ClaretPath.com-Sebuah Patriarki yang Janggal dan Konstelasi Interpretasi
oleh Yovendi M. Koli
“Wah kamu kayaknya salah paham deh. Kamu salah menafsirkan. Bukan itu yang saya maksud.” Itulah fenomena penafsiran yang kita akrabi di sekitar kehidupan kita. Pro-kontra kecil itu bukti bahwa penafsiran memang topik yang dekat sekaligus kompleks.
Antara Teks dan Penafsir
Dari contoh di atas, penafsiran sering kali melahirkan ketegangan. Ketegangan ini diakibatkan paling kurang oleh tiga hal. Pertama, teks, yaitu segala sesuatu yang bisa ditafsir. Contohnya, surat, ide, pembicaraan, gerak gerik, gambar, dan semuanya. Menyitir Jacques Derrida, semua hal adalah teks (bisa ditafsirkan).[1] Teks ini memiliki makna yang otonom, terlepas dari maksud pengarang (intended meaning). Karena sesaat setelah ditulis, pengarangnya tidak berkuasa lagi atas teks. Derrida mengatakan pengarangnya “mati.” Namun, otonomi teks bukan berarti teks telah memiliki makna yang fiks, melainkan menjadi sebuah titik pijak bagi penafsiran yang kreatif. Artinya tidak ada penafsiran yang bergerak di luar teks itu.[2] Satu-satunya, kritikus penafsiran adalah teks itu sendiri.
Kedua, penafsiran, yaitu seorang pembaca yang mencoba menafsirkan sebuah teks. Menurut Derrida, semua orang adalah penafsir. Karena teks terbuka pada sebuah penafsiran, maka penafsiran bisa sebanyak mungkin. Namun, lagi-lagi tetap bersyarat – tidak di luar teks. Ketiga, orang ketiga, yaitu beberapa orang yang mengamati seorang yang menafsirkan. Orang yang ketiga itu terbuka kemungkinan untuk mengkritik seorang penafsir. Senjata yang mereka miliki adalah otonomi teks sendiri.
Sebuah Polemik Penafsiran
Pada suatu kesempatan kuliah, seorang teman mengajukan sebuah persoalan kepada dosen Kitab Suci kami. Pertanyaannya soal, para pemikir feminisme yang menggunakan satu dari sekian ayat Kitab Suci untuk memberikan legitimasi pada gerakan mereka. kalau tidak salah teks yang dirujuk waktu itu adalah “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh ”(Bdk. 1 Korintus 12:4-11).
Sontak beliau menjawab, penafsiran semacam itu cenderung terburu-buru. Karena dosen kami itu adalah seorang eksegetik berbasis penafsiran Biblicum, pandangannya dapat dipahami. Dosen kami itu berusaha mengajarkan gaya dan metode penafsiran yang genuin dari Gereja Katolik Roma. Seandainya dosen kami itu, adalah seorang penafsir liberal dan progresif, gaya penafsirannya bisa jadi lain.
Bukannya saya tidak setuju dengan dosen saya, tetapi eksplorasi lanjutan atas topik itu, membuat saya terngiang-ngiang. Di dalam kultur Yahudi, yang menjadi konteks besar penulisan Kitab Suci Kristiani, sistem yang lazim adalah patriarki. Dan saya kira semua eksegetik akan setuju dengan itu. Beberapa indikasi atas kultur patriarki ini misalnya, janda yang suaminya telah meninggal dan tidak memiliki anak laki-laki tidak akan diperhitungkan dalam kultur Yahudi (bdk. Lukas 7:11-17), perempuan yang tanpa ayah dan saudara laki-laki (bdk. Yoh 11:1-44), perempuan mandul disebut aib (bdk. Lukas 1:39-56), apalagi perempuan yang hamil di luar nikah (Matius 1:19).
Perkawinan Patriarki
Nuansa patriarki ini kalau dibaca dalam konteks perkawinan akan sedikit berbeda. Di dalam kultur-kultur patriarki lainnya. Misalnya dalam kultur Tetun, di mana penulis lahir dan dibesarkan, umumnya seorang perempuan yang telah dibayar lunas maharnya (belis), telah menjadi seorang istri yang sah. Karena itu ia harus meninggalkan rumah orang tuanya, mengikuti laki-laki (suaminya), dan tinggal di rumah suaminya.[3] Di dalam kultur Tetun, peristiwa ini dikenal dengan antar Feto Fou (antar menantu baru).
Beberapa teman dari kultur lain, seperti Dawan, Manggarai, Ende, Lamaholot juga mengisahkan hal yang sama. Dalam kultur mereka yang patriarki juga, perempuanlah yang harus meninggalkan orang tuanya dan tinggal di rumah suaminya.
Pernikahan dalam Patriarki Yahudi
Di dalam Kej. 2:24 dikatakan bahwa “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Kalau ditinjau dari kacamata masyarakat patriarki seperti beberapa suku yang telah disebutkan di atas hal tersebut cukup janggal. Seharusnya rumusan yang tepat, “seorang perempuan akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan suaminya.”
Pembacaan Ulang Karl Barth
Terlepas dari kejanggalan itu, Karl Barth, seorang teolog protestan ternama abad XX membaca terang teks itu dalam perspektif Kristologi dari atas. Menurut Barth, laki-laki yang meninggalkan rumahnya merupakan simbolisasi dari Kristus yang meninggalkan kemuliaan-Nya dan masuk ke dalam realitas dunia. Kalimat bersatu dengan mempelai wanita, menurut Bart adalah persatuan antara Yesus Kristus dengan Gereja, sebagai mempelai.[4] Kristuslah yang menjemput mempelainya (Gereja).
Barth rupanya memperjelas lagi penafsiran Rasul Paulus atas teks Kej. 2:24 yang tertuang dalam Ef. 5: 31-32, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”[5]
Kontinuitas Sejarah Keselamatan
Paulus dan Bart rupanya sama-sama bertolak dari kontinuitas sejarah keselamatan: dari penciptaan – penebusan. Bahwa Kristus telah ada sebelum dunia dijadikan. Kristus ada sebelum waktu (bdk. Yoh. 1:1).
Kalau kembali lagi sanggahan dosen kami tadi, bukankah ini juga terlalu tergesah-gesah. Bukankan teks Kej. 2:24 itu ditulis tanpa antisipasi atas Kristus? Beberapa eksegetik berpendapat bahwa teks tersebut merupakan sisa-sisa saduran redaktur dari teks-teks kuno Timur Dekat (Ancient Near East Text). Saduran yang kurang jeli ini kemudian membuat beberapa kultur pagan akhirnya diadopsi ke dalam teks Kitab Suci Yahudi. Salah satu contoh pendukung adalah nama Allah dalam teks Kejadian, yaitu Adonai yang bermakna jamak. Nama Adonai ini merupakan pengaruh kultur politeisme bangsa-bangsa di sekitar daerah sabit subur (mediterania) dan agama Yahudi sendiri yang awalnya menganut paham henoteisme[6], bukan monoteisme.
Pengaruh Budaya Timur Dekat Kuno
Teks kejanggalan perkawinan dalam kultur patriarki Yahudi sendiri besar kemungkinan akibat dari redaktur kitab Kejadian yang kurang jeli. Fakta yang bisa dijadikan rujukan adalah adanya kultur matrilineal yang ditemukan dalam budaya timur tengah kuno. Misalnya ada dewi-dewi kuno yang sangat berkuasa, seperti Tiamat dan Innah yang oleh orang Mesopotamia dan Sumeria disebut sebagai dewi kesuburan dan kehidupan. Juga Dewi Ashera yang menjadi dewi kesuburan orang-orang Kanaan. selain itu, beberapa arkeologi telah menemukan bahwa di daerah sekitar Mediterania, seperti Peradaban Lycians, Minoan Crete, dan Ebla sudah ada kultur maternalisme.[7]
[1] Budi Hardiman, Seni Memahami, Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
[2] J. Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
[3] Yang dimaksud rumah suaminya, sesungguhnya adalah rumah orang tua suaminya . Kendatipun seorang laki-laki sebelum menikah telah memiliki rumah sendiri.
[4] Eben Nuban Timo, Foni Bil Metan: Kemitraan Israel, Gereja, dan Agama-Agama dalam Sebuah Mitos dari Timor, Maumere: Ledalero, 20017.
[5] Eben Nuban Timo, Foni Bil Metan: Kemitraan Israel, Gereja, dan Agama-Agama dalam Sebuah Mitos dari Timor, Maumere: Ledalero, 20017.
[6] Percaya pada satu Allah, meskipun tetap mengakui keberadaan Allah-Allah lain.
[7] Marija Gimbutas, The Civilization of the Goddess, Harper Collins Publisher, 1991
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus