Ironi Kemusnahan Keturunan Eli dalam 1 Samuel 1-4

By Fr. Giry CMF

Ironi Kemusnahan Keturunan Eli dalam 1 Samuel 1-4
Picture by ClaretPath.com

Pengantar

ClaretPath.com – Peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya (https://www.kamusdata.com/, 06/10/17) kerap dilantunkan manakala ada kondisi seorang anak mempunyai kapasitas (karakter, sikap dan pikiran) yang sama persis dengan orang tuanya. Entah dalam arti positif entah negatif, pribahasa ini dilekatkan kepada pribadi yang bersangkutan. Dalam arti yang positif, pribahasa ini mengandung makna apresiatif. Sebaliknya dalam arti negatif, pribahasa ini mengandung satire. Dikatakan Satire karena seorang anak yang melakukan kejahatan dan merugikan masyarakat, pribadinya langsung dikaitkan dengan tindakan orang tuanya. Jika ada kesesuaian, maka akan muncul pernyataan tindakan anak itu merupakan interpretasi kejahatan orang tuanya.

Pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” dapat dikaitkan dengan kisah Imam Eli dan kedua putranya dalam 1 Samuel 1-4. Pepatah tersebut diringkas dalam tulisan ini, dengan fokus pada topik ketidaktegasan Eli peda kedua putranya. Eli yang merangkap sebagai Imam dan hakim, memberikan izin kepada kedua anaknya untuk melakukan hal-hal yang merusak keimamatan mereka. Keturunan Eli juga telah melakukan sejumlah dosa, termasuk interaksi seksual yang salah secara moral dengan wanita, dan melanggar hak Imam dalam bidang spiritual.

Pada saat yang sama Eli membiarkan mereka menikmati kejahatan. Eli menegur mereka tetapi tanpa ketegasan.  Eli juga kurang menunjukkan otoritasnya sebagai seorang ayah dan identitas sebagai imam bagi kedua anaknya. Maka dari itu, Allah menetapkan kemusnahan keluarga Eli karena bertindak tidak sesuai keimamatan mereka. Imam yang seharusnya kudus sebagai interpretasi kekudusan Allah, malah melakukan tindakan melawan kekudusan itu sendiri. Pada kasus ini penulis menyebutnya sebagai ironi, yakni “kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ironi).

Pembahasan

Eli teridentifikasi berasal dari garis keturunan Itamar, putra bungsu Imam Harun dan Eliseba, anak perempuan Aminadab (bdk. Kel. 6: 23). Ia diangkat menjadi Imam Besar pasca meninggalnya Pinehas, putra Elazar, kakak laki-laki Ithamar (https://www.chabad.org/) Tidak diketahui secara pasti bagaimana alasan Eli bisa memegang jabatan Imamatnya. Dalam sejarah Israel pada masa-masa awal, kepemimpinan Eli sangat unik. Ia menerima dua jabatan sekaligus, sebagai Hakim dan Imam besar. Jabatan sebagai Hakim diembannya sejak usia lima puluh delapan tahun, setelah kematian Simson (https://www.chabad.org/, 2011). Jabatan ini berlangsung selama empat puluh tahun dan berakhir ketika ia meninggal pada usia 98 tahun (bdk. 1 Sam 4:15).

            Eli adalah Imam Besar sekaligus Hakim yang bertugas di Silo. Sebelum ada Bait Allah di Yerusalem, Silo dijadikan pusat kehidupan agama Israel (Endojowatiningsih 2022, 41). Berbagai praktek keagamaan dilaksanakan di tempat ini. Orang-orang Israel datang dan beribadah ke tempat ini dan menyerahkan kurban kepada YHWH. Mereka juga kerap datang untuk meminta klarifikasi atau penerangan dari Eli ketika mengalami masalah. Eli dipercaya bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat, selain karena ia Imam besar dan Hakim atas mereka  (Endojowatiningsih 2022, 42). Hana dan Elkana termasuk pengunjung setia Silo. Kedatangan mereka paling mendesak saat memohon dianugerahkan seorang anak laki-laki.

Hana sudah lama bersua dengan Elkana seorang keturunan Lewi yang terkemuka, tetapi belum memperoleh momongan (Endojowatiningsih 2022, 40).  Dalam kunjungan itu, Hana berdoa agar dikarunia seorang anak laki-laki. Dia bersumpah bahwa jika Tuhan memberkatinya dengan seorang putra, dia akan menguduskannya untuk melayani Tuhan sepanjang hidupnya (bdk. 1 Sam 1:11). Eli beratensi tinggi pada Hana walaupun sebelumnya Hana dicurigai sedang mabuk, padahal sedang berdoa (bdk. 1 Sam 1:13). Eli mengafirmasi permintaan Hana seraya meneguhkan bahwa Tuhan akan mengabulkan doanya. Setahun kemudian doa Hana terkabul. Allah menganugerahkan anak laki-laki kepadanya. Lantas ia memberi nama anak itu Samuel yang berarti aku telah memintanya dari Tuhan (bdk. 1 Sam 1:13). Tuhan bersimpati dengan Samuel dan nantinya ia akan dipakai-Nya untuk memperingatkan bahaya adanya sistem kerajaan pada bangsa Israel (Silber 1998, 66).

Baca juga :  Hidup Bahagia ala Epikuros || Filsafat

Hana tidak lupa menyatakan pujian kepada Tuhan yang intinya memuji kekuasaan Tuhan di atas dunia (Silber 1998, 71).  Kemudian sesuai janjinya, Hana menyerahkan Samuel kepada Eli untuk menjadi pelayan Allah di Silo. Ketepatan janjinya membuat Allah tergugah dan selalu mengingat Hana dan Elkana suaminya. Sebagai balasannya, Allah membuka lagi rahim Hana dan akhirnya dikarunia tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan (1Sam 2: 21). Bertambahnya keturunan Hana dan Elkana menyempurnakan perubahan status Samuel, yaitu menjadi anak angkat Eli.

Oleh Eli, Ia disayangi sepenuh hati. Eli membentuknya sebagai anak yang dipenuhi aspek kerohanian. Suasana religius di tempat ibadah Silo juga mendukung perkembangan religiusitasnya. Ia menjadi pelayan di hadapan Tuhan (bdk. 1Sam 2:18). Seterusnya, Samuel ditakdirkan menjadi seorang nabi besar, dan penerus Eli sebagai hakim semua orang Yahudi. Bahkan, keberadaan Samuel akan menjadi mode pengontrasan kebaikannya dengan kesombongan kedua anak Eli nantinya (Bergant and Robert, 2022, 278).

Hofni dan Pinehas adalah anak kandung. Keduanya disebut sebagai imam di Silo (bdk. 1Sam 1:3). Ungkapan berada “di sana” pada ayat yang sama hanya menunjukkan bahwa mereka hadir di bait suci, bukan berarti bahwa mereka berfungsi dengan layak (Olsen 2017, 17). Memang, keduanya ikut serta dalam menangani ibadah dan upacara-upacara kurban. Masyarakat yang datang menyerahkan kurban harus melalui keduanya (bdk 1Sam 2:16). Akan tetapi, sebagai imam, pandangan masyarakat tentang mereka kurang baik. Banyak praktek menyimpang yang dilakukan keduanya ketika dihadapkan dengan persembahan kurban. Tindakan-tindakan menyimpang ini yang menjadi cikal bakal kehancuran keluarga Eli.

Di sisi lain, Eli dikenal mempunyai jiwa yang sangat baik. Ia dicintai oleh masyarakat yang menimba arahan rohani padanya (https://www.chabad.org/). Termasuk oleh Samuel muda, Eli sangat disayangi dan dihormati.  Instruksi-instruksi yang disampaikan Eli dipatuhi secara seksama oleh Samuel. Ini menandakan otoritas Eli sangatlah besar dan penuh wibawa. Akan tetapi, kewibawan otoritas Eli hanya berlaku bagi orang lain, tidak disematkan kepada kedua anaknya. Di depan Hofni dan Pinehas, Eli terlihat lemah, sehingga membuka akses bagi anak-anaknya berbuat kejahatan.  Eli tidak tegas melarang keduanya agar tidak menunggangi identitas keimaman untuk melakukan hal-hal semberono. Eli hanya menegur dengan gaya lemah lembut tanpa memberi penekanan yang berarti. Perilaku buruknya ini membawa kehancuran pada dirinya sendiri dan anaknya (Tsevat 1964, 356)

Variasi Kejahatan Hofni dan Pinehas

Kejahatan utama yang dilakukan Hofni dan Pinehas adalah melanggar batas-batas hak para imam (Endojowatiningsih 2022, 42) dalam perkara persembahan atau kurban yang diberikan umat (bdk. 1 Sam 3: 14). Pada dasarnya Imam ditetapkan hanya boleh mendapatkan paha depan, kedua rahang, dan perut besar dari setiap kurban, entah kambing entah domba (bdk. Im 18: 3).  Hofni dan Pinehas melakukan hal-hal sebaliknya, paradoks. Mereka mengambil daging kurban yang dipersembahkan melebihi ketentuan. Ketika kurban sedang dimasak di dalam kuali atau bejana dan sejenisnya, mereka mengambil daging-daging itu dan dikonsumsi secara pribadi (bdk 1 Sam 2: 13-14).

Baca juga :  Dilematika "Berbelas Kasih"

Selain itu, akan diambil secara paksa daging kurban yang dipersembahkan umat kepada Tuhan kalau tidak diberikan terlebih dahulu kepada mereka (bdk. Sam 2: 16). Lemak yang seharusnya dibakar terlebih dahulu dibiarkan mentah dengan alasan Imam (Eli) lebih menginginkan daging yang masih mentah daripada daging yang sudah dimasak (bdk 1 Sam 2: 15). Padahal sudah lumrah dalam aturan, bahwa lemak harus dibakar terutama di bagian ginjal, usus, dan ekor (bdk. Im 3: 3-16). Dengan melanggar semua itu, dosa berat melekat dalam diri mereka. Amarah Tuhan juga terpancing karena kurban terhadap-Nya dianggap rendah (bdk 1Sam 2: 17).

Tidak berhenti di situ. Dosa dan kejahatan Hofni-Pinehas merambah ke lini amoral. Mereka meniduri pelayan-pelayan wanita yang berjaga di pintu kemah pertemuan (bdk. 1 Sam 2: 22). Para pelayan itu ditugaskan menjaga wadah untuk membasuh kaki sebelum para pengunjung memasuki tempat Ibadah (bdk. Kel 38: 8). Dengan berpartisipasi dalam tugas pra- ibadah, para wanita penjaga itu harusnya dihormati. Akan tetapi, Hofni dan Pinehas menjadikan mereka tempat pelampiasan birahi.  Tindakan amoral ini melengkapi kedurjanaan mereka (Endojowatiningsih 2022, 41). Imam yang sebenarnya pionir menegakan moralitas malah terperangkap dalam amoralitas. Dengan begitu, ketenaran kedurjanaan mereka melebar ke seluruh negeri, sehingga menimbulkan skeptis pada masyarakat.   

Ketidaktegasan Eli puncak kemurkaan Allah

Tumpukan kejahatan Hofni dan Pinehas menimbulkan keresahan bagi Eli. Ia tidak tinggal diam. Nasihat dan larangan mulai dilayangkan. Eli memberi perbandingan kepada kedua anaknya, kalau mereka berdosa sesama manusia, akan ada yang mengadili, sedangkan kalau dosa terhadap Allah, tidak ada yang menjadi perantara (bdk 1 Sam 2: 25). Ini menunjukkan bahwa Allah akan mengadili secara langsung atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia, termasuk Hofni dan Pinehas. Akan tetapi, nasihat Eli tidak digubris. Mereka tetap melakukan aksi dursila.  

Eli menyerah untuk terus memberi nasehat dan peringatan terhadap kedua anaknya. Dengan begitu, Allah murka. Terutama karena Eli melihat kejahatan yang dilakukan anak-anaknya dan mendiamkannya begitu saja. Eli juga mengetahui dosa anak-anaknya yang telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahimereka” (bdk. Sam 3: 13). Ia malah melanggengkan kejahatan anak-anaknya. Secara tidak langsung Eli bersekongkol dalam tindakan kejahatan. Persis tindakannya ini yang Tuhan tidak sukai. Otoritasnya sebagai seorang ayah tidak diindahkan oleh kedua anaknya.    Eli memang berkomitmen pada hal-hal spiritual tetapi salah mengartikan apa yang sebenarnya yang Tuhan tuntut (Silber 1998, 67). Praktek ini membuat Allah bersumpah untuk tidak menghapus dosa keluarga Eli meskipun kurban sembelihan dan kurban sajian dipersembahkan kepada-Nya. (bdk. Sam 3: 14).

Jauh sebelum disadari oleh Eli sendiri, Allah juga telah memberitahukan kehancuran keluarganya melalui Samuel.  Pemberitahuan ini sekaligus notifikasi bagi keluarga Eli supaya ia bisa berubah di waktu-waktu selanjutnya. Akan tetapi, setelah Samuel memberitahukan apa yang disampaikan oleh Allah, Eli malah terlihat pasrah. Ia mengamini apa yang disampaikan Tuhan melalui Samuel untuk kelurganya.” Kepasrahannya terungkap pada kalimat berikut “Dia Tuhan, biarlah diperbuat-Nya apa yang dipandang-Nya baik. (bdk. 1 Sam 3: 18).  Padahal Allah serius menyatakan hukuman kepada keluarga Eli secara permanen. Eli malah tidak ingin berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah.

Dengan demikian, kegagalan Hofni dan Pinehas menangkap maksud larangan Eli cukup beralasan. Eli terlihat terlalu lemah menyampaikan larangan itu. Ia tidak memberi indikasi-indikasi kalau anak-anaknya melakukan kesalahan lagi (Endojowatiningsih 2022, 41). Misalkan saja, memberi hukuman ketika terjadi pelanggaran, seperti mencabut hak keimaman kedua anaknya. Ia sama sekali tidak melakukan hal tersebut. Ketidaktegasan ini yang menjadikan Allah berbalik muka dari keluarga Eli. Allah kemudian memberanguskan keturunannya. Kedua anaknya tewas mengenaskan saat perang melawan orang Filistin di Eben-Haezer (1 Sam 4: 11). Orientasi mereka membawa tabut Allah ke arena perang (1 Sam 4: 4) agar memperoleh kemenangan gagal total.

Baca juga :  Dilema “Maya”

Eli sendiri mati dengan kondisi tragis. Pasca mendengar berita anak-anaknya tewas di medan perang dan Tabut Allah direbut bangsa Filistin, “ia jatuh telentang dari kursi di sebelah pintu gerbang, batang lehernya patah dan ia mati” (bdk 1 Sam 4: 18). Dengan kondisi ini Hukuman Allah berlangsung secara otomatis. Allah memenuhi hukumannya. Akhirnya, keturunan Eli yang semula baik menjadi hilang dari peradaban. Kemusnahan keturunan ini menjadi sebuah ironi. Secara otomatis, tampuk kekuasaan sebagai hakim dan Imam di Bait Allah di Silo diambil alih oleh Samuel. Berawal dari kepemimpinannya ini akan muncul sejarah baru di Israel. Pengangkatan seorang raja untuk memimpin bangsa secara Israel seluruhnya terjadi setelah peristiwa ini.

Kesimpulan

            Keyakinan untuk masuk surga tidak selamanya terpenuhi, apalagi ketika kejahatan di dunia dilakukan secara intensif. Profesi sebagai imam yang kudus juga tidak secara otomatis menjadi jaminan. Realitas putra imam Eli, Hofni dan Pinehas adalah salah satu referensi imam yang tidak masuk surga. Selama hidup, mereka terperangkap dalam amoralitas yang membawa mereka pada kehancuran. Dukungan dari ayah mereka secara tidak langsung menambah beratnya ketidakkudusan itu. Lantas, menjadi sebuah ironi ketika satu keluarga imam ini berpartisipasi dalam kejahatan.

Maka dari itu, Tuhan tidak tanggung-tanggung memusnahkan keturunan mereka karena telah mengingkari peran imam di rumah Tuhan. Sebenarnya Tuhan hanya menghkehendaki agar dalam keluarga imam, ada kerja sama yang solid untuk membawa diri sendiri dan orang lain pada keselamatan. Hak-hak Imam dan Hak Allah harus diperhatikan sungguh-sungguh agar tidak terjadi distorsi dimana hak manusia yang diutamakan, sedangkan hak Allah dinomorduakan. Semestinya, hak Allah yang diutamakan hak manusia menyusul. (Endojowatiningsih 2022, 41)

Referensi

Artikel

Endojowatiningsih, Maria Hanie. “Anak-Anak Imam Eli (I Samuel 2-3) Dan Refleksinya Bagi Anak-Anak Hamba Tuhan.” Missio Ecclesiae, no. 11 (2022): 37–50.

Olsen, Steven L. “Birth and Calling of the Prophet Samuel: A Literary Reading of the Biblical Text.” BYU Studies Quarterly (Brigham Young University ), no. 56 (2017): 7-44.

Silber, David. “Kingship, Samuel, and the Story of Hanna.” A Journal of Orthodox Jewis Thought (Rabinical Council of America ), no. 23 (1998): 64-67.

Buku

Culley, Robert anda Olyan Saul., A Wise and Discerning Mind, Brown, Rhode Island: Judaic Studies, 2020.

Gutherie (ed)., Tafsiran Alkitab Masa Kini 2 Ayub- Maleakhi, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih (OMF), 1991.

Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (ed) Dianne Bergant dan Robert J, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Internet

https://www.kamusdata.com/ (06/10/17) dikutip pada 16/12/2011, pukul 21.12.

https://www.chabad.org dikutip pada 16/12/2011, pukul 21.28.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ironi dikutip pada 16/12/2011, pukul 21.45