ClaretPath.com – Gereja: Tangisan Bayi dan SorotMata
“Ketika tangisan bayi dan desus kaki anak-anak yang berlarian saat perayaan ekaristi tidak terdengar lagi, itulah tanda Gereja telah mati.”
Kalimat dahsyat itu diungkap oleh seorang uskup, yang saat itu masih dosen. Namanya mungkin lebih baik tidak disebutkan.
Belakangan ini perihal masa depan Gereja menjadi perhatian bersama. Mengingat Gereja sendiri adalah institusi tertua, yang kini masih tetap berpacu dengan waktu (Edy Kristianto, 2001: 5). Gulungan krisis menghantam. Banyak orang meninggalkan Gereja. Di eropa dan Amerika para jompo dan lansia yang datang ke Gereja. Yang muda-muda entah kemana. Karena itu, Gereja berjuang keras memberdayakan generasi muda. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Christus Vivit (2019, 64)mengundang semua elemen Gereja (juga dunia) agar mau membantu kaum muda agar mereka berjalan dalam terang nilai-nilai Injil. Karena mereka adalah masa kini dan masa depan Gereja.
Penerjemahan mimpi Bapa Suci itu dalam konteks hidup menggereja akar rumput kita kenal istilah pastoral kaum muda. Bukti nyatanya kita jumpai dalam kiprah Orang Muda Katolik (OMK). Akan tetapi satu pertanyaan tersisa, dari mana orang muda? Tentu orang muda tidak jatuh dari langit. Mereka datang dari keluarga. Sementara keluarga sendiri hari ini berpapasan dengan sekelumit persoalan pelik. Perceraian marak, menikah tanpa komitmen prokreasi atau child free, broken home, dan sebagainya.
Dari situ ditariklah benang merah antara keluarga dengan masa kanak-kanak. Meskipun tidak pasti, keluarga yang kurang akur besar kemungkinan membuat perkembangan anak-anak mereka terganggu. Dan memang “dunia” saat ini cenderung mengikis mentalitas anak-anak, melalui sistem yang tidak ramah terhadap anak-anak. Beberapa di antaranya tuntutan sistem kerja, gadget, sistem pendidikan full day school, dan sebagainya. Dalam situasi semacam ini Gereja semestinya hadir sebagai tanjung harapan bagi keluarga berlabuh.
Sudahkah Demikian?
Bisa jadi analisis ini kurang tetap atau berlebihan. Di beberapa tempat, umat bahkan imam sekalipun, risih terhadap suara tangisan bayi. Beberapa ibu di suruh membawa bayinya keluar, karena dianggap mengganggu perhatian umat. Kuping anak-anak diketip ibunya karena ribut di gereja. Sebagai pelajaran kecil, tentu perlakuan ini dibenarkan. Akan tetapi akan menjadi suatu bentuk pembunuhan karakter, apabila menjadi suatu social judgment (penghakiman sosial).
Bayi-bayi yang menangis disoroti ratusan bola mata yang risi. Si bayi mungkin kurang merasakan, tetapi ibu yang berpapasan dengan bola mata tersebut mengalami suatu penghakiman tanpa suara. Dan itu sakit! Ia tidak ke gereja selagi buah hatinya masih sering menangis. Ataupun kalau ia pergi, buah hatinya terpaksa ditinggalkan.
Sangat disayangkan kalau di antara puluhan sorotan mata itu, ada dua bola mata dari seorang imam. Karena relasi kuasa, dua bola mata itu lebih dahsyat dari lainnya. Namun persis di titik itulah Gereja kehilangan cita rasa keibuan (ke-rahim-an). Gereja melanggengkan sistem pantriakalnya. Seandainya mereka berada pada pihak perempuan (ibu), mereka akan merasakan sebuah peperangan yang dahsyat. Antara kehendak ingin bersua dengan kurban Kristus, tangisan bayinya, dan tatapan yang menghakimi. Seolah tangisan adalah salah. Namun, sayangnya belum banyak gembala yang telah tiba pada disposisi semacam itu.
Demikian juga anak-anak. Mereka yang sering mengalami ekses penghakiman fisik dan penghakiman mental, bersama waktu akan menjauhkan diri dari Gereja. Gereja bukan lagi tempat yang ramah. Sama seperti sistem-sistem lain, Gereja juga mengekang perkembangan mereka. Bukankah bermain: kejar-kejaran, ribut, dan nakal adalah takdir alam untuk usia mereka? Anak-anak yang tidak melewatinya akan cacat (psikis dan fisik).
Gereja yang tidak terbuka terhadap hal-hal itu adalah Gereja yang sedang bunuh diri. Sebagaimana Monsinyur …. usia Gereja dapat diramal dari sejauh mana sering kita mendengar suara isak tangis bayi dan deraian langkah anak-anak dalam perayaan ekaristi. Jika itu sangat jarang, kita boleh mengukur. Gereja sedang diambang kepunahan.
Kita sering mendengar gereja-gereja di barat yang kini mulai sepi. Hanya para jompo dan lansia yang menghadiri perayaan ekaristi. Betapa mereka sangat merindukan suara tangis bayi dan celotehan anak-anak. Ironisnya kita yang saat ini berkelindanan dengan mereka, malah bersikap buas terhadap mereka. Memang benar juga, “penyesalan selalu terjadi di akhir.”
Ijinkan saya mengakhiri tulisan kecil ini dengan sebuah kisah pinggiran. Pada suatu perayaan ekaristi, di pagi hari. Waktu itu tepat hari minggu paskah. Seorang pemuda mengantuk di Gereja. Kicauan burung yang bertengger di gotix gereja, seolah menghitung dan memberi aba-aba. Dan benar saja. Ketika seisi umat sedang khusuk, pria itu terjatuh dari bangku. Perayaan ekaristi tetap berlanjut. Meskipun suara-suara tersibak. Namun, tidak begitu jelas, apa isi pembicaraan. Yang pasti tentang pemuda yang mulai mengusap kedua matanya itu.
Dugaan itu benar. Setelah berkat penutup, segerombolan ibu-ibu menghampiri pria tadi. “Gereja bukan tempat tidur. Lain kali kalau mengantuk, mendingan tidak usah ke Gereja sekalian. Mengganggu konsentrasi orang tau.” Kira-kira, demikian cercaan yang masih terbayang pria itu. Masih banyak lagi ungkapan lain yang mungkin lebih halus atau lebih sadis.
Sekadar melupakan aibnya, menjelang magrib pria itu memacu kuda besinya. Ia berhenti di sebuah bar yang sering memanjakan bir Irlandia. Dan konon tempat itu, didatangi oleh mereka yang berduit. Entahlah pria malang itu tahu atau tidak soal itu.
Ia memesan segelas Irish Reds dan dua batang Cerutu Kuba. Ia begitu terkejut, ketika pelayan bar menyodorkan lembar putih berisi label harga. Lelaki berperawakan agak tinggi itu sedikit terkejut. Lantas buru-buru merogoh dompet. Tanpa sengaja sikunya mengenai gelas sehingga minumannya tumpah. Gelas juga pecah. “Santai bung.” Sambar pria berbadan gemuk yang sedang memajang aneka botol minuman di rak. Ia mungkin boss bar itu. “Maafkan pelayanan kami,” lanjut boss itu. “Sebagai gantinya, tuan boleh memesan apa saja malam ini. Dan semuanya gratis!” Pria itu, sangat gugup. Wajah dan telinganya mulai merah. Tapi semua pelanggan di bar itu tetap asyik ngobrol. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Singkat cerita, bar menjadi tempat ternyaman mulai saat itu. Bukan Gereja! Masa Gereja kalah dari bar?
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus