Jon Sobrino “Voice of the Voiceless”

Jon Sobrino “Voice of the Voiceless”

Claretpath.com-Penderitaan itu suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak manusia. Penderitaan in se ada saat manusia memang sedang menyejarah dalam ruang dan waktu. Penderitaan tidak bisa diidentifikasi jikalau manusia sedang tidak menyejarah. Tanpa manusia, penderitaan tidak ada. Hewan pun tidak bisa diidentifikasi bahwa sedang menderita, jikalau pengidentifikasian itu bukan dilakukan oleh manusia. Penderitaan dan manusia ibarat dua sisi mata uang koin, satu menegaskan yang lain. Adanya manusia serentak mengafirmasi adanya penderitaan begitu pun sebaliknya, pengidentifikasian akan adanya penderitaan karena manusia sedang menyejarah.

Dalam terang kausalitas (prinsip sebab akibat), penderitaan dilabeli sebagai sebuah akibat akan sesuatu. Penderitaan tidak bisa secara in se menjadi sebab sekaligus akibat. Ia ada sebagai sebuah akibat atas aktus sesuatu yang di luar dirinya. Ada begitu banyak penyebab penderitaan. Seorang kekasih yang kehilangan belahan jiwanya akan menderita kesepian bahkan kehilangan. Seorang anak yang ditinggal pergi (meninggal) ayah dan ibunya sejak kecil akan sangat menderita karena merindukan kasih sayang mereka. Selain itu, seorang buruh kasar akan sangat menderita kelaparan jikalau tidak memiliki pekerjaan. Bahkan kemiskinan pun bisa menjadi sebuah penderitaan bagi yang mengalaminya. Atau di lain sisi, dihadapan kemiskinan yang sedang melanda suatu masyarakat akan diperparah jikalau masyarakat tersebut mengalami penindasan dari orang-orang yang memiliki kuasa. Artinya tidak hanya kemiskinan, tapi penindasan juga menjadi sebab adanya penderitaan.

Orang miskin sudah pasti menderita, namun orang yang menderita belum pasti disebabkan oleh kemiskinan. Namun, ada faktor lain yang melatarbelakangi penderitaan tersebut. Kemiskinan jikalau dikiritis secara lebih dekat, akan melahirkan pertanyaan demikian. Kemiskinan seperti apa yang melahirkan penderitaan dan pada saat bersamaan harus diperjuangkan oleh mereka yang merasa terdorong untuk membantu? Jikalau kemiskinan karena faktor kemalasan subyek tertentu, apakah harus dibantu? Pemerintah sudah bersusah payah menggelontorkan biaya untuk menyediakan sarana-prasarana agar membantu rakyat. Namun, karena kemalasan dan kurangnya kesadaran, maka rakyat mengindentifkasi sebagai yang miskin dan harus diperhatikan. Apakah mereka perlu dibantu?

Kemiskinan yang ingin diterawang lebih pada kenyataan adanya ketidakadilan struktural dalam masyarakat yang diciptakan oleh para elit, kaum yang berkuasa bahkan secara gamblang oleh “pemerintah”. Kemiskinan yang juga bisa disebabkan oleh faktor individu yang mana sesama manusia saling memeras bahkan menindas sesamanya demi keuntungan yang diinginkannya untuk kebutuhan pribadi. Atau pun disebabkan oleh faktor kolektif, dimana ada kelompok-kelompok tertentu yang berupaya untuk menindas rakyat kecil untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Yang terakhir adalah disebabkan oleh ketidakadilan struktural yang diciptakan oleh elit-elit politik yang bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan penderitaan bagi rakyat yang seharunya menjadi option untuk mereka sejahterakan.

Baca juga :  “KENALILAH DIRIMU”

Kemisikinan yang demikian dialami secara langsung oleh masyarakat El Savador. Apakah rakyat El Savador yang hidup di tahun 2000 an? Atau kah di tahun 1900 an? Kemisikinan yang disoroti dalam konteks masyarakat El Savador adalah saat dimana Jon Sobrino seorang teolog pembebasan yang ada bersama rakyat yang sedang menderita karena kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakadilan struktural itu, bersuara mewakili suara yang tidak dapat bersuara. Sobrino bersama koleganya Ignacio Ellacuria, Mgr Romero dan yang lainnya berada pada garda terdepan menyuarakan ketidakadilan yang melahirkan penderitaan tersebut.

Suara “Sobrino”

Jon Sobrino seorang Teolog yang menyelesaikan studi teologinya di Jerman pernah menulis sebuah artikel sebagai jalan mengenang masuknya Colombus di Amerika dengan judul The Crucified People: Yahweh’s Suffering Servant. In Memory Ignacio Ellacuria. Artikel tersebut dipersembahkan kepada Ellacuria. Menurut Sobrino, Ellacuria adalah orang yang dedicated his life to the crucified people and in his death assumed their fate.

Mengapa artikel itu ditujukan kepada Ellacuria? Siapakah Ellacuria, hingga artikel itu sebagai sebuah ungkapan kenangan atas dirinya. Ellacuria adalah rekan sejawat Sobrino di UCA (Universitas Amerika Tengah), beliau juga adalah anggota satu komunitas Sobrino dengan beberapa imam misionaris Jesuit lainnya. Ellacuria adalah salah satu rekan Sobrino yang juga menyuarakan tentang ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Amerika Latin pada umumnya dan El Savador pada khususnya.

Menurut Ellacuria, salah satu cara pemecahan masalah kemiskinan dan penindasan yang berkepanjangan ini yakni, pertama adalah tindakan mempertimbangkan dengan serius pemikiran dan pendekatan yang diusulkan oleh gerakan teologi pembebasan tentang masalah itu; kedua adalah diperlukannya suatu istilah uraian teologis baru untuk mendiskusikan secara mendalam dan menyeluruh. Hal yang menjadi tragis dari kisah hidup Ellacuria adalah ia harus menanggung konsekuensi atas keperpihakannya kepada kaum miskin yang tertindas yang melawan pencipta ketidakadilan sturuktural. Ia meninggal sebagai “martir” pada tanggal 16 November 1989. Ia dibunuh bersama anggota komunitasnya.

Saat pembunuhan Ellacuria dan anggota komunitas lainnya, Sobrino sedang berada di Thailand, sehingga ia lolos dari bahaya tersebut. Namun, yang menariknya bahwa ketika mendapati rekan sejawatnya meninggal karena berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas. Sobrino dengan getol terus memperjuangkan aspirasi rakyat El Savador bahkan mimpi dari rekan-rekan pejuang ketidakadilan yang telah meninggal.

Jon Sobrino secara lebih radikal-teologis mengembangkan refleksi tentang rakyat miskin sebagai “rakyat yang tersalib”. Sobrino sampai pada kesimpulan metodologis bahwa kenyataan penderitaan orang miskin dan tertindas tidak hanya menjadi titik refleksi teologis yang berorientasi pada pembebasan dan pembelaan orang miskin dan tertindas itu, melainkan juga tempat atau sumber teologi, locus theologicus. Ia menjadikan tulisanya The Crucified People sebagai salah satu media untuk merongrong para elit penindas rakyat kecil dan menjadikan tulisan itu “kerikil-kerikil” yang akan terus menggangu para penindas rakyat. The Crucified People layaknya “suara” Sobrino bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Jon Sobrino “Voice of the Voiceless”

Baca juga :  Membaca Korupsi dalam Prisma Sotereologi

Bagi Sobrino, istilah The Crucified People sangat tepat dikenakan pada realitas rakyat Amerika Latin, sebab “salib” berarti kematian dan kematian merupakan keadaan rakyat Amerika Latin yang ditindas dalam berbagai bentuk. Sahabat terdekat dari penindasan adalah kematian. Bagi Sobrino kekerasan ini dipengaruhi oleh sebuah struktur yang diciptakan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Hal inilah yang mengakibatkan ‘orang miskin mati sebelum ajal’. Kematian itu dialami melalui kemiskinan dan penindasan yang turun-temurun, ketidakadilan struktural, perang, rakyat dipisahkan dari budaya mereka atau mereka harus menderita di tanah kelahiran mereka sendiri.

Sobrino menegaskan bahwa Teologi Amerika Latin mendasarkan diri pada teologi rakyat tersalib. Rakyat tersalib merupakan aktualisasi Kristus yang tersalib. Kristus yang tersalib adalah gambaran Hamba Yahwe dalam Yesaya. Teologi rakyat tersalib bukan hanya menerangkan hamba/rakyat yang menderita kejahatan tetapi juga hamba yang menyelamatkan, berperan dalam sejarah dan memberikan harapan. Jadi, rakyat tersalib merupakan korban dosa sekaligus “sumber” yang mengandung keselamatan bagi dunia.

Seperti hamba, rakyat yang tersalib, dibenci dan ditolak, segala kepunyaan mereka diambil dengan paksa, hak mereka sebagai manusia yang bebas dilecehkan. Sumber daya alam mereka dikuras demi kepentingan orang asing, mereka menjadi orang asing di tanah mereka sendiri. Bahkan naifnya atas nama Allah identitas religius mereka ditanggalkan. Ketika mereka berjuang mengambil kembali apa yang menjadi hak mereka, mereka dipandang sebagai pemberontak, mereka dicap subversif, teroris, ateis, marxis, komunis. Ada seribu label yang harus mereka kenakan secara paksa oleh kaum elit bahkan pemerintah saat itu. Konsekuensi atas semua itu, mereka harus dibenci, dibunuh bahkan setelah maut menjemput pun mereka tetap dibenci dalam kematian. Mereka dipaksa untuk menjadi “pelaku”. Walaupun kenyataanya adalah mereka adalah “pelaku” berwajah korban.

Sobrino dengan begitu lantang “bersuara” bahwa cerminan the crucified people yang dipararelkan dengan rakyat Amerika Latin tidak hanya menjadi korban atas ketidakadilan. Namun, lewat kematian rakyat tersalib juga membawa keselamatan. Bagaiamana keselamatan yang dibawa oleh rakyat tersalib?

Pertama,rakyat tersalib membawa terang. Terang yang menelanjangi kegelapan dosa dalam bentuk penindasan yang dilakukan dunia Barat dan Amerika Utara terhadap dunia ketiga. Bahwa kebenaran yang dipenjara oleh ketidakadilan akan diterangi oleh rakyat yang tersalib. Kedua, rakyat tersalib memiliki potensi kemanusaiaan karena mereka menawarkan kebersamaan melawan indivudualisme, kerjasama melawan kepentingan diri sendiri, kesederhanaan melawan ketamakan dan penindasan, transendensi melawan positivisme yang nyata. Ketiga, rakyat tersalib juga menawarkan harapan dengan aktif berjuang dan bekerja untuk kebebasan. Keempat, rakyat tersalib menawarkan cinta yang agung dengan menyerahkan diri demi orang lain. Cinta merupakan tawaran agung bagi kemanusiaan dan mereka siap memberikan pengampunan kepada para penindas dan kelima, rakyat tersalib memiliki solidaritas turun-temurun. Mereka menyadari akan pengalaman pahit yang mereka alami, sehingga mereka merasa senasib dengan orang-orang yang mengalami hal yang sama sembari bergandengan tangan berjuang atas nama hak dan martabat mereka yang dirampas.

Baca juga :  Cinta Diri di Tengah Pandemi Sebagai Bentuk Egoisme Etis

Jon Sobriono dengan gagasan atau tulisannya The Crucified People benar-benar menjadi voice of the voiceless. Rakyat yang tertindas seakan-akan kehilangan suara untuk meneriaki kaum elit yang berkuasa semena-mena atas diri mereka. Mereka (rakyat tersalib) tidak hanya kehilangan suara karena terus berteriak demi hak dan martabat mereka. Namun, pada saat bersamaan hak bicara atau “bersuara” mereka tidak didengarkan oleh yang berkewajiban. Para elit menutupi kedua telinga mereka dengan koin kerakusan dan kesombongan, sehingga tidak mendengarkan teriakan rakyat tersalib.

Rakyat tersalib membutuhkan pengeras suara untuk bersama mereka meneriaki para elit agar mereka sadar atas tindakan mereka. Mgr Romero, Ellacuria, para martir atas nama ketidakadilan di Amerika Latin dan Jon Sobrino sendiri adalah “suara” atau “pengeras suara” yang membantu rakyat yang tertindas. Tragisnya bahwa sebagian dari mereka harus mati sebelum waktunya karena berpihak pada kaum miskin yang tertindas. Mereka menjadi gambaran bagaiamana konsekuensi yang harus ditanggung atas pilihan mereka.

Namun, Jon Sobrino lewat The Crucified People sekali lagi menjadi “suara” yang meneriaki atau bersuara dengan sangat lantang saat “suara-suara” lainnya telah dibungkam lewat kemartiran (Jon Sobrino “Voice of the Voiceless”). Sobrino tiada henti-hentinya menelanjangi kaum elit sebagai penindas dalam setiap tulisan yang ia publikasikan. Walaupun kenyataannya kemiskinan hingga kini masih tetap ada. Namun, Jon Sobrino telah menentukan pilihan yang tepat. Ia konsisten menjadi “suara” yang terus bersuara mewakili mereka yang tak bersuara. Melalui begitu banyak tulisannya Sobrino menjadi “suara” yang terus bergema dan tak terbatas oleh ruang dan waktu. The Crucified People adalah salah satu bentuk “suara” atau “teriakan” Sobrino kepada para penindas. Jon Sobrino “Voice of the Voiceless”

Referensi:

Sobrino, J. 1990 “The Crucified People: Yahweh‟s Suffering Servant Today. In Memory of Ignacio Ellacuría”, dalam Concilium, 6, halaman 120-129.

Budi, Hartono, “Teologi, Pendidikan, Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Bisei, Abdon, “Gereja Harus Menurunkan Rakyat Tersalib Dari Salib” Menanggapi Gagasan Teologis Ellacuría (Bagian Kedua), didownload pada 12 Januari 2023, pukul 21:00.