Dilema “Maya”

Penaclaret.com – Saya berada di Yogyakarta saat ini, tetapi saya bisa berelasi atau berkomunikasi dengan siapa saja, dari mana saja, dan dengan berbagai cara, yakni mengirim pesan, mendengarkan suara, atau bertatapan muka secara tidak langsung. Pengalaman sederhana ini menunjukan bahwa saat ini semuanya serba terhubung. Sebuah petanda bahwa degungan mengenai globalisasi beberapa dekade silam menyata. Batas geografis dan sosio-politik tidak lagi menghalangi relasi antarmanusia. Teknologi internet berbasis digital platform menjamin dan mempermudah interkonektivitas ini.

Namun disayangkan, perkembangan teknologi internet dengan digital platform telah menyuburkan kebohongan, hinaan, diskriminasi, makian, fake news terhadap lyan dalam cyberspace (dunia maya). Konten-konten serupa memiliki jumlah penikmat (viewers dan likers) ribuan dan bahkan jutaan. Hal ini berbanding terbalik dengan konten-konten yang memuat nilai-nilai edukatif dan konstruktif demi membangun keadaban hidup publik dan privat. Fenomena ini menjadi bukti yang cukup untuk kita mengafirmasi bahwa perwujudan globalisasi melalui media digital tidak hanya menghapus batas geografis dan sosial-politis, tetapi juga batas normatif antara yang baik (etika) dan benar (epistemologi). Di dalam dunia ‘maya’ kita memiliki kebebasan penuh untuk berkata dan melakukan apa saja.

Kita bisa melihat kenyataan ini dengan mengacu pada konten Youtube Christian Prince. Setiap konten Youtubenya memuat ulasan mengenai Al-Quran, kebiasaan orang-orang Muslim (Misalnya sunat), konsep ketuhanan Islam, dan penanggalan kalender dalam Al-Quran. Untuk memastikan hal ini, kita bisa menonton salah satu kanal Youtube yang bernama Christian Prince-Indonesia. Setiap monolog dan dialognya tentang agama Islam selalu berfondasikan pendekatan Quranik. Namun dalam setiap ulasannya, ia selalu menertawakan, mengejek, menghina, meremehkan, dan menista berbagai kekhasan Islam sebagaimana dikemukakan di atas. Menariknya bahwa konten-kontennya ditonton dan disukai oleh ribuan sampai jutaan orang dari belahan dunia mana saja. Banyak orang juga memuji dan mengapresiasi isi konten-kontennya yang nota bene sarat dengan hinaan, tawaan, omelan, dan nistaan terhadap agama Islam. Kanal Youtube ini dirilis pada 11 November 2012. Kanal Youtube ini telah ditonton sampai 7.759.161 kali hingga saat ini. Fenomena seperti ini melahirkan dua pertanyaan bagi penulis. Pertama, mengapa kanal-kanal Youtube yang diskriminatif, ekstrimis, dan rasis seperti ini memiliki banyak viewers dan likers? Kedua, apa implikasinya terhadap kehidupan publik di dunia nyata? Tulisan ini lahir berkat permenungan kritis penulis untuk dua pertanyaan di kemukakan sebelumnya.

Baca juga :  Kekerasan Seksual: Mengganti Budaya Diam dengan Sensibilitas

Dari Post-Modernisme menuju PostTruth dan Populisme

Kita hidup pada iklim intelektual post-modern. Sebelumnya, modernisme mendewakan dasar yang kokoh dan tidak terbantahkan bagi berbagai klaim epistemologis dan etis. Post-modernisme mematok pada sudut pandang atau perspektif sebagai dasar justifikasi (Richard Bernstein, Habermas and Modernity, 17). Semua yang baik dan benar bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Pada akhirnya, konsepsi mengenai kebenaran dan kebaikan variatif. Cita rasa intelektual seperti ini semakin meningkat eskalasinya ketika grand naratives (narasi-narasi besar) diruntuhkan atas nama kebebasan dan kreativitas. Grand narratives dipandang melahirkan dan melanggengkan kekerasan terhadap lyan dalam berbagai bentuk (sosiologis, fisiologis, teologis) (I. Bambang Sugiarto, Postmedernisme, Tantangan Bagi Filsafat, 27-28). Post-modernisme mendelegitimasi batas normatif etika dan epistemologi. Semuanya diukur dan dinilai hanya berdasarkan perspektif (perspektivisme).

Hemat saya, perspektivisme telah menelurkan dan menjamurkan berbagai konten post-truth dalam jagad maya (cyber space). Oxford Dictionary mengemukakan, fenomena post-truth merupakan kondisi di mana emosi dan keyakinan personal lebih diutamakan dibandingkan fakta. Post-Truth menyasar emosi manusia. Kebenaran bukan lagi korespondensi antara bahasa dan kenyataan atau apa yang bisa diterima oleh nalar publik. Kebenaran adalah apa yang menarik dan menghibur. Berbagai fitur dan tools platform digital (Facebook, Instagram. Whatsapp, Line, dan Tik Tok) memfasilitasi tersedianya konten-konten yang menarik dan menghibur. Kebohongan, penghinaan, dan pengolokan terhadap menjamur. Kita menerimanya karena kita terhibur saat menikmati berbagai kontek serupa. Kebohongan dan penghinaan yang disajikan secara entertaintif diterima sebagai kebaikan dan kebenaran.

Fenomena di atas menyingkapkan bahwa eksploitasi emosionalitas atau sentimentalitas manusia lebih diprioritaskan, dari pada pelurusan, pencerdasan, dan penyadaran nalar warga net. Di dalam iklim seperti ini, kita bisa menerima dan memaklumi ketika kekhasan agama lyan diejek, dihina, dan dinista. Penerimaan dan pemakluman terhadap konten-konten yang diskriminatif bisa tampak dalam berbagai ungkapan pasaran berikut, kan semuanya bergantung pada masing-masing orang atau menghina tidak apa-apa asalkan menghibur. Defisit nalar kritis dan humanis melanggengkan dan melembangkan penyebaran konten-konten serupa.

Menjamurnya konten-konten ekstrimis dan radikalis di jagad maya tidak bisa dielak dalam jagad maya. Platform digital dapat menjadi fondasi penyebaran radikalisme dan ekstrimisme sampai ke berbagai kalangan dari belahan dunia mana saja. Post-Truth dapat dilihat sebagai kendaraan atau instrumen untuk menarik atensi dari viewers dan likers dan pada saat yang sama membentuk paradigma mengenai diri sendiri dan lyan. Noah Harari mengemukakan bahwa ke depan, manusia dapat di-hack oleh berbagai mesin algoritma. Algortima bahkan dapat memberitahu mengenai jenis kelamin saya atau juga kecendrungan seksual saya, ketika saya sendiri bingung dengan identitas seksual saya. Manusia dikendalikan oleh mesin algoritma. James Williams (mantan ahli strategi Google yang membangun sistem metrik untuk iklan penelusuran perusahaan bisnis global) menggemukakan bahwa media digital merupakan bentuk kontrol atensi manusia yang paling terstandarisasi dan terpusat dalam sejarah manusia (Amanda Lagerkvist, “Digital existence” (An Introduction), 1). Hemat saya, kesukaan atau ketertarikan massa terhadap berbagai konten diskriminatif dan ekstrimisme tidak terlepas dari konstruksi kesadaran manusia oleh berbagai mesin algoritma dari berbagai platform digital. Media mengondisikan pilihan manusia ketika berselancar dalam cyberspace. Kemudahan dan kesenangan yang diberikan oleh berbagai platform digital merupakan sebuah bentuk penjajahan baru (neo-colonialism). Orang dijajah dengan memberikan kenikmatan. Orang dijajah saat merasa terhibur.

Baca juga :  Reba: Pesona Inkulturasi dari Tanah Ngada

Kita realistis bahwa implikasi dari keterjajahan ini datang dalam berbagai bentuk. Konten-konten ekstrimis di berbagai digital platform dapat membentuk kesadaran bahwa saya baik dan lyan buruk. Misalnya, dikondisikan oleh konten-konten Christian Prince orang-orang Kristiani dapat memandang orang Islam sebagai yang bodoh, dungu, tidak masuk akal dan berbagai kategori serupa lainnya. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwasannya,  Di dalam media digital, masing-masing berusaha untuk menunjukan dirinya sebagai yang benar dan baik, lyan salah dan buruk. Implikasi lebih jauhnya, berbagai Gerakan populis (pengarahan massa) yang destruktif bisa dituai.

Untuk konteks Indonesia, konten Youtube Christian Prince dapat melahirkan kebencian dari orang Islam untuk orang-orang non-Islam. Sentimen-sentimen keagamaan dapat disulut untuk meraih kepentingan dari para auctor intelektualis. Kita teringat ketika rezim otoritarian orde baru mengkambing-hitamkan warga Indonesia beretnis Tionghoa sebagai penyebab krisis ekonomi. Massa yang agamis digerakan untuk berdemo secara besar-besaran demi menumbangkan Ahok. Tentu masih banyak fenomena serupa yang mendekorasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Berbagai konflik dituai atas nama kepentingan identitas agama dan etnis. Sentimen-sentimen keagamaan dan etnisitas menjadi komoditi menarik untuk dieksploitasi dan dikapitalisasi demi berbagai tujuan terselubung oknum-oknum yang berkepentingan.

Baca juga :  Cambuk Baudrillard Bagi Masyarakat Konsumeris

Konten-konten ekstrimis yang penuh hinaan dan kebencian dapat menanamkan kebencian tersebut dan sesekali bisa dieksploitasi demi kepentingan dari oknum-oknum tertentu. Gerakan massa yang bertujuan destruktif tidak dapat dielak. Adalah sebuah kebahayaan yang luar biasa ketika bersikap apatis terhadap berbagai konten diskriminatif dan ekstrimis tersebut. Kita tidak mungkin mengelak dari situasi ini. Kita hidup pada era digital. Berdigital sudah merupakan cara berada dan penanda eksistensi atau keberadaan kita. Kita menjumpai semua hal di sana, entah yang konstruktif, entah yang destruktif. Dalam dunia digital, batas normatif antara yang benar dan salah atau baik dan buruk kabur sudah tidak jelas. Kita harus realistis, bahwa causa finalis dari konten-konten tersebut bergantung pada subjek.

Pentingnya Rasio Sosial

Post-modernisme ditelurkan sebagai antitesis terhadap kemapanan modernisme yang mengusung rasionalitas manusia sebagai fondasi berbagai wacana kritis. Dalam perkembangannya, rasionalitas berakhir sebagai instrumen yang melanggengkan kekerasan. Post-modernimse mengobati defisit ini dengan rasio sosial. Semua yang baik dan benar merupakan hasil bincang-bincang antarmanusia, grand narrative ditolak. Berhadapan dengan kekacauan dan disorientasi etis dan epistemologis saat ini, kita semua dipanggil untuk berembuk untuk menemukan kosa kata etika dan epistemologi yang saling membebaskan (deliberatif). Pada akhirnya bonum commune tetap menjadi landasan kita bermedia.

Dunia maya telah menjadi ruang publik baru dan market untuk meraih keuntungan atau tempat orang mencari rejeki kehidupannya. Kita patut mengakuinya. Akan tetapi, kita juga perlu menyadari bahwa berbagai konten diskriminatif yang tersebar di dunia maya dapat membawa kerusakan yang parah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ketika kita tidak sigap untuk menghadapinya secara kritis-reflektif nan humanis. Kita tidak dapat mengelak bahwa berbagai konten yang humanis dan ahumanis selalu membanjiri kehidupan kita setiap saat (Misalnya, konten Youtube Christian Prince dan yang lainnya).  Semua elemen masyarakat dituntut untuk membangun ruang publik ini dengan cita rasa kemanusiaan yang kental keharmonisan dan kedamaian. Berpikir kritis dan humanis menjadi fondasi memboikot berbagai konten diskriminiatif dalam dunia maya.