ClaretPath.com-Selama 2.5 juta tahun manusia mencari makanan dengan cara mengumpulkan dan berburu hewan yang hidup dan berbiak… Homo erectus, homo egaster, dan orang-orang Neandertal memetik ara liar dan berburu domba liar tanpa menentukan di mana pohon ara harus berakar, di padang mana sekawanan domba harus merumput,,,. (Yuval:2017,93). Tesis mini yang bisa diutarakan atas pernyataan di atas adalah manusia tidak bisa dilepas pisahkan dari kenyataan bahwa mereka membutuhkan sesuatu. Kebutuhan sandang, pangan dan papan menjadi sebuah keharusan. Eksistensi manusia dipertahankan dengan memenuhi semua yang menjadi kebutuhannya.
Manusia yang hidup 2.5 juta tahun silam memenuhi kebutuhan mereka dengan mengumpulkan apa yang sudah tersedia pada alam. Alam seakan menjadi “ibu” bagi manusia-manusia purba, ia memberikan segalanya kepada mereka. Bahkan di alam pun manusia itu harus bersaing untuk mempertahankan hidup, generasi dan spesies mereka. Mereka harus menyingkirkan yang lain demi kelangsungan dan keberlanjutaan hidup. Pertikaian yang terjadi antara mereka tidak hanya mau menunjukan siapa yang berhak atas tempat mereka berpijak dengan segala kekayaan yang ada. Namun, karena kebutuhan akan pengakuan dari kelompoknya, spesies lainnya dan bahkan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, mereka rela bertikai. Sekali lagi kebutuhan menjadi unsur konsititutif bagi manusia.
Jika dilihat secara holistik perkembangan zaman terjadi begitu cepat. Pada saat bersamaan kebutuhan akan sesuatu tidak pernah lenyap dari kenyataan keberadaan manusia. Manusia dan kebutuhan itu ibaratkan dua sisi koin, yang satu menegaskan yang lain. Namun, yang menariknya bahwa, cara memperoleh atau memenuhi kebutuhan antara manusia purba dan modern atau post-modern jauh berbeda. Manusia modern atau post-modern dengan menggunakan uang atau pun kartu kredit atau pun aktivitas fisik bisa memperoleh apa yang mereka butuhkan atau inginkan. Jika dibandingkan dengan manusia purba.
Kemajuan teknologi yang semakin pesat mempermudah akses manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Kehadiran pusat-pusat perbelanjaan dari skala mikro sampai pada skala makro tidak dapat dibendung. Pusat perbelanjaan dari mini market dengan wajah yang bervariatif seperti Alfa Mart, Indomaret, Indomart dan lain sebagainya, bahkan jika merasa terlalu kecil dan belum bisa memenuhi kebutuhan. Hadir juga dalam skala yang makro seperti Lippo,Transmart, Mall bertingkat-tingkat dan lain sebagainya. Semua ini hadir agar akses manusia untuk memenuhi kebutuhannya terjamin. Bahkan manusia di era sekarang karena tingkat konsumsinya yang semakin meningkat, dilabeli sebagai masyarakat konsumsi.
Label demikian, mengapa tidak diberikan kepada para manusia purba? Apakah mereka juga tidak mengkonsumsi sesuatu demi kebutuhan? Apakah karena masa itu belum hadir pusat perbelanjaan atau pun kartu kredit? Rupanya tidak demikian. Mereka (manusia purba) juga mengkonsumsi segala yang dibutuhkan, namun masih pada taraf yang normal. Dengan pemaknaan akan kebutuhan demi keberlangsungan hidup mereka, tidak makan maka kematian menjemput, tidak berpakian maka, perubahan cuaca akan menimbulkan rasa tidak nyaman, begitu pun kebutuhan lainnya.
Dengan demikian, jika masyarakat sekarang dilabeli sebagai masyarakat konsumsi, maka ada sesuatu yang harus diteliti lebih jauh. Sepertinya ada perosoalan atas kemauan manusia zaman sekarang pada taraf kebutuhan. Apakah dengan demikian, kita mempertanyakan kehadiran pusat perbelanjaan? Seakan-akan meredukis eksistensi manusia? Pertanyaan yang penting juga adalah, apakah masyarakat konsumsi di era saat ini adalah sebuah persoalan? Apakah masyarakat konsumsi meruduksi banyak nilai?
Masyarakat Konsumsi
Kebutuhan akan sesuatu itu menjadi satu kenyataan yang mendukung keberadaan manusia. Apa pun bentuk kebutuhannya, kebutuhan menjadi unsur konstitutif bagi manusia. Masyarakat era ini dilabeli masyarakat konsumsi, maka seyogyanya kebutuhan disini diterawang secara lebih dekat pada skala konsumsi bagi manusia pada umumnya. Kebutuhan manusia itu bervariasi, dengan demikian produksi atas apa yang menjadi kebutuhan manusia pun bervariasi adanya.
Dari kenyataan Variatifnya kebutuhan, manusia juga diperhadapkan dengan tuntutan untuk mengikuti setiap perubahan barang yang dikonsumsi. Perubahan disini lebih pada, tawaran-tawaran barang yang sama dengan model dan kualitas yang berbeda. Mode dan kualitasnya mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Menurut Baudrillard seperti yang dikutip Haryatmoko bahwa, masyarakat harus mengikuti ritme barang kebutuhan dan pergantiannya terus-menerus. (Haryatmoko;2016,64).
Konsekuensi atas kenyataan tersebut adalah hubungan antara konsumen dengan apa yang dikonsumsi pun ikut berubah. Orang membeli barang bukan karena dia berguna atau sesuai dengan kebutuhan dalam kesehariannya. Namun, masyarakat sekarang seperti hendak menemukan sebuah makna yang lain dengan membeli barang tersebut. Budaya konsumtif sangat lihai dalam membuat kita menginginkan lebih, lebih, dan lebih. Di bagian dasar dari semua sensasi dan pemasaran itu, terdapat implikasi bahwa semakin banyak selalu berarti semakin baik (Manson;2022,215).
Ketika seseorang membeli meja, kursi untuk ruang tamu, ada satu dorongan yang kuat dari dalam diri atau tergoda untuk membeli rak buku, jenis lampu penerang yang sesuai, pernak-pernik lainnya untuk ditempatkan di ruang tamu tersebut. Jika ditelisik, seharusnya cukup dengan membeli kursi, meja untuk ruang tamu, ruangan tersebut sudah diidentifikasi sebagai ruang tamu. Namun, seoalah-olah ada dorongan dari cara berpikir bahwa suatu ruangan hanya disebut ruang tamu jikalau dilengkapi dengan aksesoris lainnya. Seperti mengikuti trend ruang tamu era sekarang.
Bagi Baudrillard, masyarakat konsumsi yang mengalami pergeseran paradigma berpikir tentang esensi atas barang yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh iklan. Reklame atau iklan entah di televisi, surat kabar atau pun dimana saja, memiliki daya pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat saat ini.
Aku Shopping Maka Aku Ada
Shopping (belanja) merupakan pemerolehan barang atau jasa dari penjual dengan tujuan pembelian pada waktu itu. Belanja adalah aktivitas pemilihan dan/atau membeli. Dalam beberapa hal dianggap sebagai sebuah aktivitas kesenggangan juga ekonomi. Maka, belanja disini selalu memiliki relasi yang erat dengan kata konsumsi. Logikanya orang berbelanja karena hendak mengkonsumsi (pangan) atau karena hendak menggunakan barang belanjaannya (sandang dan papan) tersebut.
Sepintas dengan defenisi yang ada di atas, shopping atau belanja tidak menjadi sebuah persoalan atau hendak dipersoalkan. Karena orang berbelanja karena tuntutan kebutuhan ekonomi atau hendak memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pada waktu bersamaan menegaskan keberadaan mereka sebagai manusia yang membutuhkan sesuatu (sandang, pangan dan papan) untuk bertahan hidup.
Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah paradigma berpikir atau citra yang dibangun terkait barang belanja demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari itu bergeser menjadi sebuah keharusan demi pengakuan akan keberadaannya. Logikanya, antara konsumen dengan barang yang hendak dikonsumsi tidak berada pada jalur kebutuhan pokok tetapi konsumen memperoleh barang tersebut karena mengikuti apa yang lagi tren dibicarakan atau yang sedang digunakan oleh tetangga atau kenalannya. Fungsi barang sebagai pemenuhan kebutuhan pokok manusia bergeser menjadi pemenuhan akan pengakuan keberadaannya atau pemenuhan akan tuntutan kelompok tertentu.
Kenyataan yang ada ini mau menunjukan bahwa pergeseran paradigma tersebut dipengaruhi oleh iklan atau reklame. Iklan atau reklame hadir sebagai tanda yang benar-benar mempengarui citra dari masyarkat pada umumnya. Masyarakat menegaskan keberadaanya dengan citra yang ia bangun seturut apa yg dihadirkan oleh iklan atau reklame. Kita tidak membeli sesuatu karena kebutuhan real akan kegunaan praktis barang tersebut. Kita sebenarnya membeli apa yang kode/tanda sampaikan kepada kita tentang apa yang seharusnya dibeli.
Orang membeli barang branded bukan karena dia butuh, melainkan karena dipengaruhi oleh iklan dan dorongan dari pihak lain. Ketika seorang melihat reklame atau iklan akan iphone 13 atau jam tangan, sepatu keluaran terbaru. Maka akan ada dorongan dari dalam diri untuk memilikinya atau membelinya. Sebenarnya dia sendiri sudah memiliki handphone, sepatu atau jam tangan yang sedang ia gunakan sekarang. Namun, karena dipengaruhi oleh reklame atau iklan, dan juga ketika melihat tetangga, kenalan atau teman-teman tongkrongan sudah memiliki barang-barang branded tersebut. Maka akan ada dorongan untuk memilikinya, walaupun fungsi dari barang yang branded itu sama saja dengan barang yang sudah dimilikinya.
Kenyataan ini mau menunjukan bahwa orang tersebut yang memutuskan untuk membeli barang branded bukan karena kebutuhan. Namun, karena dipengaruhi oleh iklan atau pun kehendak dari kelompok atau orang lain. Atau terkait dengan makanan orang pada zaman dahulu melihat makanan sebagai “sesuatu” yang dapat mengenyangkan perut. Kini, ketika kita berhadapan dengan makanan, makanan bukan lagi “makanan-de facto” bukan realitas, tapi “simbol/tanda” yang memenuhi kebutuhan lain selain kenyang yaitu citra diri dan identitas. Sebagai simbol, makanan “tidak nyata”. Karena orang memutuskan makan di KFC bukan semata-mata untuk kenyang atau bertahan hidup tetapi menunjukan bahwa dia orang “berada” atau tidak kalah hebat dengan orang berduit pada umumnya. Citra diri dan pengakuan akan identitas oleh sosial sangat kuat.
Dalam logika tanda dan simbol, barang-barang bukan dikaitkan pada suatu fungsi atau kebutuhan tertentu, karena barang-barang tersebut menjawab hal lain, yaitu logika sosial dan logika hasrat. Kedua logika ini, menurut Baudrillard, mau menjawab arena yang bergerak dan tidak sadar akan pemaknaan (Haryatmoko;2016,71). Pemenuhan akan logika sosial, logika hasrat dan pengaruh reklame atau iklan adalah kenyataan yang sedang merantai masyarakat konsumsi di hari ini bahkan esok dan lusa.
Dengan demikian, “aku shopping maka aku ada” menunjukan bahwa manusia di era sekarang ketika masyarakat pada umumnya dilabeli sebagai masyarakat konsumsi ada nilai-nilai yang direduksi. Barang tidak dilihat sebagai obyek kebutuhan semata, namun sebagai jalan afirmasi citra diri dan identitas pada panggung publik. Fungsi dari barang yang dibeli telah bergeser dari sesuatu yang harus dibeli karena memang dibutuhkan melainkan sebagai jalan penegasan akan keberadannya.
Barang bukan semata-mata memenuhi kebutuhan mendasar. Ketika orang berbelanja barang-barang branded (walapun barang yang sama sudah dimiliki) bukan karena barang tersebut memang harus dibeli demi kebutuhan mendasarnya. Namun, barang itu dibeli karena dipengaruhi oleh reklame atau iklan, logika sosial dan hasrat. Artinya barang yang dibeli karena didesak dari pihak luar bukan murni dibutuhkan atau karena belum memiliki barang tersebut. Namun, hanya sekedar menegaskan keberadannya di tengah-tengah masyarakat. Aku shopping maka aku ada.
Penggiat literasi