ClaretPath.com – Cerita 2021 Harus Ditinggalkan
Senin Pekan Biasa XXXIV
- Bacaan Pertama: Dan. 1:1-6.8-20
- Bacaan Injil: Luk. 21: 1-4
Sahabat yang terkasih, langkah kita menyusuri jalan panjang tahun 2021 sebentar lagi akan usai. Kini kita sudah memasuki pekan ke-34, pekan masa biasa terakhir dalam liturgi gereja, sebelum memasuki masa adven.
Natal sudah di depan mata, gempita lagu natal sudah dimainkan meski dengan volume di level low sedapat didengar sendiri. Belum lagi pernak-pernik mewahyang menyilaukan mata, sudah diobrak-abrik dari gardus penyimpan, bersiap untuk dipasang.
Barang kali ada juga yang sudah berpikir tentang tahun baru, pernak-pernik kecil seperti terompet mulai diincar, dan direbut sana-sani. Gambaran dari persiapan di atas kurang lebih menegaskan suatu hal penting bahwa situasi bahagia akan segera dialami.
Begitulah cara sebagian besar umat kristen menyambut natal, tetapi tahun ini apakah masih sama? Saya mendeskripsikan kisah di atas persis dalam rentang waktu sebelum tahun 2019, ketika semua orang melangsungkan persiapan natal tidak dalam keadaan new-normal.
Covid-19 masih menjadi penghambat unutk memeriahan pesta natal dan tahun baru. Ketika kebanyakan orang sudah berpikir jauh ke tahun 2022, tetapi masih ada yang ingin tetap tinggal dalam cerita istimewa di tahun 2021.
Banyak yang belum Move On. Ada apa dengan tahun 2021? Yang pasti ada rindu dibubuhi pilu. Kisah indah tahun 2021 terlampau sadis! Kebahagiaan datang ditemani derita.
Miris! Barang kali tahun ini juga menjadi ironi. Mengapa? Pada tahun ini sulit membedakan mana tangisan kepedihan, dan mana tangisan kebahagiaan.
Coba bayangkan, ketika seorang gadis muda yang merayakan hari wisudanya, tetapi tepat pada hari yang sama pula Ayahnya meninggal lantaran covid-19. Dia menangis. Adakah diantara kita yang dapat menebak apa isi dari tangisannya, rasa syukur ataukah hujatan kepada Tuhan?
Seandainya gadis itu bertutur dalam doa, sanggupkah kita menafsirkan apa ujudnya? Mungkinkah dia mengutarakan rasa syukur di tengah kepergian ayahnya, ataukah dia marah kepada Tuhan setelah keberhasilan studinya, atau kemungkinan terakhir, dapatkah dia mengutarakan rasa syukur sekaligus hujatan dalam waktu bersamaan, mengingat bahwa situasi batinya berkecamuk. Susah untuk ditebak.
Pada akhirnya semua harus diterima meski terasa pedih. Sama seperti kita menelan obat untuk kesembuhan. Dalam menjemput masa adven yang sudah di depan mata, tidak semua orang berdamai dengan situasi batinnya.
Kata-kata “saya baik-baik saja” hanyalah kemasan luar yang menutupi kehancuran. Sudah terlalu banyak luka yang ada di tahun ini. Tetapi kita tidak semestinya tinggal, meski sakit harus bangkit! Kita harus menyadari bahwa kita adalah “orang-orang miskin”. Bukan saja tentang miskin materi, tetapi lebih dalam dari itu, kita lemah, selalu jatuh dalam keterpurukkan.
Momen adven yang akan dilangsungkan nantinya menarik kita untuk merenungkan semuanya itu. Kesadaran diri tentang betapa miskinnya kita dihadapan Tuhan tidak perlu menjadi sebuah kecanggungan. Tuhan lebih suka hamba yang jujur.
Seperti seorang janda miskin dalam injil hari ini (Lukas 21:1-4), dia memberi dari kekurangannya. Di sini dapat ditafsir sebagai batas kemampuan. Dua peser menunjukan hasil dari usahanya. Tidak lagi ada hal lebih yang dapat dikumpulkannya selain hanya itu, dua peser, buah dari kejujuran dan ketulusan hatinya. Kapasitasnya sebagai manusia lemah membatasinya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih.
Pada akhirnya dia menjadi pribadi yang berarti oleh karena Tuhan yang menyanjungnya. Hal yang paling penting kita pelajari dari si janda ini ialah meskipun lemah tapi ia tahu bagaimana harus bersyukur. Karena hidup bukan hanya tentang dua peser atau usaha dari kita, tetapi penyerahan diri kepada Tuhan sebagai bagian dari kesadaran bahwa kita lemah, hanya Tuhan yang mampu menguatkan.
Selamat pagi. Tuhan memberkati.
*Oleh Acen Putra
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.