Opini  

Guratan Makna Sosial-Politik Sawah Lodok dalam Pijar Filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas

Guratan Makna Sosial-Politik Sawah Lodok
Sumber gambar: https://budaya-indonesia.org/Ritus-Lodok-pada-pertanian-Manggarai

Pengantar

ClaretPath.com – Desain sawah lodok di Kabupaten Manggarai, pulau Flores, Nusa Tenggara Timur menyerupai jaring laba-laba raksasa sehingga dinamai Spiderweb Rice Field. Desain ini memiliki dasar filosofis yang kuat pada mbaru gendang (rumah adat) orang-orang Manggarai yang berbentuk bulat atau lingkaran.

Sawah lodok kini menjadi sebuah objek wisata yang banyak diminati para wisatawan. Tidak hanya menjadi objek wisata, sawah lodok ini juga seringkali menjadi objek penelitian ilmiah baik secara institusi maupun secara personal untuk kebutuhan akademis tertentu. Desain yang unik mengandung banyak makna filosofis yang menarik perhatian para peneliti untuk mengeksplorasinya.

Nilai sosial yang dieksplorasi dalam tulisan ini terkait dengan relasi inter-human dan keadilan yang merupakan dua aspek penting dalam kehidupan sosial. Manusia sebagai mahluk sosial selalu menjalin relasi dengan sesama dan relasi itu dalam konteks tertentu sekaligus juga menuntut adanya keadilan.

A. Relasi Interhuman­

Dalam persepktif sosiologi, manusia disebut sebagai homo sociale (makhluk sosial). Manusia sebagai mahluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada manusia dalam suatu komunitas masyarakat tertentu yang tidak berelasi dengan sesamanya. Sebagai mahluk sosial, manusia selalu membutuhkan interaksi dengan orang lain.

Adapun dorongan-dorongan biologis yang membuat manusia membentuk komunitas sosial, yaitu dorongan untuk makan, dorongan untuk mempertahankan diri dan dorongan untuk melangsungkan hubungan beda jenis. Keharusan biologis tersebut menggambarkan betapa individu dalam perkembangannya sebagai mahluk sosial meniscayakan adanya dorongan untuk saling tergantung.

Jauh sebelumnya Aristoteles (384-322) merumuskan bahwa manusia merupakan zoon pioliticon. Manusia sebagai zoon politicon berarti dalam diri manusia selalu ada keinginan untuk bergaul dengan sesamanya dalam masyarakat. Karena sifatnya yang ingin menjalin relasi dengan sesama, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial.

Dalam relasi dan interaksi dengan sesama, seseorang dapat merealisasikan potensi yang dia miliki. Sawah lodok dalam pengertian ini juga menampilkan suatu makna sosial dari hidup harian orang-orang Manggarai.

Muatan nilai sosial Sawah Lodok dapat ditelusuri dari dua perspektif:

  • Pertama, dari segi kolegialitas masyarakat adat dalam ritual adat yang secara umum dinamai upacara tente teno.
  • Kedua, sosialitas sawah lodok juga dapat ditelusuri dengan merefleksikan makna moso yang menyiratkan arti saling ketergantungan dalam sebuah komunitas masyarakat. Ritual adat pembentukan sawah lodok melibatkan seluruh warga karena menyangkut kepentingan bersama. Di sinilah terjadi lonto leok (duduk melingkar) untuk bermusyawarah dan mempererat kekeluargaan yang berlangsung hingga ke mosolingko (tanah ulayat) tempat mengais rejeki kehidupan.

***

Kolegialitas dan kolektivitas dalam ritual adat menjadi tali pengikat yang mempererat dan menyatukan seluruh warga adat. Melalui upacara tente teno orang Manggarai mengekspresikan rasa persatuan dan kekeluargaannya dengan lonto leok (duduk melingkar).

Setiap lonto leok, terjadi peristiwa saling mengenal dan mendengarkan secara lebih dalam dengan mengadakan musyawarah. Semua orang boleh beraspirasi untuk mengekpresikan kehehendak dan keinginanya secara beradab.

Kebersamaan ini dilakukan supaya tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat seperti ungakapn boto behas neho kena, boto koas neho kota. Karena itu, lonto leok bukan hanya jalan untuk mencapai mufakat tetapi salah satu sarana di mana orang Manggarai mengenal satu sama lain dan mempererat rasa persatuan.

Baca juga :  Membongkar Mindset Uang Suap

Dalam lonto leok, segala perbedaan pendapat woleng curup (melebur). Dengan demikian, visi kelompok untuk membangun kekompakan seperti muku ca pu’u (pisang serumpun) terjamin dan terwujud. Maka dari itu, yang diharapkan dari lonto leok ialah tuka ca leleng (sejiwa), kesatuan niat dan harapan bersama.

Hal itu sesuai dengan bentuk kebun ulayat (lodok lingko) yang berbentuk bundar melambangkan persatuan dan kesatuan orang Manggarai. Hanya dengan duduk bersama (lonto leok) orang dapat bermusyawarah dengan penuh santun dan beradab. Hanya dengan lonto leok orang dapat membuat suatu keputusan dan membangun dunia kehidupan yang lebih baik. Dengan lonto leok segala persoalan dapat diselesaikan.

Lonto leok dengan demikian dipahami sebagai cagar demokrasi orang Manggarai yang pada akhirnya melahirkan keputusan-keputusan yang dilandasi oleh kebenaran, keadilan dan kedamaian. Pembagian tanah ulayat pada pengertian ini bermakna politik-demokratis.

***

Unsur kolegialitas dalam lonto leok ini kemudian berlanjut dalam hidup harian orang Manggarai. Mereka menjalin relasi dan interaksi hingga ke lingko (tanah ulayat-tempat kerja “uma bate duat”) yang dibagikan dalam bagian-bagian kecil seturut jumlah yang berhak mendapatkannya yang dinamai dengan Moso.

Dalam tradisi bertani orang Manggarai, terdapat sistem kerja tradisional, yakni dodo-leles untuk mengolah atau mengerjakan moso tersebut. Di sana relasi dan interaksi sosial itu terjalin semakin dalam dan intim. Saling tegur-sapa, saling membantu, saling bercerita telah menjadi budaya sosial dalam hidup orang-orang Manggarai.

Dalam refleksi penulis, sosialitas orang-orang-orang Manggarai lebih dilihat dalam hubungan sosial yang bersifat kekeluargaan, kesukuan dan kekerabatan. Sosilaitas dan kolegialitas ini pun berlanjut hingga ke wilayah diaspora. Contoh Perkumpulan Keluarga Besar Manggarai Medan, Perkumpulan Keluarga Besar Manggarai Bali, Perhimpunan Keluarga Besar Manggarai Kupang, Perhimpunan Keluarga Besar Surabaya dll.

Perkumpulan-perkumpulan ini terbentuk karena adanya dorongan untuk bersatu dan berbagi yang telah ditanamkan mulai dari level lokal. Orang Manggarai diaspora menyadari pentingnya membangun sosialitas dan kolegialitas diaspora untuk mempererat tali persaudaraan dan kekelaurgaan. Sosialitas itu dibangun dari dalam dan terpancar keluar dengan tujuan untuk mewujudkan komunitas sosial yang unggul yang dilandasi oleh lonto leok.

***

Moso pun demikian. Moso melambangkan relasi di antara sesama manusia yang harus bersatu dan bekerja sama untuk menciptakan keharmonisan. Kesatuan dan kerja sama ini sangat penting mengingat konstruksi sawah dengan sistem lodok mengandaikan adanya hubungan saling ketergantungan/kolegialitas di antara moso tersebut.

Misalnya dalam hal kebutuhan akan air untuk mengairi areal persawahan atau pun untuk mengatasi kemungkinan adanya penyakit-penyakit yang menyerang padi yang ditanam pada areal persawahan. Semua warga dalam kesatuan dengan sistem lodok harus bekerja sama dalam mengatasi kemungkinan-kemungkinan akan bahaya yang ditimbulkan dari bencana-bencana tersebut. Demikianlah pula dalam kehidupan sosial hubungan saling ketergantungan satu sama lain menjadi baromter berkembangnya suatu komunitas sosial.

Bentuk lodok yang menyerupai kerangka atap mbaru gendang juga menggambarkan kompleksitas relasi manusia di tengah alam dan tentang alam itu sendiri. Bagi masyarakat Manggarai hidup manusia berarti berada di tengah jaringan dengan berbagai pihak. Di sana dia menjadi satu bagian kecil dari makrokosmos yang mengitarinya. Konsekwensinya dia harus menjaga keharmonisan dalam semua pihak agar dia dapat survive secara sukses dan damai.

Baca juga :  Melihat Masa Lalu NTT Perspektif Etnomusikologi

Dalam kehidupan orang-orang Manggarai dikenal beberapa go’et (pepatah) yang menggambarkan relasi di antara manusia, yakni  ris-reis, ruis, raos, raes yang menunjukkan relasi yang terjalin antar dan intra warga. Desain sawah lodok secara implisit mengandung keempat filosofi kemanusiaan tersebut.

Hanya dengan reis  (bertanya-saling tegur sapa) orang bisa menjadi dekat (ruis). Ketika sudah dekat, orang lalu dapat hidup saling berbagi sukacita, keakraban dan hospitalitas (raos). Kebersamaan yang penuh sukacita itu mengandaikan manusia saling menemani dan membimbing (raes). Hubungan saling ketergantungan di antar moso dalam kesatuan sawah lodok membutuhkan keempat filosofi tersebut agar tercipta komunitas sosial yang unggul dan paten.

B. Nilai Keadilan

Keadilan, menurut Thomas Aquinas, merupakan sebuah keutamaan terkait dengan kemaslahatan bersama. Keadilan berarti memberi kepada setiap orang sesuai dengan haknya, tetapi tidak berarti hal itu diberikan sama rata. Adil menurut Thomas berarti memberi sesuai dengan porsinya. Porsi itu tidak lain adalah suatu ukuran (mensura).

Masih berkaitan dengan ini, Thomas Aquinas juga menekankan bahwa keadilan terkait dengan politik. Politik, menurutnya, adalah upaya untuk menciptakan keadilan agar terwujudnya bonum commune (kesejahteraan bersama).

Ritual adat tente teno dan interaksi di antara sesama manusia pada saat yang sama juga menuntut adanya keadilan. Keadilan merupakan unsur yang paling penting dalam perhelatan sosial. Absennya keadilan dalam pranata sosial menyebabkan terjadinya disintegrasi. Thomas Aquinas mengatakan bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan tepatnya keutamaan moral yang memimpin seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Hal itu tidak saja berhubungan dengan orang lain sebagai individu tetapi juga dengan orang lain secara umum dalam komunitas.

Salah satu tujuan orang Manggarai membagi tanah menggunakan sistem tente teno ialah untuk menciptakan keadilan diantara anggota masyarakat. Sebab, dengan sistem lodok lingko setiap warga mendapat lahan yang sama. Dengan besaran lahan yang sama  segala bentuk usaha yang mementingkan diri sendiri atau merebut hak milik orang lain dapat diatasi.

Makna keadilan sawah lodok dapat ditinjau dari dua perspektif, yakni:

  • Pertama, filosofi kayu teno
  • Kedua, proses pembagian moso yang dipercayakan kepada tua teno.

Kayu teno merupakan pilar utama dalam pembentukan sawah lodok. Kayu Teno yang berkarakter heluk (lurus) dan tidak bercabang, menurut paham orang-orang Manggarai, mengandung makna keadilan dan kejujuran. Pembagian sawah lodok mesti dilandasi oleh prinsip yang adil dan jujur.

***

Aristoteles membagi keadilan dalam dua bentuk, yakni:

  • Pertama, keadilan distributif (distributif just). Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan  jasa sesuai kedudukan orang-orang yang berhak menerimanya. Pemberian keadilan dalam keadilan distributif, tidak hanya mengukur dari produk yang dihasilkan, melainkan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses terciptanya produk yang diberi apresiasi tinggi.
  • Kedua, keadilan korektif-komutatif (corrective just). Keadilan komutatif terjadi jika pembagian proporsi yang sama kepada orang-orang berbeda. Jadi, semua orang berhak mendapatkan porsi yang sama dari apa yang harus diterimanya.

Dalam pembagian tanah ulayat sawah, lodok tua teno dan tua golo (kepala kampung) boleh mendapatkan tanah yang terluas. Hal ini terjadi demikian karena kedua tokoh ini memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional ketika sistem sosial belum secanggih sekarang ini.

Baca juga :  Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas

Tu’a teno dan tu’a golo pada zaman dahulu memiliki peran yang sangat besar untuk mengatur pranata sosial. Hal itu bukan berarti main kuasa atau tidak adil. Namun, karena sesuai perannya, mereka mengatur segala sesuatu terkait dengan tanah dan wajib memberikan contoh baik demi memelihara sistem bercocok tanam lodok. Dalam hal inilah keadilan distributif Aristoteles berlaku. Sedangkan keadilan komutatif berlaku pada setiap orang yang berhak mendapatkan tanah ulayat.

Menurut Aristoteles, keadilan bukan milikku, melainkan keadilan terjadi ketika aku dan orang lain merasa adil. Itu adalah keadilan.

Adil bukanlah soal sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum; atau adil bukanlah perkara prosedural tatanan. Adil merupakan perbuatan manusia yang terarah kepada yang lain. Itulah sebabnya, kayu teno yang dipakai dalam upacara tente teno adalah kayu yang batangnya tidak bercabang dan lurus melambangkan sikap yang jujur, adil dan dapat di percaya.

Menurut Aristoteles, keadilan juga terkait dengan politik yang merupakan esensi utama dari suatu negara. Politik tidak akan dapat bertahan lama tanpa adanya keadilan dalam hak. Manusia akan dapat hidup dengan baik saat ada hukum dan keadilan dalam suatu negara.

***

Dengan uraian ini, penulis menyimpulkan bahwa sawah lodok memiliki muatan makna sosial dan politik yang sangat dalam. Oleh karena itu, sawah lodok dapat menjadi sumbangan paradigma kehidupan sosial yang baik bagi orang Manggarai, terutama dalam tata kelola ruang publik.

Nilai-nilai luhur sawah lodok dapat menjadi pedoman untuk menciptakan komunitas sosial yang unggul dan politik yang bersih dan adil.

***

Sumber:

  • Adi. M. Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah, 2016
  • Ottovianus Diliano Nery and Epon Ningrum Darsiharjo, Local Wisdom of Lodok Rice Field in Meler Village, Manggarai Regency, vol. 542, Advances in Social Science, Education and Humanities Research: Proceedings of the 2nd Annual Conference on Social Science and Humanities, ANCOSH 2020 Bandung: Geography Education Departement Universitas Pendidikan Indonesia
  • Rusmin Tumanggor, et. al. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Penamedia Grup
  • Amelian Yuliana Senudin, Study Eksplorasi Etnomatika Pada Lingko Lodok Dalam Budaya Masyarakat Manggarai, (Skripsi), Jogjakarta: Universitas Sanathadarma, 2016
  • Yohanes Boy Lon & Fransiska Widyawati, Mbaru Gendang, Rumah Adat Manggarai Flores, Jakarta: Kanisius, 2020
  • Borgias, Fransis, Ris, Ruis, Raos, Raes , dalam https://fransisborgias.id/2011/08/02/reis-ruis-raes-raos/
  • Simplesius Sandur, Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas, Jogjakarta: Kanisius, 2019
  • Aloysius Genora, Aristoteles, Socrates, Plato, Biografi Filsuf Yunani Paling berpengaruh, Yogyakarta: Sociality, 2017
  • Acchmad Zakki Adlhiyat,  Melacak Keadilan dalam Regulasi Poligami: Kajian Filsafat Keadilan Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls, (Jurnal ), Fakultas  Hukum: Universitas Sebelas Maret, 2019, Vol. 2 No. 2
  • M. Adon, MENYIBAK NILAI KEADILAN DAN PERSATUAN DALAM UPACARA TENTE TENO, Sebuah Sistem Pembagian Tanah Ulayat dalam Budaya Manggarai, (Jurnal Filsafat-Teologi, 2016)