Meretas Nostalgia: Sebuah Inspirasi Live-In

Meretas Nostalgia: Sebuah Inspirasi Live-In
Picture taken from https://minernm.blogspot.com/

ClaretPath.com Meretas Nostalgia: Sebuah Inspirasi Live-In

Pada Seminar Tahunan Fakultas Teologi Wedabhakti, Felix Corner menengarai salah satu tantangan membangun inklusivitas dalam pluralitas dunia dewasa ini adalah imajinasi. Atau tepatnya imajinasi yang sempit. Corner mengatakan bahwa imajinasi yang dibangun atas dasar nostalgia kejayaan masa lalu.[1] Misalnya kejayaan Kekaisaran Turki Otoman, muslim, yang mendominasi jazirah arab Eropa Timur, dan Afrika Utara selama lebih dari 600 tahun (1299-1924 M).[2] Dan kekristenan yang menguasai sepertiga dunia. Imajinasi akan nostalgia ini menurut Corner akan sangat menutup kemungkinan untuk membuka jalan dialog bagi kehidupan bersama. Lantaran semua terjebak pada arogansi masa lalu. Orang mengimpikan masa depan sesuai dengan gambaran ideal masa lalu.

Kalau Felix Corner mempertentangkan persoalan yang lebih besar – dialog antar agama dalam tataran global.  Dalam tulisan ini saya mencoba menerawang persoalan internal khususnya eklesiologi. Saya mencoba untuk mencari kemungkinan lain dari bahaya imajinasi yang ketat dan tertutup dalam kehidupan mengereja masyarakat akar rumput. Dan yang menjadi lokus dari tulisan ini adalah sebuah pengalaman eksistensial di Paroki St. Yakobus Klodran, Bantul.

Sejak Vatikan II Gereja mengalami perubahan yang tidak sedikit. Yang paling signifikan dan kelihatan adalah struktur umat Allah. Gereja yang sebelumnya berbentuk kerucut, diubah menjadi lingkaran. Model kerucut menempatkan kaum tertahbis atau klerus sebagai nakhoda. Sementara kaum awam sebagai mereka yang kurang dilibatkan dalam urusan mengereja. Mereka seolah dipasifkan oleh struktur. Vatikan II membawa kebaruan. Semuanya adalah umat Allah, hanya peran mereka yang terbedakan.  Akan tetapi perubahan struktur tidak dengan sendirinya membawa perubahan total. Atau dengan kata lain perubahan eksternal membutuhkan waktunya sendiri

Baca juga :  Korupsi dan Kehancuran Rakyat

Ruang yang sulit dijangkau oleh struktur adalah “ruang dalam’, misalnya ruang batin (nasehat stoik), suasana mental, dan imajinasi. Ruang-ruang ini sering luput dari tembakan perubahan struktur. Struktur hanya bermain di luaran. Demikian pun Gereja. Struktur boleh berubah, tetapi mentalitas umat sudah terlanjur membeku. Umat terlanjur percaya bahwa hierarki Gereja kita terkotak-kotak. Pesan Rasul Paulus dalam Gal. 3:28, di dalam Kristus  Yesus tidak ada lagi orang merdeka dan budak, tidak ada lagi orang Yahudi dan Yunani. Rupanya tidak dapat diterima begitu saja. Lantaran kekuatan imajinasi yang telah terlanjur mengakar kuat. Bahwasanya ada jurang pemisah antara klerus dan awam.

Umat akar rumput melihat kaum yang tertahbis sebagai satu kelompok yang terpisah. Barangkali terkesan tergesa-gesa dan mengabsolutkan, mengatakan bahwa kekuatan imajinasi yang terbentuk dari nostalgia struktur masa lalu adalah biang keroknya.  Barangkali ada unsur kultur nusantara yang juga turut memberi andil besar untuk pengotakan ini. Akan tetapi bagi para calon imam, dalam hal ini Frater barangkali imajinasi tentang kaum kleruslah yang paling dominan.

Pengalaman Live-In lingkungan Andreas Rasul, wilayah Maria Rosari, paroki St Yakobus Klodran-Bantul menghantar saya pada pemahaman ini. Para umat yang sederhana sangat merasa tidak layak untuk menerima kedatangan Frater. Mereka menolak bukan karena mereka sibuk, tetapi mereka merasa tidak layak untuk menerima. Mereka terlalu sederhana, kalau tidak mau disebut sebagai miskin. Tetapi apakah mereka benar-benar miskin? Tidak juga. Mereka berkecukupan. Rasa-rasanya imajinasi mereka tentang Frater atau kaum klerus yang ideal dan cenderung melebih-lebihkan. Tentu saja imajinasi mereka ini dikostitusikan oleh struktur Gereja pra Vatikan II.

Baca juga :  Jon Sobrino “Voice of the Voiceless”

Ironis lagi imajinasi ini telah menjadi layaknya kekayaan kolektif. Yang mana struktur masyarakat akar rumput turut menyuburkannya. Sebagian besar umat menganggap bahwa yang boleh menjamu Frater adalah mereka yang notabene ekonomi mumpuni. Alhasil kami yang melakukan live-in kerap Kali ditempatkan di keluarga-keluarga yang memang siap secara ekonomis. Padahal tujuan kami adalah untuk hidup (live) terlibat (in) dalam kehidupan umat akar rumput. Akan  tetapi imajinasi kolektif tentang umat semacam ini membuat realitas yang sesungguhnya ditutupi  oleh realitas yang semu. Di sinilah esensi tentang relasi antara gembala dan domba atau lebih radikal lagi gembala yang berbulu domba ditantang secara serius.

Bukan tentang siapa yang salah. Mengisi masa lalu adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu dan membuat luka semakin dalam. Sudah saatnya kaum klerus dan umat akar rumput bahu membahu membongkar imajinasi yang telah mengakar kuat ini. Tentu bukan perkara mudah, layaknya membalik telapak tangan. Pengalamn live in, membuat saya begitu yakin bahwa perjumpaan adalah sarana yang lumayan efektif. Perjumpaan dapat melulurkan prasangka dan imajinasi yang keliru direkonfigurasi. Karena itu, perjumpaan antara  kedua belah pihak mesti dimasifkan. Imajinasi tidak akan mudah runtuh. Perjumpaan korpreal (antara wajah), seperti live-in dapat menjadi salah satu jalan keluar. Meskipun tidak sekali jadi, perjumpaan korporeal dapat mengikis segala prasangka bahkan gambaran yang terlanjur membeku.

Baca juga :  Tulisan Tertua Perjanjian Baru

Sinodalitas yang digalangkan tidak mempunyai pilihan lain untuk mengatasi pengotakan antara klerus dan kaum awam ini. Karena itu, selain keterlibatan kaum awam, perjumpaan hendaknya menjadi sokongan kuat bagi mimpi Gereja yang sinodal. Di dalam imajinasi masa lalu yang  tertutup, dialog yang sesungguhnya tidak dapat terjadi. Dialog selalu mengandaikan keterbukaan. Dan layaknya batu yang sering dikikis air hujan terlambat laun akan berlubang. Demikian juga imajinasi yang tertutup, prasangka yang terlanjut tertanam kuat, dan imajinasi yang keliru dapat ditembusi berkat perjumpaan yang terus menerus


[1] Felix Körner, SJ, “How Can Religions Shape the World? Christianity and Islam Inspiring               Pluralist Societies”, Makalah Seminar FTW, 2023

[2] Kesultanan Utsmaniyah: Sejarah, Sultan, Kejayaan, dan Keruntuhan Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kesultanan Utsmaniyah: Sejarah, Sultan, Kejayaan, dan Keruntuhan”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/03/080000179/kesultanan-utsmaniyah–sejarah-sultan-kejayaan-dan-keruntuhan. Penulis : Lukman Hadi Subroto Editor : Widya Lestari Ningsih Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6 Download aplikasi: https://kmp.im/app6