Detik Akhir

Penaclaret.com – Kedamaian, kegembiraan dan semangat tak kunjung pudar dari wajah Sang Santo. Tubuh yang lemah karena sakit tak membuatnya berpasrah pada keadaan. Dengan segala tenaga yang tersisa ia terus berjalan. Dari Prades Uskup Agung santiago, Cuba melangkahkan kaki menuju Biara Cistercian di Fontfroide, Perancis. Di biara rahib inilah hamba Allah tinggal tenang di dalam kesunyian yang ia cintai, ia mempersiapkan diri untuk perjuangan terakhir. Ia mendapat gangguan urat saraf yang membuatnya tak berdaya.

Misionaris bertubuh pendek ini memiliki satu resiliensi kehidupan yang tak pernah turun, selalu stabil malah terus meningkat. Kecintaannya pada salib Kristus mendorongnya untuk terus memeluk jiwa yang membutuhkan pertolongan. Di Biara Cistercian, sekalipun tubuhnya lemah ia tetap menghadiri misa harian, ibadat pagi, ibadat sore dan ibadat penutup. Ia juga tak pernah lupa untuk mengunjungi Yesus dalam sakramen Mahakudus, entah untuk membuat jalan salib atau devosi-devosi lainnya. Keasyikannya yang terbesar adalah berdoa bagi Gereja yang telah merosot dan jiwa-jiwa yang tersesat. Ia tidak pernah peduli dengan dirinya sendiri dan kemalangang-kemalangannya; ia sama sekali melupakan dirinya yang telah rapuh. Tak seorang pun yang mendengar  dia mengeluh tentang seseorang atau menyatakan kekesalan. Ia mengatakan bahwa kemulian dan kegembiraannya ada dalam salib Yesus Kristus, dan ia tidak pernah berhenti berdoa bagi para penganiayaanya.

Baca juga :  Misinonaris Pesulap: Magis atau Latihan?

Sosok Bapa Pengakuan Ratu Isabel II, Spanyol, ini terdorong oleh cinta kasih Kristus merelakan diri menghembus nafas terakhirnya di tanah asing. “Di balik hamparan gunung ini ada Sallent tercinta”. Ungkapa kerinduan ini disuarakan dari mulutnya saat detik akhir menuju Rumah Bapa. Titisan kata-kata kerinduan ini mengartikan perasaan yang ada dihatinya terhadap tanah kelahirannya. Cinta yang berkorban sampai ke ujung jalan tidak memiliki batas selain tanpa batas dalam mencinta.

Sesaat sebelum ia masuk sakratul maut, dengan menyadari tanpa ragu bahwa yang ia hadapi adalah detik terakhir, ia meminta salah satu dari imam yang merawat untuk memberi dia absolusi. Sambil ia membuat tanda salib di atas diri sendiri, memukul dadanya, mencium salib dengan khidmat dan mengulang-ulang beberapa seruan singkat, ia memasuki perjuangannya di detik akhir, panjang dan penuh derita.

Bagaikan sebuah lampu pijar, kehidupan Uskup Agung Santiago, Kuba ini sedikit demi sedikit kian menjadi suram. Pada pukul 8.45 pagi, tanggal 24 Oktober 1870, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia harus mati sebagai seorang asing di pembaringan. Ia meninggal “tanpa dosa, tanpa hutang, tanpa uang”. Tubuhnya yang sedang berbaring dikelilingi oleh misionaris Claretian dan rahib-rahib. Akhirnya sambil memegang salib ditangannya dan disertai dengan kata-kata terakhir: “Jiwa, Tuhan… Berikanlahku jiwa-jiwa”. Selesailah sudah.

Baca juga :  Nun Jauh!

Kamarnya menjadi kapela kecil karena barisan para rahib terus-menerus datang untung berdoa disekeliling tubuhnya yang telah tak bernafas. Pada hari berikutnya tubuhnya dipindahkan ke gereja untuk disemayamkan sampai hari penguburannya.  Selama hari-hari itu dilihat bahwa tubuh misionaris apostolik ini tidak kaku. Semua rahib dan para tamu mencium cincin dan kaki putra Sallent dengan hormat dan khidmat. Pada hari kematiannya dan pada hari berikutnya langit disinari ”aurora borealis” (cahaya di langit bagian utara).

Pada tanggal 27 Oktober 1870, upacara penguburan pun di mulai. Pada misa agung ada orang melihat seeokor burung yang sambil bergabung dengan koor, nampaknya menggantikan iringan yang dipakai dalam penguburan wajah kudus Claret. Sementara Selebran menyanyi, burung berhenti berkicau. Di lihat terbang di bawah lengkungan gotik gereja, di atas tubuh Bapa Uskup yang kudus, dan hilnag pada akhir misa. Tubuh Claret belum kaku sebagaimana mestinya. Dia dimakanmkan di tempat kuburan para rahib karena otoritas sipil tidak memberi izin untuk menguburkan bapa pendiri di gereja.

Baca juga :  Mengasihi: Kunci Kesetiaan

Penguburan para uskup dan uskup agung sebagai pangeran Gereja, dimeriahkan dengan iringan tokoh-tokoh mulia, musik-musik militer dan sebuah khotbah penguburan dari seorang ahli pidato yang fasih berbicara dan terpilih. Penguburan Yang Mulia Bapa Claret, mantan Uskup Agung Santiago, Kuba dan Bapa Pengakuan Ratu Isabel II, tidak memiliki iringan lain selain tiga misionaris Spanyol yang sederhana dan tiga imam Perancis; Musik yang digaungkan adalah kicauan burung; Khotbah penguburan hanyalah sebuah sikap penghormatan yang mendalam dari semua yang hadir.

“Dilexi Justitiam, odivi iniquitatem, propterea morior in exilio; Aku telah mencintai keadilan dan  membenci ketidakadilan, oleh karena itu, aku mati di pengasingan” adalah kutipan kata-kata Paus Gregotius VII yang disematkan pada batu nisan kubur Pater Claret di Biara Cistercian Fontfroide, Perancis.

Detik akhir, masih adakah yang tersisa?