Penaclaret.com – “Salah satu pokok iman Kristiani yang fundamental dan tidak bisa dipisahkan ialah cinta dan pengampunan. Keduanya harus dihayati dan diwartakan” (CB. Kusmaryanto, SCJ, Nabi Cinta Kasih Dan Pelayanan Perdamaian, 2019). Kutipan singkat yang dicantumkan pada kulit belakang buku Romo Kusmaryanto ini tidak terlepas dari kata pengakuan dosa. Ketika berbicara tentang pengakuan dosa, tidak bisa dilepas-pisahkan dari pertobatan dan pengampunan, karena pengakuan dosa atau rekonsiliasi adalah buah dari perjumpaan antara pengampunan dan pertobatan. Definisi yang kurang lebih lengkap mengenai pertobatan ini diberikan oleh Katekismus Gereja Katolik no. 1451, “Dari semua tindakan peniten, pertobatan menempati urutan pertama. Pertobatan adalah kesedihan jiwa yang mendalam dan kebencian akan dosa yang telah dilakukannya bersama dengan kehendak kuat untuk tidak berdosa lagi. “ Kutipan ini secara mendalam telah kita nyatakan pada bagian terakhir Doa Tobat, “dan berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu, hendak memperbaiki hidupku, dan tidak akan berbuat dosa lagi. “
Berbicara tentang rekonsiliasi berarti kita sedang berbicara tentang sebuah perjalanan relasional dengan Allah, dengan pribadi-pribadi lain, dan dengan alam ciptaan. Di sini terdapat suatu pengandaian, bahwa dalam menjalin relasi dengan Allah, sesama, maupun dengan alam, kita seringkali melakukannya dengan tidak sempurna, meskipun selalu mencita-citakan yang sempurna. Sejalan dengan itu, Karl-Henz Peschke menjelaskan bahwa sikap moral merupakan bagian dari panggilan bersama untuk menjadi umat Allah. Ia memberi contoh, bahwa Israel dan Gereja perdana memahami diri sebagai umat Allah. Persekutuan adalah pola moral dominan hidup mereka (Etika Kristiani Jilid I Pendasaran Teologi Moral, 2003; 249). Ini berarti dalam persekutuan, cinta dan pengampunan mendapat peran penting dan berpengaruh bagi tindakan manusia.
Pengampunan dosa atau rekonsiliasi selalu berkaitan erat atau berdasar pada kasih Allah. Peristiwa rekonsiliasi yang dapat menjadi patokan berdasarkan Kitab Suci adalah kisah atau pengalaman orang-orang Niniwe. Di sini terlihat, bahwa ketika mendengar pewartaan Yunus, seluruh kota Niniwe bertobat dengan mengenakan kain kabung, berpuasa, dan berbalik pada Allah. “Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya” ( Yun 3:8).
Melalui sakramen rekonsiliasi, orang-orang berdosa menyatakan dukacita dan penyesalan mereka atas perbuatan salah pribadi setelah pembaptisan agar dapat didamaikan dan dipulihkan menjadi persahabatan atau hubungan yang sehat dan penuh dengan Allah yang pengasih dan berbelas kasihan, serta sesama manusia (Reynolds R. Ekstrom dalam bukunya The New Concise Catholic Dictionary, 1995; 212). Selanjutnya dalam halaman yang sama, Reynolds mengatakan bahwa untuk menerima pengampunan atas perbuatan yang berdosa melalui sakramen ini, seseorang harus benar-benar berdukacita, bersedia mengakui dosa-dosanya kepada seorang imam Katolik, membuat perbaikan untuk dosa, dan menerima penghapusan dosa.
Peristiwa-peristiwa mengenai rekonsiliasi, dalam kaitannya dengan kasih Allah, telah banyak kita temui dalam kisah perjalanan Yesus. Sebagai contoh, rekonsiliasi yang terjadi kepada Zakheus si pemungut cukai (Lukas 19:1-10). Di sini dapat dipahami, bahwa dasar dan tujuan pengampunan adalah kasih. Menjelaskan tentang ini, Dr. CB. Kusmaryatno, SCJ dalam bukunya Nabi Cinta Kasih Dan Pelayanan Perdamaian, mengatakan, kedatangan Yesus ke dunia adalah karena Allah mengasihi manusia (2019; 235). Allah begitu mengasihi manusia sehingga mengutus Yesus ke dunia supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Oleh karena itu, St. Agustinus dalam kaitannya dengan rekonsiliasi dan moral, mengatakan bahwa pertobatan berarti perubahan moral, kembali kepada Allah (Civ.Dei.VIII, xxix). Hal ini berarti dalam pertobatan, rasa sesal dan menuduh diri sendiri menjadi langkah awal untuk memulai. St. Siprianus pun mengatakan, rasa sesal sangat diperlukan untuk pengampunan dosa. “Lakukanlah tobat yang penuh, berikan bukti berupa kesedihan yang timbul dari jiwa yang meratap dan menyesal (St. Siprianus, “De Lapsis”, no. 32).
Berkaitan dengan perkembangan teologi moral, Katekismus Gereja Katolik menjelaskan dengan memberikan unsur-unsur dalam pertobatan, yang secara moral dapat juga menjadi pedoman bagi umat Katolik, bukan hanya untuk sakramen rekonsiliasi, tetapi juga dalam perkembangan moralitasnya. Unsur-unsur itu terdiri atas: pertama, perubahan radikal orientasi dalam hati, yaitu dari berpaling dari Allah menjadi menuju Allah; kedua, ketidaksukaan yang melawan tindakan buruk yang sudah dilakukan; ketiga, keinginan untuk mengubah hidup disertai harapan bahwa Allah membantu dengan rahmat-Nya; keempat, susah dan sedih (KGK 1431). Hal ini berarti sakramen rekonsiliasi memiliki peran penting dalam perkembangan teologi moral, sekaligus moralitas pribadi seorang Katolik, karena di sana terdapat suatu perubahan hati, atau dalam istilah Kitab Suci, metanoia. Secara individu, moralitas seseorang dibentuk dalam sakramen rekonsiliasi, yakni adanya sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang kemudian diungkapkan dengan intensi untuk tidak melakukan kesalahan lagi, yang sekaligus dibebaskan oleh Allah sendiri melalui pengantaraan imam Katolik. Artinya, pribadi seseorang dibentuk secara halus oleh hati dan batinnya sendiri melalui sakramen rekonsiliasi.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa sakramen rekonsiliasi merupakan dasar dalam moral Katolik yang secara halus mampu menyadarkan dan mengarahkan umat Katolik untuk hidup baik lewat pikiran dan tindakan. Artinya, setelah mengalami sakramen rekonsiliasi, sikap hidup dan perilaku seorang individu Katolik dapat dikatakan lebih terarah pada sebuah tatanan hidup yang lebih baik.
Misionaris Claretian pecinta musik.