Opini  

Interkulturasi dan Harmoni: Cara Bersikap di Hadapan Keragaman Budaya

Penaclaret.com – Kebiasaan imigran kontemporer mencuri perhatian dunia. Mereka turut membawa kebiasaan dan kebudayaannya ke daerah tujuan. Kita bisa melihat kenyataan ini di dalam diri para penduduk eks Provinsi Timor Timur (Sekarang Timor Leste). Mayoritas mendiami daerah di sekitar Pulau Timor (Belu-Kupang). Kebiasaan mereka dalam berdevosi kepada Bunda Maria atau juga penghormatan mereka terhadap arwah turut dibawa ke tempat pengungsian. Mereka tekun dan telaten dalam menghidupinya. Fenomena serupa telah menjadi modus vivendi (cara hidup) para imigran di daerah-daerah lain. Misalnya, para imigran Asia yang berada di Amerika Serikat.

Berbagai persoalan sosial ditimbulkan. Gesekan antara kebudayaan lokal dan kebudayaan imigran melatarinya. Gema Tulud Cruz, seorang teolog feminis dari Filipina membangun pemikiran teologisnya di dalam konteks seperti ini. Penulis hendak menguraikan gagasannya di dalam artikel ini. Elaborasi gagasan Cruz dibagi dalam 3 bagian, yakni melihat kekhasan imigrasi Asia, tanggapan terhadap kekhasan tersebut, dan implikasinya bagi hidup menggereja kontemporer.

Fenomena Migrasi Asia

Satu dekade terakhir, kita menyaksikan gelombang besar-besaran imigran dari Asia menuju Barat. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi perpindahan ini (perang dan kemiskinan). Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2019  terdapat 17,3 juta orang Amerika keturunan Asia. Kelompok terbesar yang diwakili adalah Cina (3,8 juta), Filipina (3,4 juta), India Asia (3,2 juta), Vietnam (1,7 juta), Korea (1,7 juta), dan Jepang (1,3 juta). Para imigran yang berafiliasi dengan agama Katolik telah membawa yang siginifikan terhadap seluruh keuskupan di Amerika Serikat (Gemma Tulud Cruz, 1).

Mereka yang bermigrasi turut membawa bahasa, masakan, musik, dan keyakinan mereka. Gema memberi perhatian pada satu fenomena dalam diri para imigran Asia, yakni keyakinannya dibawaturut serta bahkan dirayakan dan dihidupi di tempat pengungsian. Kebiasan-kebiasaan ini antara lain perayaan festival kebudayaan, membangun tempat ibadah mereka sendiri, melakukan kebaktian dalam bahasa mereka, dan bahkan mendatangkan pemimpin agama dari negara asal (Gema Tulud Cruz, Toward a Theology of Migration Social Justice and Religious Experience, 77-78). Persoalannya bagaimana mengakomodasi keberagaman ini dalam lingkugan Gereja? Gema menawarkan pendekatan harmoni dan inter-kulturalitas sebagai model Gereja.

Baca juga :  Jean-Joseph Jacotot: Kesetaraan Intelegensi dan Kehendak untuk Belajar

Pendekatan Harmoni dan Interkultural

Gema mengafirmasi bahwa kehadiran masyarakat keturunan Asia telah mengubah wajah Gereja berbagai keuskupan di Amerika. Kehadiran ini tidak dapat dilepaskan dari peluang sekaligus tantangan. Kenyataan ini dapat digambarkan dalam dua hal, yakni harmoni dan interkulturalitas.

Harmoni adalah keutamaan otentik Kristiani dan orang Asia. Dalam teologi Kristiani, konsep harmoni bersifat relasional, yakni relasi manusia dengan Allah, sesama, dan keseluruhan alam semesta. Kesempurnaan relasi tritunggal adalah dasar relasionalitas Kristiani. Sedangkan bagi masyarakat Asia, keharmonisan bukan merupakan tanda dari tidak adanya konflik atau pertentangan antarsesama. Harmoni juga tidak merupakan sebuah pendekatan pragmatik dalam hidup bersama di tengah keberagaman. Konsep harmoni merupakan cara pandang Asia terhadap realitas. Bagi Asia, keseluruhan adalah jumlah total dari jaringan hubungan dan interakaktivitas berbagai bagian dalam satu sama lain (Gemma Tulud Cruz, An Unfinished Journey or a Journey Without an End: Asian American Catholics and Harmony and Interculturality in the American Catholic Church, 2).

Interkulturalitas memuat komponen kehidupan yang penting, yakni dialog, persatuan, dan fleksibilitas identitas (Gemma Tulud Cruz, 3-4). Pendekatan interkultural lebih tepat untuk memahami keragaman budaya. Interkultural mengakui sepenuhnya keberlainan dari yang lain dan perubahannya sepanjang evolusi kehidupan manusia. Secara teologis, pendekatan interkultural dimulai dari praduga persamaan budaya dan relasional serta mutualitas dan mengesampingkan kecenderungan, preferensi, dan prasangka budaya kita sendiri. Kita mengesampingkan berbagai preferensi kita dan menatap lyan dengan kacamata repsek. Pendekatan interkultural berpretensi mendekonstruksi rasionalitas yang berpusat pada etnis sendiri (etnosentrisme). Upaya ini menginisiasi transformasi antarbudaya dengan membina ruang dialog yang kontekstual (Gemma Tulud Cruz, 3).           

Baca juga :  Etika Politik Dalam Keyakinan Budha Mahayana

Menjadi Gereja Interkultural

Di dalam tubuh agama Kristiani Barat, kehadiran imigran Asia telah membawa tantangan dan peluang dalam area inkulturasi. Hal ini tidak terlepas dari penghayatan keagamaan mereka sendiri. Dalam ranah menjadi gereja interkultural, Gema mengusulkan inkulturasi Gereja dengan kebudayaan atau kebiasaan para imigran Asia dalam dua domain, yakni perayaan liturgi dan kesalehan populer.

Inkulturasi liturgi adalah proses di mana elemen-elemen tertentu dari budaya lokal diintegrasikan ke dalam teks, ritus, simbol, dan institusi Gereja. Dalam konteks migrasi, inkulturasi berarti gereja yang dihidupkan kembali dalam hal ibadah dan spiritualitas. Revitalisasi hidup menggereja tidak terlepas dari semangat dari para imigran. Inkulturasi elemen-elemen tertentu dari kebudayaan atau kebiasaan para imigran menjadi pintu masuk Gereja mengapresiasi kebudayaan mereka (Gemma Tulud Cruz, 107).

Inkulturasi juga dapat terjadi dalam perayaan berbagai kesalehan populer. Bahkan kesalehan populer adalah sebuah inkulturasi. Kesalehan populer adalah pencarian hubungan yang lebih sederhana, lebih langsung, dan lebih menguntungkan dengan yang ilahi. Kesalehan ini berkaitan dengan devosi kepada Yesus, Bunda Maria, dan para kudus, ritus-ritus tahun liturgi (Natal dan Prapaskah), melibatkan institusi dan bentuk yang mengamodasi bagian pertama dan kedua (Gemma Tulud Cruz, 108-110).

Penginterkulturasian kebudayaan atau kebiasaan para imigran ke dalam liturgi Gereja merupakan sebuah jalan untuk membuat mereka merasa ad home di dalam Gereja. Di lain sisi Gereja juga diperkaya dengan berbagai bentuk kebaruan yang ditawarkan oleh mereka. Namun hal ini tidak mudah. Inkulturasi merupakan sebuah usaha yang penuh dengan dinamika. Berhadapan dengan keragaman budaya dan kebiasaan Gereja dipanggil untuk mengamalkan interkultural sebagai domain epistemologik untuk memahami keragaman.

Baca juga :  Kesadaran Relasionalitas dalam Simbol Puah-Manus: Optimalisasi Inklusivitas Persaudaraan Mahasiswa Milenial |Opini

Berinterkulturasi mengandaikan adanya perjumpaan di atara budaya. Melihat budaya berdasarkan perspektif “inter” berarti menangkap pertemuan, baik positif atau negatif, dangkal atau dalam di antara budaya. Perspektif antar budaya memperhatikan interaksi dan penjajaran, serta ketegangan dan perlawanan ketika dua atau lebih budaya diintegrasikan. Inkulturasi dalam perspektif interkultural mengandaikan adanya mutualitas, keadilan, hospitalitas, dan katolisitas (Gemma Tulud Cruz, 113-114).

Penutup

Kehadiran lyan dalam horison hidup dapat membawa gugatan tersendiri. Dalam tubuh Gereja perjumpaan dengan lyan menuntut kontekstualisasi. Bagaimana Gereja mengakomodasi kelyanannya adalah prasyarat kontekstualisasi. Pendekatan interkultural ala Gema Cruz dapat menjadi suatu domain epistemik dalam menyikapi kenyataan ini. Perjumpaan dengan lyan di dalam hospitalitas dan mutualitas memampukan kita untuk memahami secara utuh. Karena perjumpaan tidak dibingkai oleh berbagai preferensi yang berangkat dari diri sendiri.  kontekstualisasi budaya lyan menuntut pemahaman yang utuh, baik terhadap diri sendiri dan lyan. Pandangan yang etnosentris dan egosentris mutlak untuk ditangguhkan sementara.

Rujukan

  1. Gema Tulud Cruz, Toward a Theology of Migration Social Justice and Religious Experience, (New York: Palgrave Macmillan, 2014).
  2. Gema Tulud Cruz, “An Unfinished Journey or a Journey Without an End?: Asian American Catholics and Harmony and Interculturality in the American Catholic Church”, (Extended Summary of Presentation), 1-19. Diakses dari dari https://www.seattleu.edu/media/institute-for-catholic-thought-and-culture/files/images/events/chl/
Penulis: Ignas AsisEditor: Rio Nahak