Claretpath-Sebuah adigium klasik pernah ditulis demikian, “kalau anda ingin memetik hasil jangka pendek, tanamlah jagung atau padi. Kalau anda ingin memetik hasil jangka panjang tanamlah pohon kelapa. Tetapi jika anda ingin memetik hasil sepanjang masa, didiklah manusia.[1] Manusia menjadi obyek sekaligus subyek agar sebuah pendidikan itu bisa eksis. Bayangkan pendidikan tanpa manusia? Apa yang bisa dibicarakan? Pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi manusia.
Manusia dalam kaca mata alkitabiah Kristen diciptakan dari tanah (laki-laki) dan juga tulang rusuk pria bagi wanita. Bersamaan dengan itu pula, manusia dipandang sebagai ciptaan yang istimewa. Keistimewaan itu terletak pada keberadaan akal budi yang tidak dimiliki oleh ciptaan lainnya. Sebenarnya lebih jauh direfleksikan bahwa tidak hanya “akal budi” yang membuat manusia istimewa, tapi kehadiran “kehendak” menjadikan manusia berbeda dari ciptaaan lainnya.
Akal budi (intelektus) dan kehendak (voluntas) menjadi dua fakultas dalam diri manusia yang mendorong manusia untuk secara lebih bebas dan bertanggung jawab dalam bertindak. Akal budi manusia tidak hadir dengan sebuah perbendaharaan pengetahuan yang mapan atau memadai. Bisa diamati secara baik, otak atau akal budi seorang bayi yang baru saja lahir akan berbeda cara kerjanya dengan akal budi orang dewasa. Artinya dapat ditarik kesimpulan bahwa akal budi bisa bekerja dengan baik atau bekerja secara efektif jikalau telah mengalami apa yang dinamakan sebagai sebuah transformatif kognitif. Transformasi kognitif diperoleh melalui pengalaman yang ia alami setiap hari dan juga jenjang pendidikan yang ia lewati.
Dalam dunia pendidikan yang manusia lewati entah formal atau pun non formal ada begitu banyak cara atau metode yang digunakan oleh manusia (pendididik) untuk manusia (yang dididik) agar mencapai sebuah transformasi kognitif. Salah satu metode atau pun cara yang digunakan adalah dengan adanya gerakan literasi. Literasi menjadi salah satu cara atau metode agar pendidikan terhadap manusia berjalan efektif atau agar akal budi manusia bertindak lebih efektif.
Literasi
Konsep literasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada mulanya literasi sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai kepahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Tak mengherankan, kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Lebih lanjut, literasi dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial di dalam masyarakat. Di sinilah literasi sering dianggap sebagai kemahiran berwacana. Dalam konteks inilah Deklarasi Praha pada tahun 2003 mengartikan literasi sebagai kemampuan seseorang dalam berkomunikasi di masyarakat. Literasi juga mengandung makna praktek dan hubungan sosial yang berkaitan dengan bahasa, pengetahuan, dan budaya (UNESCO, 2003).[2]
Deklarasi UNESCO tersebut juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.[3]
Claret dan Filosofi Literasi
St. Antonius Maria Claret atau lebih akrab dengan sapaan Pater Claret adalah Uskup Agung Kuba (1850-1857), salah satu bapak Konsili Vatikan I yang diangkat menjadi orang kudus dan pendiri Kongregasi Para Misionaris Claretian (CMF). Pertanyaan fundamental yang perlu dimiliki pembaca adalah siapakah Pater Claret dan apa hubungannya dengan literasi? Apa yang pernah dibuatnya hingga tulisan ini menggarap Claret dan filosofi literasinya? Seperti pertanyaan Natanael kepada Filipus yang mengajaknya untuk bertemu Yesus, adakah sesuatu yang baik datang dari Nazaret? Demikian pertanyaan yang sama dengan formulasi yang berbeda, adakah sesuatu yang literatif datang dari Pater Claret? Bagaimana Claret dan filosofi literasi? Apa yang mau ditawarkan Claret?
Ada begitu banyak defenisi tentang literasi. Terlepas dari semua defenisi yang ada, penulis hendak mengajak pembaca untuk sejenak berpetualang bersama Claret dalam jejak literatifnya. Claret memiliki filosofi tersendiri terkait literasi. Secara sederhana filosofi literasi yang ditawarkan oleh Claret adalah bagaimana membaca, menulis harus menjadi kebutuhan[4] bukan sebuah aktus yang lahir dari keterpaksaan.
Claret memiliki perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Ia benar-benar menyadari bahwa melalui pendidikan manusia akan mampu ditransformasi menjadi lebih baik….saya selalu dan di semua pemukiman mengunjungi sekolah-sekolah anak laki-laki dan anak perempuan dan bercakap dengan bapa, ibu guru dan murid-murid.[5] Hal lainnya yang dibuat sebagai bentuk perhatiannya pada dunia pendidikan adalah dengan mendirikan perpustakaan[6]. Claret dalam filosofi literasinya tidak hanya berfokus pada pendidikan formal (sekolah), namun, ia juga menaruh perhatian yang sama pada pendidikan non formal misalnya dalam bidang pertanian[7].
Perhatian yang begitu besar yang dimiliki oleh Claret terhadap dunia pendidikan tidak pernah terlepas dari kecintaannya terhadap budaya membaca dan menulis yang ia miliki. Secara pasti ia digolongkan sebagai seorang penulis ternama pada zamannya. Karya-karya yang dihasilkan selalu sangat berdimensi spiritual. Namun, karya tersebut dibedah dan ditulis dengan melibatkan daya eksplorasi filosofi dan teologi yang mendalam. Sudah pasti bahwa mengapa ia bisa menulis begitu banyak karya? Karena budaya membaca bukan lagi sebuah keinginan melainkan kebutuhan. Seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik. Demikian Claret adalah seorang penulis ternama karena dia adalah seorang pembaca yang baik.
Ada begitu banyak karya atau buku yang ia hasilkan selama hidupnya. Buku pertama yang ia terbitkan berisi beberapa nasihat atau peringatan rohani, buku kedua yang ia tulis berkaitan dengan nasihat-nasihat kepada para pemudi, orang tua, anak-anak yang menjadi satu kumpulan tentang nasihat dari anak-anak hingga orang tua[8]. Semua buku, pamflet atau selebaran yang ia hasilkan kini disimpan di Barcelona tepatnya di Vic yang menjadi pusat spritual bagi para Claretian.
Diantara hampir 2000an karya (buku, pamflet atau selebaran) yang ia hasilkan, salah satu maha karya yang ia tulis dan menjadi pegangan bagi perjalanan misi, spiritual dan kharisma kongregasi adalah Autobiografinya. Ia mulai menulis maha karyanya ini di usia ke 51 pada tahun 1861[9]. Jika ditelisik lebih dalam, karyanya ini ditulis dengan suatu ketelitian akademis yang ketat dan alur pemikiran yang sangat sistematis. Bagaimana Claret berusaha untuk menguraikan dengan begitu indah dan detail akan pengalaman-pengalaman yang ia miliki. Ia menarasikannya dengan begitu anggun sehingga menyenangkan hati para pembaca. Sudah pasti bahwa narasi dalam karyanya itu terselib pemikiran-pemikiran yang sarat akan muatan spritual-teologis-filosofis yang memadai.
Claret menjadi seorang penulis yang sangat produktif karena sekali lagi ia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap budaya membaca. Dalam autobiografi Bab XXI sarana keenam ia mengulas dengan sangat apik bagaiamana budaya membaca itu perlu dimiliki oleh setiap orang bahkan manusia pada umumnya. Claret mengatakan;
“Membaca buku-buku yang baik selalu dianggap sangat berguna, tetapi sekarang itu adalah suatu kebutuhan….buku-buku adalah makanan bagi jiwa, dan sama seperti tubuh dikuatkan oleh makanan yang baik dan dirugikan oleh makanan yang beracun, demikian juga dengan bacaan dan jiwa. Jika orang membaca buku-buku yang baik dan cocok dengan pribadi dan keadaan masing-masing, mereka akan dikuatkan dan sangat berkembang. Tetapi jika mereka membaca buku-buku jelek, koran-koran yang bersifat fasik, selebaran-selebaran yang bidaah, dan literatur lain yang merusak, kepercayaan mereka akan jadi rusak dan moral mereka akan tersesat.”[10]
Claret membahas secara khusus mengenai bagaimana seseorang itu harus memiliki kebiasaan membaca buku-buku yang baik yang memiliki efek yang begitu besar untuk dirinya dalam autobiografinya dari nomor 310-339. Ini semua menjadi nyata bagaimana perhatiannya yang besar terhadap pendidikan secara khusus literasi.
Dengan demikian, filosofi literasi Claret sangatlah sederhana, namun efeknya sangat besar bagi kehidupan nyata. Jikalau dalam pengertian yang sistematis, literasi tidak hanya soal membaca, menulis, berbicara tetapi kemampuan atau ketrampilan yang dimiliki dalam memproses setiap informasi yang diperoleh dan bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Maka, Claret sekali lagi menawarkan filosofi literasinya dengan berangkat dari satu paradigma berpikir yang baru yakni membaca. Membaca menjadi salah satu unsur konstitutif yang dapat membawa manusia pada transformatif kognitifnya.
Claret menawarkan bagaimana membaca dipadang sebagai sebuah kebutuhan bahkan bukan hanya kebutuhan tapi bagian dari hidup. Karena baginya membaca buku-buku yang baik adalah makanan bagi jiwa. Orang akan menjadi penulis, pembicara dan mampu menganalisa setiap kenyataan yang ada dengan baik jikalau dia adalah seorang pembaca yang baik.
Pembaca “yang baik” bukan karena ketika membaca ia tidak berlaku jahat kepada buku. Namun, pembaca yang baik harus sampai pada pemahaman bahwa membaca bukan karana supaya dipuji orang, dilihat orang, dipandang baik, atau karena terpaksa apa lagi formalitas. Melainkan karena membaca adalah suatu kebutuhan yang membawa kita melihat budaya membaca sebagai bagian dari hidup. Dengan membaca kita akan menjadi penulis dan pembicara yang baik. Jadilah seorang pembaca yang baik. Jika bukan sekarang kapan lagi, jika bukan kita, siapa lagi!
[1] Herman Musakabe, Menjadi MANUSIA KAYA ARTI,(Bogor: Citra Insana Pembaru, 2011), hal. 58.
[2] Djoko Saryono, Sejarah Perkembangan Literasi, dalam https://matakita.co/2017/06/27/sejarah-perkembangan-literasi/ diakses pada tanggal 24 Januari 2023, pukul 10:31 AM.
[3] https://sevima.com/pengertian-literasi-menurut-para-ahli-tujuan-manfaat-jenis-dan-prinsip/ diakses pada tanggal 24 Januari 2023, pukul 10:36 AM.
[4] Autobiografi Nomor 311. Membaca buku-buku yang baik selalu dianggap sangat berguna, tetapi sekarang adalah suatu kebutuhan.
[5] Auto.,560.
[6] Auto.,566. …perpustakaan itu sendiri terbuka kepada umum selama dua jam waktu pagi dan dua jam waktu sore.
[7] Ibid.
[8] Auto.,313.
[9] Auto.,1.
[10] Auto.,311.
Penggiat literasi