Meritokrasi 2024, Sebuah In Potentia?

Meritokrasi no

Politik Hari Ini! Sebuah Meritokrasi?

ClaretPath.com-Ada apa di tahun 2024? Apakah sesuatu yang spesial akan terjadi di tahun itu? Apakah demokrasi di tahun 2024 akan beralih menjadi meritokrasi? Pesta demokrasi lima tahunan menjadi hal yang ditunggu semua politisi, partai politik dan masyarakat. Adu strategi atau pun taktik politik menjadi tontonan gratis kepada masyarakat dalam koloseum politik negeri ini. Para gladiator partai beradu data dan kata. Namun, dari “tribun” penonton, para gladiator politik menunjukan “kebobrokan” modus dalam merebut hati penonton (baca: rakyat). Rakyat harus menikmati betapa mirisnya politik uang, ujaran kebencian, agama, politik identitas dan politik intoleransi. Inikah politik hari ini?

Politik hari ini berada pada persimpangan jalan “dicintai dan dan dibenci” (gagasan Machiavelli dalam “il Principle[1] (Sang penguasa/Pangeran)”). Apakah politik tetap dicintai? Ataukah politik dibenci? De fakto bahwa politik hari ini adalah politik gado-gado (fakta yang bercampur) melahirkan predikat-predikat yang sangat memprihatinkan bagi politik; sebagai tempatnya para koruptor, sahabat para cukong, “pemusnah” jiwa demokrasi. Atas semuanya ini, siapa yang disalahkan? Itulah politik hari ini.

Berkaca pada buku tentang politik dan filsafat politik, kita dapat menemukan tiga pengertian mendasar mengenai politik. Pertama, politik adalah tata pengaturan hidup bersama, kedua, politik adalah intrik untuk mewujudkan kepentingan suatu golongan dan ketiga, politik adalah seni untuk mewujudkan berbagai kemungkinan.[2] Demikian adanya, pada panggung kehidupan pun, ketiga pengertian politik dialami secara berkala (tergantung ideologi pemimpin) oleh rakyat.

Dalam percaturan politik, satu yang pasti mereka (baca; politisi) yang berhasil merebut atensi rakyat berjalan penuh wibawa menuju kursi rakyat. Mereka menempati kursi rakyat, namun terkadang lupa kalau mereka hanya dipercayai untuk menduduki kursi tersebut, agar saat mereka menyuarakan aspirasi mewakili rakyat, para pemilik kebijakan dapat mendenganrkan mereka. Namun, fakta yang tercecer di publik adalah para politisi hari ini banyak menggunakan jas ideologi politik yang bervariasi. Ada yang menduduki kursi rakyat dengan “pakaian” demokrasi, aristokrasi, oligarki bahkan ada yang menggunakan gaya terbaru yakni meritokrasi. Titik tuju ideologi politik ini adalah memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan rakyat. Inilah politik hari ini!

Michael Sandel “Membaca” Meritokrasi

Michael Joseph Sandel filsuf politik Amerika, kelahiran 5 Maret 1953 (67) Minneapolis Minnesota US juga merupakan professor hukum pada Universitas Havard. Ia menjadi terkenal lewat tulisannya mengenai Liberalism and the limit of justice (1982) dan Justice: what’s the right thing to do? (2009) dan buku terbarunya The Tyranny of Merit What’s Become of The Common Good? (2020).[3]

Dalam salah satu bagian dari bukunya tentang The Tyranny of Merit What’s Become of The Common Good pada bagian The Meritocracy’s Dark Side menjelaskan bagaimana asal mulanya term meritokrasi:

The term “meritocracy” was invented under the shadow of this worry. Michael Young was a British sociologist affiliated with the Labour Party. In 1958, he wrote a book called The Rise of the Meritocracy. For Young, meritocracy described a dystopia, not an ideal. He wrote at a time when the British class system was breaking down, giving way to a system of educational and professional advancement based on merit. This was a good thing, because it enabled gifted children of the working class to develop their talents and escape a life consigned to manual labour.[4]

Dalam panggung kepincangan sosial, Sandel menjelaskan bahwa mereka yang berhasil (who land on the top) percaya bahwa keberhasilan mereka dapat dibenarkan secara moral atau ketiadaan kecacatan moral, namun dalam meritokrasi sosial, ini berarti para pemenang harus percaya bahwa keberhasilan yang mereka peroleh itu semata-mata kemampuan (talent) pribadi dan kerja keras.

Baca juga :  Tentang Hujan || Puisi

Persoalan meritokrasi tidak hanya pada runtuhnya atau hilangnya perbuatan yang baik. Mereka yang mengagungkan meritokrasi ideal dan menjadikannya sebagai sentral dalam pembangunan politiknya akan melupakan atau mengabaikan tuntutan moral. Mereka akan mengabaikan politik bersih: mereka tidak tertarik terhadap nilai moral, dan itu ditunjukkan oleh para penganut meritokrasi dalam tindakannya, entah itu diantara pemenang atau pun dengan mereka yang kalah. Bagi pemenang melahirkan atau membangkitkan keangkuhan dan bagi yang kalah membangkitkan penghinaan dan kebenciaan. Rasa moral inilah yang menjadi inti dari keberanian masyarakat dalam melawan kaum elit. Lebih dari protes atas kaum immigrant (konteks uni Eropa (tidak semua)), masyarakat menolak kaum tirrani meritokrasi. Penolakan ini dibenarkan.

Keangkuhan meritokrasi mencerminkan kecenderungan para pemenang untuk terlelap atau masuk terlalu dalam atas kesuksesan mereka. Inilah fakta kesombongan, bagi mereka kesuksesan adalah hak mereka dan sedangkan kekalahan atau pun kemalangan adalah hak mereka yang mengalami kekalahan atau dengan kata lain mereka pantas mendapatkannya. Tindakan ini menjadi identitas dari politik teknokrasi.

Keangkuhan meritokrasi juga dilihat Sandel sebagai wadah lahirnya politik penghinaan. Dilihat dari bawah, keangkuhan para elit itu menyakitkan. Tidak ada orang yang ingin dipandang rendah. Tetapi kepercayaan meritokratis menambah penghinaan yang dapat menimbulkan “luka” yang parah. Gagasan bahwa nasib anda ada di tangan anda, ibaratkan pedang bermata dua, menginspirasi di satu sisi dan mengagungkan ketidakjujuran di sisi lain. Hal itu sama halnya mengapresiasi para pemenang dan menghina yang kalah.

Bagi mereka yang tidak dapat menemukan pekerjaan atau memenuhi kebutuhan, sulit untuk melepaskan diri dari beban moral, pikiran yang memandang rendah diri bahwa mereka adalah dalang dari kegagalan, bahwa mereka tidak memiliki talenta sebaik para pemenang yang dapat mendorong mereka untuk sukses.

Politik penghinaan dan politik ketidakadilan selalu memiliki distingsi. Protes melawan ketidakadilan terlihat dari luar; ditemukan adanya kecurangan dalam sistem, atau pun manipulasi data dan lain sebagainya. Sedangkan politik penghinaan dan protes atasnya lebih memunculkan sisi psikologi. Ini menjadi semacam integrasi kebencian dari yang kalah atas para pemenang dan merasa gagal atau benci atas ketidakmampuan diri dalam meraih kesuksesan. Bahkan nyatanya dapat melahirkan pernyataan demikian “mungkin yang kaya itu kaya karena mereka lebih pantas daripada yang miskin; mungkin yang kalah adalah nasib mereka untuk bersahabat dengan kemalangan.

Untuk mengeksplorasi pertanyaan yang lebih besar ini, kita perlu memeriksa dua keberatan terhadap meritokrasi sebagai proyek moral dan politik. Yang pertama tentang keadilan; yang lainnya tentang sikap terhadap kesuksesan dan kegagalan. Keberatan pertama meragukan bahwa bahkan meritokrasi yang terwujud sepenuhnya, di mana pekerjaan dan gaji mencerminkan upaya dan bakat seseorang, akan menjadi masyarakat yang adil. Keberatan kedua mencemaskan bahwa meskipun meritokrasi itu adil, itu tidak akan menjadi masyarakat yang baik. Itu akan menimbulkan keangkuhan dan kecemasan di antara para pemenang dan penghinaan dan kebencian di antara yang kalah. Sikap inilah yang bertentangan dengan perkembangan manusia dan merusak kebaikan bersama.

Baca juga :  Pemimpin Ideal VS Pemimpin Otoriter

Meritokrasi 2024, Sebuah In Potentia?

Pilkada adalah suatu bentuk pelaksanaan demokrasi di mana rakyat menentukan secara langsung siapa yang akan memimpin daerah mereka.[5] Dengan pemilihan langsung itu diharapkan segala kemungkinan hambatan, penyelewengan dan distorsi yang biasa terjadi dalam sistem perwakilan bisa diperkecil. Sehingga bisa dikatakan bahwa konsep pelaksanaan pemilu melekat dan tidak dapat dipisahkan dari konsep demokrasi. Atau dikatakan bahwa pilkada adalah realisasi kongkret dari jiwa demokrasi. Tanpa pilkada, dipertanyakan bias demokrasi sebagai kekuasaan dari rakyat.

Payung hukum pelaksanaan Pilkada di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 56-116, dan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005. Dengan demikian, pelaksanaan Pilkada syarat akan pengawasan hukum yang ketat. Namun, pertanyaannya, apakah Undang-Undang di atas menjamin berjalannya Pilkada dengan mengedepankan asas pilkada, jujur, adil dan terbuka?

Pesta demokrasi 2024 menjadi ajang unjuk “taring” bagi para calon. Berhadapan dengan pandemi Covid19 yang terkadang diisukan telah berakhir, namun, berita terkait pasien covid terus menggurita, banyak hal yang harus ditaati sebagai bagian dari memutuskan mata rantai penyebaran virus tersebut. Terlepas apakah Covid19 masih eksis atau tidak, pesta demokrasi 2024 tetap menjadi sebuah tantangan dan peluang bagi para pemilih dan yang dipilih. Tantangan bagi pemilih adalah bagaimana sungguh-sungguh menggunakan hak pilih nya, sehingga pemimpin yang dipilih mampu mewakili aspirasinya. Suara rakyat itu mahal harganya. Bagi para calon, tantangan nya adalah apakah visi dan misi mereka sungguh sampai ke hati rakyat pada umumnya? Bagaimana cara mereka meyakinkan rakyat yang hari demi hari semakin menipis rasa kepercayaan terhadap politisi atau calon wakil rakyat? Namun, pilihan harus tetap dibuat. Jika tidak bisa memilih yang paling baik, setidaknya bisa memilih yang baik, dari pada memilih yang buruk.

Terlepas dari situasi pandemi ini, rakyat terus tinggal dalam tanda tanya besar, ketika musim pesta demokrasi tiba. Pertanyaan itu selalu satu dan sama, apakah pemimpin kami memiliki integritas? Memberi rakyat makan bukan makan uang rakyat? Pertanyaan ini menjadi teman seperjalanan rakyat Indonesia atau belahan dunia lainnya, ketika faktisitas pesta rakyat “berwajah” politisi, di depan mata. Bagaimana dengan integritas seorang pemimpin? Apakah 2024 akan melahirkan pemimpin berjubah meritokrasi?

Hemat penulis, Sandel mempersoalkan hal yang sama. Ada sebuah ketakutan yang terselubung dalam setiap pesta demokrasi yang ada. Meritokrasi politik menjadi salah satu batu sandungan bagi terjaganya jiwa demokrasi. Jika meritokrasi masuk terlalu jauh dalam politik atau pun berkembang dalam diri pemimpin sebagai output pilkada, apa yang harus kita lakukan?

Meritokrasi menjadi ketakutan besar bagi rakyat, karena menghilangkan rasa tanggungjawab moral seorang pemimpin kepada rakyat yang telah mempercayakan dia untuk memimpin mereka selama waktu tertentu. Seorang yang menjadikan meritokrasi sebagai sentral dalam misi politiknya, akan menganggap ia yang terpilih bukan karena rakyat menginginkan untuk memimpin mereka, tapi dia tenggelam dalam keangkuhan diri dan merasa ia pantas menjadi pemimpin karena kapasitas yang ada dalam dirinya dan talenta yang dia miliki.

Baca juga :  Revolusi Perjumpaan | Renungan Harian

Bahaya lainnya adalah lahirnya politik keangkuhan (hubris politic) dan politik penghinaan dan kebencian (humiliation and resentment politic) bagi yang kalah. Singkatnya bahwa, jika hasil pesta demokrasi 2024 melahirkan pemimpin yang meritokrasi akut, maka aspirasi rakyat akan sulit dijalani sebab ia merasa ia pantas menjadi pemimpin bukan karena keberuntungan apa lagi dipercayakan oleh rakyat.

Apa yang menjadi ketakutan rakyat terhadap meritokrasi seorang pemimpin adalah, dalam kebijakan-kebijakan politiknya lebih diutamakan pada kepentingan dirinya sendiri, sebab dia seolah-olah merasa tidak memiliki tanggungjawab moral terhadap kebutuhan rakyat. Ia menjadi pemimpin bukan karena keberuntungan atau karena rakyat tapi karena ia pantas. Sehingga rakyat hanya menikmati ketiadaan perhatian dari pemimpin mereka. Apakah output pemilu 2024 sejalan dengan ketakutan atas fakta meritokrasi ini?

Oleh karena itu, Sandel menawarkan politic of humility (politik kerendahan hati) bagi pemimpin yang telah menang atau sebagai output pilkada. Dengan kerendahan hati dalam memimpin, maka ia tidak akan fokus pada dirinya sendiri atau pun kepentingannya, namun ia akan selalu ingat bahwa ada tugas mulia yang sedang ia jalani yakni kesejahteraan rakyat, sebab kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus populi supreme Lex). Dengan politik kerendahan hati, maka fakta yang dihidangkan adalah ketiadaan keangkuhan, sehingga tidak hanya saja memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya, seorang pemimpin (pemenang Pilkada) tidak memiliki kesombongan dalam menghina yang kalah. Tapi bagaimana ia mampu merangkul lawan Politik menjadi kawan seperjalanan politik. Apakah meritokrasi 2024 akan menjadi boomerang bagi demokrasi? Atau biarkanlah meritokrasi 2024 menjadi fakta yang harus kita tunggu? Apakah kehadirannya menjawab semua kepincangan demokrasi selama 24 tahun sejak 1998? Ataukah meritokrasi 2024 adalah batu sandungan bagi negeri ini?

Sumber Bacaan:

[1] “il Principle (Sang penguasa/Pangeran)adalah sebuah maha karya dari seorang filsuf sekaligus politisi ternama Italia yakni Nicollo Machiavelli. Dalam salah satu bab (bab XVII) dalam maha karyanya itu, filsuf yang sekaligus menjadi diplomat ternama pada masanya itu, menulis dengan sangat elegan bagaimana seorang pemimpin atau politisi hanya memiliki dua kemungkinan yakni dicintai atau tidak dibenci.

[2] Reza A.A. Wattimena, Filsafat Sebagai Revolusi Hidup, (Yogyakarta: Kanisius,2015), hal., 148-149

[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Michael_Sandel, akses 7/20/2022, pukul 16:25 WIT.

[4] Michael Sandel, The Tyranny of Merit, What’s Become of The Common Good?, (United States of America: Farrar, Straus and Giroux, 2020), hal., 111. Istilah “meritokrasi” ditemukan di bawah bayang-bayang kekhawatiran. Michael Young yang adalah seorang sosiolog Inggris yang berafiliasi dengan Partai Buruh. Pada tahun 1958, dia menulis sebuah buku berjudul The Rise of the Meritocracy. Untuk Young, meritokrasi menggambarkan distopia, bukan ideal. Dia menulis pada saat sistem kelas Inggris runtuh, memberi jalan pada sistem pendidikan dan kemajuan profesional berdasarkan prestasi. Ini adalah hal yang baik, karena memungkinkan anak-anak berbakat dari kelas pekerja untuk mengembangkan bakat mereka dan melarikan diri dari kehidupan yang mengharuskan mereka bekerja secara manual.

[5] Darwis, Dialektika Politik Lokal Di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2015), hal., 182.

Tulisan ini pernah dimuat di https://ebithlonekpondokepisteme.blogspot.com dengan judul “Politik Up To Date Membaca” Meritokrasi. Namun ada beberapa perbaikan yang dibuat penulis.