nasional.

Sistem ekonomi neoliberalisme, yang dewasa ini telah menjadi paradigma dominan dalam sistem pembangunan sesungguhnya hadir dengan wajah ambivalen. Alih-alih memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan bersama, justru dalam realitas empiris, sangat meresahkan karena telah menghalalkan segala cara.

Demi mencapai efisiensi dan profit, semua hal mendapatkan justifikasi. Implikasinya muncul sejumlah krisis dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Di tengah realitas ini, upaya transformasi paradigma pembangunan: dari paradigma neoliberalisme ke pancasila adalah sesuatu yang niscaya demi mewujudkan tatanan hidup yang lebih baik, beradab, dan bermartabat.

Daftar Pustaka


[1]Mikael Dua, Filsafat Ekonomi Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 35.

[2]Ibid.

[3]Ibid., hlm. 43.

[4]Ibid., hlm. 45.

[5]Ibid., hlm. 51.

[6]Ibid.

[7]Ibid., hlm. 52.

[8]Ibid.

[9]Ibid., hlm 53.

[10]Aleksander Jebadu, Drakula Abad 21 Membongkar Kejahatab Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba Dan Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020). 176.

[11]Ibid.

[12]Ibid.

[13]Ibid., hlm. 287.

[14]Coen Husain Pontoh dan Arianto Sangadji, Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia (Pustaka IndoPROGRESIF, 2021), hlm. 121.

[15]Bagus Pradana, “Mematahkan Cengkeraman Drakula Neoliberalisme”, dalam https://mediaindonesia.com/ weekend/291649/mematahkan-cengkeram-drakula-neoliberalisme, diakses pada 17 Desember 2021.

[16]https://newssetup.kontan.co.id/news/cerita-sri-mulyani-soal-tiga-krisis-ekonomi-dan-jurus-untuk-menanga ni?page=all.> diakses pada 16 Desember 2021.

[17]Alexander Jebadu, op.cit., hlm. 293.

[18]Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, bahwa “perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Bdk. Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33 .