ClaretPath.com – “Suap itu biasa kok!” Ungkapan ini lagi ngetren. “Mana ada urusan yang tanpa suap?” demikian kata orang-orang zaman ini yang sok retorik sambil moncongkan bibir setiap kali bahas soal suap (uang sogok).
Alamak, ini sudah menjadi mindset warisan, turun-temurun dikumandangkan pada kuping anak cucu. Suap itu normal jika mau semua urusan lancar dan beres. Kalau ada orang jujur, malah dia dianggap cepu (tukang lapor). Dia mendapat label si sok suci.
Sebenarnya, hati nurani setiap orang berhasrat jujur, tidak mau menyuap – juga disuap. Namun, jika praktik suap di tempat kerja sudah lazim atau suatu urusan administratif di lembaga tertentu urgen dibutuhkannya, maka suap terkadang dilihat sebagai jalan keluar. Dalam salah satu penelitian tentang suap di Indonesia berlandaskan teori konsensus sosial, ditemukan hasil bahwa praktik kejahatan suap pada dasarnya tidak muncul serta merta dari pemikiran internal, tetapi muncul dari pembelajaran yang didapat dari lingkungan (Mapuasari & Mahmudah, 2018). Mindset lingkungan sekitar yang memandang suap sebagai suatu praktik yang lazim sangat memengaruhi keputusan etis seseorang terutama ketika sedang dalam kondisi dilematis. Ketika suap sudah dianggap lazim, kemudian menyusul terbentuknya ekspektasi tersirat.
Supaya lancar dan beres urusannya, perlu siapkan uang sogok. Masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir, para pejabat hanya bisa dilunakkan dengan uang suap. Karena itu, jika suatu urusan terhambat, masyarakat secara gamblang memahami apa yang harus dilakukan segera. Uang suap harus diberikan kepada “pihak yang menghambat” urusan itu, sehingga semuanya beres dan lancar. Inilah mindset yang, oleh segelintir orang, dirasa melawan hati nurani, tetapi kemudian menjadi lazim sehingga banal dan masif terjadi berulang-ulang.
Dalam salah satu penelitian di Indonesia tentang suap berlandaskan teori konsensus sosial, ditemukan hasil bahwa praktik kejahatan suap pada dasarnya tidak muncul serta merta dari pemikiran internal, tetapi muncul dari pembelajaran yang didapat dari lingkungan
(Mapuasari & Mahmudah, 2018)
Kini semakin marak praktik suap di Indonesia. Kalau pada zaman dahulu suap terjadi secara sembunyi-sembunyi, kini terjadi secara terang-terangan. Bahkan suap sering dibalut dengan aturan tertentu, atau diberi judul uang capai, uang duduk atau uang terima kasih.
Kedengarannya aneh. Namun, itulah kenyataannya. Uang yang diberikan atau diterima bukan lagi sebagai penghargaan atas suatu pekerjaan yang baik dan profesional. Sebaliknya, uang dihamburkan bagi “mereka yang capai” atau “mereka yang hanya duduk saja”.
Suatu pekerjaan berat memang mengakibatkan rasa capai. Namun, bukan karena rasa capai seseorang diberi uang. Seharusnya, seseorang hanya boleh diberi uang karena telah melakukan suatu pekerjaan atau tindakan yang baik dengan tepat, benar, etis, dan profesional. Dalam hal ini, uang menjadi sarana untuk mengungkapkan suatu rasa penghargaan. Jadi, uang itu bernilai bukan sebatas karena memiliki nilai nominal, melainkan juga bernilai moral.
Uang sebagai Sarana Moral
Uang sebagai alat tukar memang bernilai nominal. Namun, nominalitas uang tidak berarti apa-apa jika tak terkait dengan manusia. Uang mendapatkan maknanya yang sesungguhnya ketika diberikan makna tertentu oleh manusia tertentu. Juga uang baru akan menjadi bermutu bilamana ia memberi fungsi atau guna tertentu bagi manusia.
Uang yang tersimpan rapi di bank atau di tempat penyimpanan manapun hanya memiliki makna nominal. Dalam arti tertentu, uang itu hanya tinggal diam saja, tak berarti bagi manusia, dan hanya tunggu dimakan ngengat. Sebaliknya, uang itu akan bermakna moral ketika “dipersepsi-menjadi-tertentu” untuk digunakan oleh manusia dengan maksud tertentu. Dalam pengertian ini, uang merupakan salah satu sarana moral. Karena itu, pemberian atau penerimaan uang selalu merupakan suatu tindakan moral.
Melakukan suatu pekerjaan yang baik secara tepat, benar, etis, dan profesional merupakan suatu tindakan moral. Karena itu, orang yang melakukannya patut mendapat apresiasi moral. Uang yang diberikan kepada orang yang demikian pun dipandang sebagai suatu penghargaan moral, sebagai bentuk dukungan atas tindakan baiknya. Alasannya jelas, hanya orang yang bekerja yang patut mendapat upahnya.
Uang itu akan bermakna moral ketika “dipersepsi-menjadi-tertentu” untuk digunakan oleh manusia dengan maksud tertentu.
Sebaliknya, mereka yang hanya duduk dan berpangku tangan saja tidak berhak dan tidak layak diberi uang. Mereka tidak layak diberi upah. Ungkapan bijak ini boleh kita bangun sebagai mindset baru: orang yang tidak bekerja, janganlah ia makan atau diberi makan! Juga mereka yang sudah bekerja, hanya boleh menerima yang menjadi bagiannya. Dengan demikian, kita sedang membangun mindset keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Punya uang atau tak punya uang, setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan sebagaimana adanya. Hak mereka tidak boleh dikekang apalagi dihilangkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan cara memeras minta suap. Orang-orang seperti ini lebih cocok bila batu kilangan diikatkan pada lehernya dan dicampakkan ke dalam laut. Alasannya jelas, setiap kali meminta suap, mereka sedang merancang suatu kebejatan dan kehancuran serta keruntuhan bangsa dan negara.
Jika semua masyarakat Indonesia menyadari hal ini, uang suap yang diberi judul uang capai, uang duduk atau uang terima kasih tidak pernah lagi terlintas dalam benak apalagi membentuk mindset kita. Dengan demikian, praktik suap pun akan dipandang sebagai suatu kejahatan yang harus dihindari. Akhirnya, masyarakat Indonesia menemukan serta menghidupi kembali identitasnya sebagai bangsa dan negara yang beradab, bangsa yang bersatu secara benar bukan bersekongkol, terbuka pada hikmat yang menuntun pada keadilan sosial, serta hanya bersujud kepada Tuhan yang Maha Esa.
Pecinta Literasi