ClaretPath.com – Meneropong mutu pendidikan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih setia dengan fakta bahwa kualitas pendidikan masih rendah. Bagaimana tidak? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2010 sampai 2019, Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu menempati rangking di atas 30 besar dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia.
Dari beberapa fakta ini, kita dapat mengatakan bahwa ada berbagai faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di NTT, antara lain; kualitas guru dan penataan aspek sarana prasarana yang sangat kurang dari pemerintah. Solusi untuk mutu pendidikan di NTT, yaitu dengan pemerataan pendidikan di daerah 3T (terdepan, terluar, dan terbelakang).[1
Voltaire pernah mengungkapkan adigium sederhana ini: “Suatu saat semuanya akan menjadi baik, itulah harapan kita. Sekarang segala sesuatunya sudah baik, itu sebuah ilusi”.
Bagi penulis, adigium ini selaras dengan sebuah pertanyaan kapan mutu pendidikan NTT baik? Suatu saat semuanya akan menjadi baik dan sekarang sudah baik itu sebuah ilusi? Pendidikan di NTT akan selalu menjadi topik yang viral sekaligus usang untuk diperdebatkan. Jika meja perdebetan bertemakan fakta ini, selalu hal yang dipersoalkan adalah kualitas guru, sarana prasaran ataupun pemerataan usaha pemerintah. Sampai kapan pun hal ini yang akan selalu dipersoalkan!
Sebuah Pilihan dan Kesadaran
Bagi penulis, pilihan dan kesadaran menjadi dua hal yang perlu didalami. Jika dari hasil terawangan publik persoalan pendidikan di NTT disebabkan oleh kualitas guru-murid, prasarana ataupun pemerataan pendidikan. Maka, solusinya adalah memperbaiki semua persoalan di atas, persoalan sekaligus adalah solusinya.
Terlepas dari semua solusi yang ada, para guru dan murid sebagai aktor utama pendidikan perlu memiliki sebuah pilihan dan kesadaran. Hal ini tidak berarti sarana prasaran dan pemerataan pendidikan oleh pemerintah tidak penting. Kita bisa memaknai lebih jauh terkait dengan pilihan dan kesadaran ini dalam pemahaman filosofisnya. Penjabaran kedua hal ini sebagai berikut.
1. Pilihan
Guru dan murid perlu memiliki filosofi pilihan. Menjadi seorang guru ataupun murid adalah sebuah pilihan. Seorang anak berusia 7-17 tahun yang tidak mengenyam pendidikan dalam sebuah sekolah formal tidak disebut sebagai seorang murid. Demikian pun guru, laki-laki ataupun perempuan yang berusia 20-60 yang tidak mengajar di sebuah sekolah tidak dapat disebut guru (walaupun guru ataupun murid ada di mana-mana dan siapa saja). Artinya menjadi guru-murid adalah sebuah pilihan.
Memilih untuk tidak bersekolah bagi seorang anak menjadikannya bukan seorang murid. Demikian seorang yang tidak melamar untuk mengajar di sekolah formal tidak menjadikanya guru dalam dunia pendidikan formal. Semuanya adalah sebuah pilihan. Ketika seorang anak dan pemuda/i telah memperoleh predikat sebagai murid dan guru atas pilihan mereka, maka mereka harus mengetahui konsekuensi dari pilihan mereka tersebut.
Konsekuensi dari pilihan menjadi seorang murid adalah harus belajar dan terus belajar atau berani membuka diri untuk dibentuk dengan auto-metode ataupun metode dari guru. Tujuan dari semuanya itu adalah berbudi dan berakhlak mulia. Demikian halnya dengan guru, konsekuensi atas pilihannya menjadi guru adalah memberi diri seutuhnya dalam mendidik murid-muridnya. Harus berani menerima semua konsekuensi atas pilihannya menjadi guru.
Misalnya dalam mengajar, seorang guru perlu menjadi seorang konstruktivis yang memliki pemaknaan mengajar sebagai bentuk partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi.[2] Itu adalah salah satu solusi dari defenisi mengajar sebagai seorang guru. Mereka bisa menggunakan begitu banyak metode. Seorang guru ataupun murid harus bisa mencintai pilihannya, sebab semua pilihan itu berkonsekuensi. Jika ia mencintai pilihannya, maka ia sedang dan akan selalu mencintai konsekuensi (apapun itu) atas pilihanya.
2. Kesadaran
Para guru ataupun murid perlu memiliki sebuah kesadaran. Kesadaran bukan dalam pengertian saya sadar bahwa saya masih hidup atau saya sadar saya adalah murid dan guru. Namun, kesadaran dalam pengertian Paulo Freire (filsuf pendidikan Brasil). Menurut Freire, ada tiga tingkat kesadaran, yakni kesadran magis, naif dan kritis.
Pertama, kesadaran magis; hanya membawa kita semua menyadari saya adalah guru dan murid. Namun, kesadaran ini tidak serta-merta membuat kita memahami dengan baik apa yang harus saya lakukan dengan predikat ataupun adanya saya itu. Kesadaran ini belum sampai pada pemahaman akan substansi atau esensi dari adanya saya sebagai guru dan murid.
Keduan, kesadaran naif; orang memahami atau menyadari dirinya. Dia menyadari predikat tertentu yang ada padanya, misalnya sebagai murid ataupun guru. Namun, dia tidak banyak bertindak atau bergerak untuk merealisasikan predikatnya itu. Dia bersikap acuh tak acuh (indiferentisme). Dia bahkan tidak berpikir bagaimana berani bangun dari keterpurukan atau kelemahan yang ada sebagai seorang guru-murid.[3]
Ketiga, kesadaran kritis; orang tidak sebatas menyadari identitasnya sebagai seorang guru dan murid. Lebih dari itu, mereka sekaligus menyadari kelemahan dan kekurangannya. Meraka juga mampu menemukan solusi. Dengan kata lain, mereka bertindak ekstra atau out of the box untuk memberikan yang terbaik dalam dunia pendidikan. Mereka memiliki kesadaran dasar, yaitu mereka adalah aktor utama bagi mutu pendidikan.
Muara dan puncak dari semua kesadaran itu adalah kesadaran kritis (consciousness of consciousness). Jika terdapat kesadaran kritis, mutu pendidikan dapat terjamin. Alasannya, di dalam kesadaran kritis terkandung sebuah pemahaman yang komprehensif terkait konsekuensi atas pilihannya.
Jika seorang guru ataupun murid tidak memiliki kesadaran kritis, maka keputusannya untuk menjadi murid atau guru akan tidak disadarainya. Dengan demikian, akan sulit bagi mereka untuk mencintai setiap konsekuensi atas pilihannnya.
Cara memperbaiki mutu pendidikan ke arah yang lebih baik: pertama-tama mencintai pilihan sendiri yang berkonsekuensi, entah sebagai guru entah murid. Dengan demikian, ada pemberian diri yang total dalam dunia pendidikan. Jika tidak demikian, kita hanya mengulang adigium Voltaire “suatu saat semuanya akan menjadi baik, itulah harapan kita. Sekarang segala sesuatunya sudah baik, itu sebuah ilusi”.
Sekarang baik? Itu sebuah ilusi?
(ed. el)
[1] https://www.kompasiana.com/5185zaenab4242/61dbe1a21b796c3c884d37c2/kondisi-pendidikan-masa-pandemi-covid-19-di-nusa-tenggara-timur-ntt.
[2] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal., 65.
[3] https://ipm.or.id/kesadaran-kader-dalam-kacamata-paulo-freire/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter
Penggiat literasi