Opini  

Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

photo by republika

Akhir-akhir ini, kasus kekerasan seksual menjadi berita yang sering dibicarakan dalam media masa. Sebut saja kasus yang terjadi pada 21 Juni 2021 di Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur di mana seorang pria berinisial WTS (25) memperkosa sepupu sendiri yang masih di bawah umur. Pria ini telah berkeluarga. Ada juga kejadian lain seperti yang dilansir dari KOMPAS.com yang mana terjadi kasus pelecehan seksual yang dialami oleh DC, co-host sebuah tayangan TV swasta. Video itu diunggah oleh salah satu akun TikTok pada 9 Juli 2021. Kekerasan seksual atau juga pelecehan seksual bukanlah masalah yang baru terjadi. Ini sudah terjadi bertahun-tahun dan hanya beberapa kasus saja yang berhasil mendobrak budaya diam (culture of silence) dalam masyarakat.

Kasus kekerasan seksual sering terjadi pada anak-anak dan remaja perempuan. Berdasarkan data yang tercantum dalam Catatan Tahunan (CATAHU) KOMNAS perlindungan Perempuan tahun 2021, tercatat 955 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di ranah RT/RP (rumah tangga/relasi personal) maupun ranah publik. Selain terjadi di ranah rumah tangga/relasi personal, kekerasan seksual juga terjadi di dunia pendidikan dan institusi keagamaan dengan perhatian besar terpusat pada penyandang disabilitas, kekerasan seksual terhadap Anak Perempuan (KTAP), dan kekerasan berbasis budaya, seperti kasus kawin tangkap di Sumba Tengah dan pembenaran kekerasan atas nama adat terhadap perempuan yang dilakukan oleh penjabat publik di Kalimantan Barat.

Jika kita ingin melihat lebih jauh mengenai kekerasan seksual yang menimpa perempuan, ada yang mengatakan (dari pihak korban) bahwa sebenarnya kasus ini sudah lama terjadi, tetapi mereka tidak bisa mengungkapkannya. Bisa dikatakan bahwa memilih untuk diam sudah menjadi budaya bagi mereka yang mengalami kekerasan. Apa yang menyebabkan mereka diam? Semuanya karena budaya kita yang masih menganggap perempuan memiliki derajat lebih rendah dari laki-laki masih sangat kuat. Hanya para pria yang memiliki kebebasan dan pria adalah pusat makluk hidup dan perempuan tidak memiliki hak sedikit pun (pandangan masyarakat Yunani kuno). Kekuatan fisik dan budaya yang menganggap bahwa pria adalah pusat makhluk hidup, menjadikan budaya diam terus berlanjut dalam masyarakat.

Baca juga :  Orang-Orang Lelah | Opini

Ketika berhadapan dengan peristiwa seperti ini, yang harus dilakukan adalah bagaimana membela hak perempuan untuk mendapat perlindungan, bukan melestarikan budaya diam. Membantu mereka agar bisa bersuara dan bukan memojokkan mereka dan menjadikan mereka sebagai sumber kejahatan. Pandangan tentang perempuan sebagai sumber terjadinya kekerasan seksual bukan cerita baru bagi negeri ini. Pertanyaannya, apakah benar begitu?

Dalam buku Heaven on Earth: Potret Kehidupan Manusia (2015) yang ditulis oleh Mona Sugianto berkisah tentang seorang raja yang hendak melakukan perjalanan jauh dan ia meminta agar semua prajuritnya membentangkan karpet di sepanjang jalan. Tujuannya adalah agar kakinya tidak menginjak duri atau benda tajam yang bisa melukainya karena ketika berjalan, raja tersebut tidak memakai sandal. Raja yang berjalan jauh tetapi tidak memakai sandal yang seharusnya bisa ia lakukan dengan mudah dan sangat masuk akal daripada ia harus meminta orang lain untuk membentangkan karpet di sepanjang jalan.

Kisah singkat ini berkaitan dengan keadaan perempuan ketika mengalami kekerasan seksual dan dianggap sebagai sumber kesalahan. Ada yang mengatakan, jika perempuan ingin agar tidak terjadi hal seperti itu, berpakaianlah yang sopan. Berhadapan dengan pernyataan seperti ini, coba kita melihat bagaimana kekerasan seksual yang terjadi pada anak yang dilakukan oleh ayah kandungnya dan orang-orang terdekatnya.

Berdasarkan data dari survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2019 seakan menepis pernyataan tentang kekerasan terhadap perempuan karena cara penggunaan pakaian. KRPA melakukan survei dengan melibatkan para korban kekerasan seksual berjumlah 32.341 responden. Hasil survei menegaskan bahwa kekerasan seksual yang terjadi bukan karena faktor penggunaan pakaian yang terbuka. Sebanyak 17,47 % atau sebanyak 5.651 responden yang mengatakan bahwa pakaian yang mereka pakai pada terjadinya kasus ini adalah rok atau celana panjang. Sebanyak 15,82 % atau 5.117 responden yang mengatakan bahwa mereka menggunakan baju lengan panjang. Apakah kita masih bisa mengatakan bahwa cara berpakaian perempuan menjadi sumber kesalahan? Tentu tidak. Lalu apa yang masih menjadi tugas yang harus dibenahi? Ini berkaitan dengan perasaan manusia yang menganggap orang lain masih sebagai yang lain dari dirinya dan hilangnya budaya sensibilitas.

Baca juga :  Kesadaran Relasionalitas dalam Simbol Puah-Manus: Optimalisasi Inklusivitas Persaudaraan Mahasiswa Milenial |Opini

Budaya sensibilitas (kepekaan) terhadap situasi dan kepada orang lain sangat dibutuhkan oleh setiap manusia. Kecerdasan intelektual saja belum tentu bisa membantu seseorang menghindari tindakan kekerasan seksual. Secerdas apapun manusia, ia adalah binatang yang berpikir seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Jadi, ia tidak bisa melepaskan diri dari “kebinatangan” yang melekat dalam dirinya. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal budi (rasio) dan perasaan atau sensibilitas. Akal budi membantu manusia membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pembedaan antara yang baik dan yang buruk berkaitan dengan keinginan manusia. Untuk itu, manusia tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual, tetapi harus memiliki sensibilitas.

Berkaitan dengan sensibilitas ada dua hal yang berkaitan dengan peristiwa kekerasan seksual. Yang pertama sensibilitas dari kaum perempuan. Yang dimaksudkan dengan sensibilitas dalam hal ini, yakni berkaitan dengan suara hati (conscience) seorang perempuan. Biasanya perasaan ini hadir sebelum peristiwa kekerasan seksual terjadi. Seorang psikolog menulis bahwa seorang perempuan tidak boleh mengabaikan suara hati yang ada dalam dirinya ketika berhadapan dengan situasi yang mencurigakan. Ia harus bisa mengambil keputusan sendiri dan jangan mengatakan bahwa ini hanya perasaan yang biasa (Mona Suginato dalam bukunya Heaven on Earth, 2015 ). Kepekaan untuk mengikuti suara hati sangat penting. Melawan suara hati hanya akan menimbulkan penyesalan yang berkepanjangan.

Baca juga :  Bahaya Reduksi Pendidikan

Kedua, sensibilitas yang berkaitan dengan pelaku kekerasaan seksual. Seperti yang sudah dikatakan bahwa kemampuan intelektual saja tidak mampu untuk menghindari pelaku dari kejahatan seperti ini, maka dibutuhkan pembudayaan sensibilitas terhadap sesama. Pembudayaan sensibilitas di lembaga pendidikan dan juga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan karena hal yang baik tersebut bisa membawa seseorang pada kesadaran bahwa dia adalah aku yang lain. Kesadaran ini dapat membuat seseorang menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu sebenarnya sebuah kejahatan yang menodai dirinya sendiri.

Kasus kekerasan saat ini menjadi masalah yang sering dibicarakan. Budaya diam sepertinya sudah melekat dalam diri setiap korban. Hal ini karena kurangnya dukungan dari berbagai pihak dan hilangnya sensibilitas dalam membantu mereka untuk bersuara. Budaya ini harus dihilangkan jika ingin membela martabat perempuan. Sikap ini dapat diganti dengan sikap sensibilitas. Sensibilitas dalam memandang perempuan sebagai bagian dari diri sendiri dan sensibilitas untuk membela hak-hak mereka dan bukan menjadikan mereka sebagai sumber kesalahan. Budayakan sikap sensibilitas dan hilangkan budaya diam (culture of silence).

*Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma

Penulis: Erson Bani*