Pendahuluan
Penaclaret.com – Refleksi tentang hidup sebagai satu komunitas masyarakat perlu dibicarakan secara dinamis. Sokrates, seorang filsuf Yunani Klasik pernah berkata, “hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi”. Kesadaran refleksi ini menjadi modal setiap orang menuju pada tahap kesadaran keberadaan diri. Misalkan kesadaran relasionalitas; Aku adalah bagian dari yang lain yang memiliki martabat yang sama sebagai yang tercipta[1]
Di bumi Nusantara, refleksi relasional menjadi sorotan problematis. Hal ini bertolak dari fakta adanya fenomena pereduksian makna relasional yang menekankan subjektivistik-individualisik-egoistik. Orang cenderung merumuskan keberadaan sesama sebagai objek bukan sebagai subjek otonom. Konsekuensinya sosialitas, kodrat setiap individu untuk memperoleh pengakuan pun mengalami degradasi.
Fenomena ini harus menjadi perhatian kaum milineal, khususnya para mahasiswa. Sebagai agent of change, para mahasiwa perlu melakukan upaya penataan ulang kesadaran relasi dengan orang lain. Caranya, hakikat manusia ditelisik lebih dalam dengan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya. Berbasis pendirian akademis, setiap mahasiswa bisa mengetahui nilai hakiki relasi, yakni persaudaraan lingkungan sosial.
Bertolak dari argumen tersebut, penulis menghadirkan sebuah khazanah tentang makna hidup persaudaraan. Referensi yang dipakai adalah tradisi masyarakat Dawan[2] kebiasaan memamah Puah-Manus.[3] Selain sebagai kebiasaan “alas mulut”, memamah Puah-Manus secara implisit mengandung nilai relasional sebagai sarana mempererat tali persaudaraan antarsesama. Budaya memamah Puah-Manus dalam tradisi masyarakat Dawan dapat dijadikan acuan kaum milineal, secara khusus mahasiswa untuk mengoptimalkan persaudaraan inklusif-universal.
Puah-Manus: Bentuk Autentisitas Masyarakat Suku Dawan
Puah-Manus tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Dawan. Puah-Manus atau sirih pinang bahkan telah menjadi kebutuhan. Jati diri orang Dawan pun tampak lengkap dengan Puah-Manus. Hal ini seakan menegaskan eksistensi autentik masyarakat Dawan. Keautentikan orang Dawan sebagai ‘aku kulturalis’ ditemukan secara nyata dalam kebiasaan memamah (mengunyah) Puah-Manus. Kesadaran diri sebagai ‘aku kulturalis’ mewujudkan ‘aku sebagai orang Dawan’. Kesadaran individualitas ini memampukan masyarakat Dawan mewujudkan otonomi sebagai makhluk budaya terutama sebagai Atoin Pah Meto. Oleh karena itu, ketiadaan Puah-Manus dapat mengakibatkan reduksi keautentikan masyarakat Dawan.
Kesadaran Rasa Persaudaraan Relasional dalam Aktus Memamah Puah-Manus
Memamah Puah-Manus adalah tindakan simbolis persaudaraan. Bernard Raho, dalam bukunya Sosiologi (2016), menegaskan simbol sebagai sarana atau medium yang membantu manusia memaknai apa yang ada disekitarnya.[4] Demikian juga, Puah-Manus merupakan simbol yang hendak mengungkapkan realitas ketersalingan dalam keseharian masyarakat Dawan. Puah-Manus mengungkapkan kesadaran orang-orang Dawan akan adanya gerakan terbuka menerima dan menghargai keberadaan orang lain.
Hal ini menyata dalam setiap tindakan pemberian Puah-Manus kepada tamu sebagai salah satu tindakan penerimaan dan penghargaan terhadap tamu tersebut. Kesadaran refleksional ini sebenarnya bermula dari adanya kepercayaan masyarakat Dawan bahwa Puah-Manus merupakan simbol penghargaan terhadap kehadiran Tuhan dan para moyang masyarakat suku Timor.[5] Kesadaran tradisioal tersebut terus mendorong orang-orang Dawan untuk melestarikan Puah-Manus dari generasi ke generasi sebagai bentuk penghargaan terhadap orang-orang sekitar.
Puah-Manus menegaskan kesanggupan orang-orang Dawan untuk menjalin interaksi dan komunikasi yang relasional inklusif dengan orang-orang di sekitarnya. Puah-Manus membongkar sekat individualistik orang-orang Dawan untuk membangun dan menerima sesama dalam relasi yang timbul dari perbedaan. Artinya, ada sebuah gerakan transformasi diri, yaitu dari ‘aku sebagai Atoin Pah Meto’ menuju “aku yang komunikatif dan relasional”. Muara dari transformasi diri ini adalah lahirnya rasa persaudaraan.
Penyuguhan Puah-Manus mengafirmasi nilai sosialitas yang urgen, yakni rasa persaudaraan. Puah-Manus menggiring individu untuk berani keluar dan menemukan relasi kesalingan yang intensif sebagai pengungkapan persaudaraan. Puah-Manus memposisikan ‘aku’ sebagai subjek yang sanggup menanggalkan sukuisme, egoisme, dan karakteristik individualis lainnya guna menjalin relasi persaudaraan secara inklusif-universal.
Persaudaraan Puah-Manus: Kontribusi Bagi Gerakan Mahasiswa Milenial
Penemuan nilai-nilai persaudaraan dalam budaya lokal dapat mengarahkan paradigma mahasiswa milenial untuk kembali kepada lokalitas sebagai unsur fundamental dari pembentukan integritas diri yang asali. Kesadaran kulturalis ini menjadi standar baru bagi pembentukan integritas pribadi yang relasional dalam proses interaksi sosial setiap mahasiswa. Kesadaran kultur ini seyogyanya menjadi kunci keberlangsungan hidup sebagai ‘aku yang relasional’.
Atas dasar ini, Puah-Manus dalam tradisi masyarakat Dawan mendapatkan tempatnya. Puah-Manus memberi nilai-nilai sosial yang berkontribusi bagi perkembangan integritas pribadi, yakni persaudaraan, kerendahan hati, dan sikap saling menghargai. Keberadaan nilai persaudaraan dalam aktus memamah Puah-Manus pada masyarakat Dawan seyogyanya dapat menjadi cermin bagi mahasiswa milenial dalam kontelasi sosial sebagai suatu bentuk optimalisasi gerakan relasionalitas yang terbuka, rendah hati, dan saling menghargai perbedaan. Puah-Manus dalam tradisi Dawan hadir sebagai contoh bagi para mahasiswa dalam upaya meningkatkan kembali rasa persaudaraan antarsuku, ras, dan adat istiadat. Karena itu, tuntutannya adalah setiap civitas akademika harus mengorientasikan dinamika kesehariannya dengan menanamkan prinsip back to culture.[6]
Nilai persaudaraan dalam Puah-Manus adalah suatu bentuk spiritualitas komunikatif bagi setiap mahasiswa untuk berani menemukan kembali otonomi diri dengan tidak mengingkari keberadaan sesama sebagai yang bukan saudara, tetapi ada suatu intensionalitas terbuka untuk menerima dan menghargai situasi perbedaan.
Penutup
Keberadaan mahasiswa adalah suatu keutamaan dalam gerakan merevitalisasi kembali nilai-nilai lokalitas dalam satu kesatuan integral dengan nilai-nilai religius, moral, dan intelektual. Seorang mahasiwa harus mampu berada dalam relasi seimbang. Tidak menegasi orang lain terutama dalam upaya merekonstruksi nilai-nilai budaya lokal.
Kontribusi nilai-nilai lokal sangat besar sebagai upaya meningkatan spiritualitas persaudaraan terbuka. Puah-Manus adalah simbol lokalitas Dawan yang dapat dimaknai nilainya sebagai cermin bagi sebuah gerakan optimalisasi persaudaraan antar sesama, terutama dalam komunitas akademis. Puah-Manus tidak hanya menegaskan kondisi integritas diri orang-orang Dawan tetapi bagi semua orang yang disuguhi dengan Puah-Manus. Citra persaudaraan diwujudnyatakan dalam Puah-Manus yangmenembus sekat-sekat sukuisme dan mengarah pada relasi inklusif.
Tindakan memamah Puah-Manus adalah aktus simbolistik yang hendak menampilkan suatu gerakan transformasi diri dari ‘aku kulturalis ke aku komunikatif relasional’. Oleh sebab itu, para mahasiswa perlu merevitalisasi nilai-nilai lokal dalam tradisi Puah Manus sebagai dasar optimalisasi gerakan persaudaraan yang mengedepankan keterbukaan, kerendahan hati, dan saling menghargai keberbedaan antarsesama.
Daftar Pustaka
Deda, Yohanis N dan Disnawati, Hermina., Buku Ajar Etnomatematika Kawasan Perbatasan NKRI-Timor Leste, Yogyakarta: Deepublish, 2019.
Nur Aidah, Siti dan Tim Penerbit KBM Indonesia, Langkah Membangkitkan Generasi Muda yang Berbudaya: Mengenal Budaya, Yogyakarta: KBM Indonesia, 2020.
Makleat, Nirwaning., Puah Manus Sebagai Sarana Pembelajaran Masyarakat Suku Timor, Nusa Tenggara Timor, Journal of Millennial Community, 2 (1), 2020.
Raho, Bernard., Sosiologi, Maumere: Ledalero, 2016.
Tjaya, Thomas H., Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
Tefa Sawu, Andreas., Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Ende: Nusa Indah, 2004.
[1] Thomas H. Tjaya, Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 5. [Pernyataaan ‘yang lain’ ini merujuk pada pribadi yang lain, sesama. Penggunaan term ‘yang lain’ ini merupakan terjemahan dari kata: L’autre yang adalah konsep filosofis dari Emmanuel Levinas tentang Yang-Lain].
[2] Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, (Ende: Nusa Indah, 2004), 16. [Masyarakat Suku Dawan pada umumnya dikenal dengan sebutan Atoin Pah Meto. Andreas Tefa Sawu, sebagai seorang peneliti budaya lokal masyarakat Dawan menyebutkan bahwa suku Dawan (Atoin Pah Meto) adalah sebutan bagi orang-orang asli Timor khususnya bagi orang Dawan atau orang-orang yang tinggal di pulau yang kering pula. Masyarakat suku Dawan ini mendiami seluruh wilayah Timor Barat, dan tersebar di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara]
[3] Yohanis N. Deda dan Hermina Disnawati, Buku Ajar Etnomatematika Kawasan Perbatasan NKRI-Timor Leste, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 9. [‘Pua-Manus’ merupakan istilah yang berasal dari bahasa Dawan yang berarti Siri-Pinang].
[4] Bernard Raho, Sosiologi, (Maumere: Ledalero, 2016), 130.
[5] Nirwaning Makleat, “Puah Manus Sebagai Sarana Pembelajaran Masyarakat Suku Timor, Nusa Tenggara Timor,” Journal of Millennial Community, 2 (1), (2020): 28-32.
[6] Siti Nur Aidah dan Tim Penerbit KBM Indonesia, Langkah Membangkitkan Generasi Muda yang Berbudaya: Mengenal Budaya, (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2020), 7.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.