Opini  

Bahaya Reduksi Pendidikan

Bahaya Reduksi Pendidikan

Fenomena Pendidikan

Claretpath.com-Bahaya reduksi pendidikan: zaman saya SD (Sekolah Dasar) adagium pendidikan yang lazim adalah “Ijazah SMA sudah cukup”. Saya tidak paham ungkapan ini merupakan sebuah ungkapan optimis atau pesimis. Seiring perkembangan waktu, adagium ini bermetamorfosis, “Banyak sarjana yang nganggur”. Akan tetapi yang menjadi titik sorot saya pada dua adagium ini bukan soal punya ijazah SMA atau Strata Satu (S1). Pergeseran dua paradigma pemikiran ini merupakan  distorsi atau penyelewengan pun patologi dalam pendidikan. Ada sebuah penyempitan terhadap visi dan misi pendidikan Global. Pada titik ini diagnosis munculnya bahaya reduksi pendidikan menjadi perihal konsekuensi mendapat pekerjaan di masa depan.

Banyak anak-anak SMA (Sekolah Menengah Atas) yang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang saling lempar argumen. Sekilas anak SMK yang menjustifikasi bahwa mereka akan lebih mudah mendapat pekerjaan lantaran spesifikasi bidang ketika duduk di bangku SMK. Karena itu mempunyai pengalaman kerja yang cukup dan siap ketika terjun ke dalam dunia kerja di kemudian hari. Tanpa harus lanjut ke tahap perguruan tinggi. Sebaliknya anak-anak SMA menjadi lebih optimis karena pengalaman study integral selama masa SMA. Study integral membuat mereka lebih leluasa memilih pekerjaan dan spesifikasi studi lanjutan, tanpa terikat oleh keberatan jurusan sebelumnya. Penulis pun tidak berani memberikan putusan final benar-salah terkait dua pandangan ekstremis ini. Lagi-lagi pandangan semacam ini mereduksi pendidikan sebagai instrumen untuk mencari pekerjaan belaka.

Sokongan Pandemi

Pandemi covid-19 yang mewabah sepanjang dua tahun belakangan ini membuat banyak sistem dan bidang-bidang kemanusian ramai bermigrasi ke dunia digital. Tentu saja ada kurang dan lebihnya.  Digitalisasi yang meruntuhkan sekat-sekat geografis dan batas-batas fisik membuat ruang-ruang berekspresi terbuka lebar. Pada saat yang sama secara tidak sadar kebiasan berteknologi ini mengkonstruksi secara subtil mentalitas pendidikan. Sebagaimana teori tindakan khususnya etika instrumentalis sosiolog Jerman, Max Weber. Teknologi dengan digitalisasi yang menjadi nahkoda zaman ini membuat pendidikan cenderung bermotif instrumentalisme demi penguasaan sistem untuk perjuangan tetap eksis (termin C. Darwin). Orang berlomba-lomba belajar agar dapat menggunakan peluang digitalisasi ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Alih-alih membuat para civitas akademika berpretensi mengaplikasikan etika instrumentalisme a la Weber dalam dunia pendidikan. Alih-alih bahaya reduksi pendidikan menggerogoti mentalitas para civitas akademika.

Tawaran Kemendikbud Ristek?

Kampus merdeka, gagasan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim justru berpusat pada peningkatan sumber daya manusia dengan cara menyiapkan para mahasiswa menjadi tenaga siap pakai. Menurutnya, saat ini pendidikan harus dapat link and match dengan bidang industri. Dan fokus kerja sama perguruan tinggi yang cetusannya ini lebih terpusat pada kerja sama dalam bidang yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama dalam bidang teknologi dan sains (Pidato Menteri RISTEK, Nadiem Makarim, https://youtu.be/xoQSIZSUUhl). Hal ini menjadi sinyal bahwa terjadinya distorsi pendidikan yang sudah terjadi dalam struktur pendidikan itu sendiri. Lagi-lagi bahaya reduksi pendidikan terjadi. Bahkan mengakar secara struktural dalam tubuh sistem pendidikan.

Baca juga :  Orang-Orang Lelah | Opini

Pada sisi yang berbeda, paradigma yang melahirkan distorsi pendidikan (bahaya reduksi pendidikan) ini terpaksa mendapat respon positif karena efektifitas dan cukup urgen. Fakta kemiskinan yang pelik di bumi nusantara membuat pendidikan Indonesia berorientasi pekerjaan adalah tawaran yang siap saji, meskipun kurang tepat dengan mimpi besar pendidikan global. Selain itu, logika pasar dan kapitalisme yang sudah berakar kuat dalam kultur modernitas menjadi tantangan khusus. Pencitraan yang diakibatkan hyper realitas (realitas simulakra) temuan Filsuf Prancis Jean Baudrillard dan produksi iklan yang lebih mementingkan rasa ketimbang pertimbangan logis rasional. Fenomena semacam ini melahirkan patologi kebutuhan yang baru (Indiyastuti, 2019). Orang membeli bukan karena kebutuhan, tetapi karena rekonstruksi kebutuhan semu (Haryatmoko, 2011)

Pendidikan Integral

Plato dalam Republic sangat jelas bahwa pendidikan (Paideia) bukan bertujuan untuk mendapat keuntungan dalam dunia kerja yang bermuara pada pemenuhan hasrat perut dan seks (epithumia). Plato membagi tingkatan pendidikan menjadi gymnastic yang terdiri dari olahraga dan musik yang berguna untuk membina karakter dan kepedulian dan pendidikan untuk menata negara kota (polis). Gaya pendidikan semacam ini pun bukan demi pencapaian tingkatan tertinggi dalam hierarki polis karena gaji atau upah kerja, tetapi demi pelayanan publik karena keutamaan (arete) (Copleston, 1987). Di dalam filsafat Plato para pekerja adalah mereka yang sibuk dengan tugas mereka. Pun termasuk para budak belian bukan terlibat dalam dunia pendidikan. Karena itu, di dalam filsafat Plato tidak tercium aroma bahaya reduksi pendidikan.

Selain Plato, Aristoteles pun demikian. Aktivitas berpikir merupakan esse dari manusia sebagai animal rationale. Karena itu dua karya etika Aristoteles: Etika Eudemonisme dan Etika Nicomachean merupakan bentuk dari penjabaran pendidikan dalam pemikiran Aristoteles sebagai seni menata hidup agar tercapai tujuan dari hidup (telos) manusia, yaitu kebahagiaan (Koten, 2008). Karena itu, tujuan pendidikan bukan pada orientasi teknik mencari pekerjaan atau logika bisnis semata. Pendidikan merupakan jalan untuk mengaktualisasikan semua potensi yang ada dalam diri manusia (Kraut, 2006).

Baca juga :  Nusantara: Peradaban Klasik yang Hilang Dulu dan Kini

Tujuan pendidikan harus humanis

Pendidikan harus bertujuan humanis, demikian Martha Nussbaum, seorang pemikir berkebangsaan Amerika Serikat. Pendidikan itu sepatutnya menggugah dan menggugat jiwa seseorang. Sikap kritis akan membuat seseorang menggunakan nalarnya untuk terus bertanya dan bertanya tentang hidup. Melalui pandangan Socrates, Martha Nussbaum membangun metode pendidikan humaniora. Baginya pendidikan itu mengusik jiwa dan membangkitkan semangat bagi perubahan yang lebih baik. “Lalat pengganggu (gadfly) itu seharusnya mendengung ke dalam relung hati dan membawanya keluar menghadapi dunia nyata, dan bersiap untuk beradaptasi menghadapi perubahan yang tidak mungkin ditolaknya” (Nussbaum, 2001). Menurut Nussbaum, pendidikan yang hanya mengutamakan konsekuensi untuk mendapatkan pekerjaan semata tidak menyentuh esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan harus menyentuh jiwa atau kenyataan terdalam dari manusia dan memberi kontribusi terhadap kehidupan bersama yang lebih kaya; bukan sebatas cara pandang kapitalis. Dengan demikian pemaknaan terhadap hidup yang lebih integral digali terus menerus dengan bantuan pendidikan yang integral (Damayanti, 2021)

Berpegang pada tujuan mulia pendidikan itu, Nussbaum mengharapkan agar dunia pendidikan tidak hanya terbebani dengan kultur bongkar pasang kurikulum yang sebenarnya berorientasi teknis untuk terjun kedalam dunia pasar atau kerja. Nussbaum menawarkan pendidikan naratif yang menggunakan sastra untuk mendidik. Karena sastra menurutnya dapat melahirkan imajinasi untuk memposisikan diri pada posisi orang lain dan melihat sebuah fenomena dari kacamata orang lain. Hal ini menjadi mungkin karena dunia sastra membawa pembaca melampau dunia yang tampak pada permukaan. Sastra melabuhkan pada sekelumit misteri yang tersembunyi bagi mata para teknis yang melihat sekilas teknis instrumentalisme Weberian (Damayanti, 2021). Dengan demikian menurut Nussbaum, pendidikan naratif yang meng-anak-emaskan sastra dapat menjadi metode untuk membangkitkan jiwa humanisme.

Driyarkara dan Pendidikan

Selain Nussbaum, di Indonesia kita mungkin mengingat Driyarkara yang membicarakan manusia sebagai realitas yang sangat kaya. Manusia layaknya cosmos kecil yang sangat kaya. Ketika manusia menganalisa sebuah gunung api, si penganalisa itu mampu menggambarkan secara terperinci dari setiap sisi. Karena gunung itu pasif dan berada di luar atau terpisah dari si pengamat atau peneliti. Akan berbeda ketika meneliti tentang manusia. Karena si peneliti sedang meneliti manusia yang bukan pasif, tetapi dinamis yang dapat berubah setiap waktu. Lagi pula manusia tidak mampu mengambil jarak yang sempurna dengan manusia. Karena ketika seorang meneliti manusia, peneliti juga sedang meneliti tentang dirinya sendiri (Kleden, 2018).

Baca juga :  Senandung Kezaliman: Pita Merah dan Pita Hitam Peradaban

Manusia pun multidimensional: biologis, psikologis, religius, etika dan budaya, juga dimensi-dimensi lainnya yang cukup kompleks. Bila semua sisi ini di baca dari kacamata telos  Aristoteles, maka tujuan dari pendidikan adalah untuk mengaktualisasi semua potensi yang ada dalam dimensi-dimensi manusiawi itu. Hanya dengan cara itulah manusia dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan (Sindhunata, 2004). Karena itu, persempitan pendidikan bernuansa teknis semata yang tawaran Kemendikbud Ristek kurang sejalan dengan semangat humanisme dan visi pendidikan yang terelaborasi dari beberapa pemikir di atas.

        

Sumbangan Publik

Pendapat umum bahwa yang pandai belum tentu berlaku baik. Buktinya banyak civitas akademika yang terpapar radikalisme picik. Kasus seksual Abusement yang marak dalam beberapa perguruan tinggi (Kompas, 11/12/201). Artinya isi kepala yang pandai belum tentu cukup untuk kehidupan bersama. Hal ini menjadi catatan penting bagi pendidikan Indonesia sekaligus menjadi sinyal bahwa pendidikan yang humanis masih cukup rendah. Karena itu, rekonstruksi ulang pendidikan agar tidak mudah terbawa arus kapital atau logika pasar yang kemudian mereduksi segala lini kehidupan. termasuk pendidikan yang kemudian melegalkan penindasan kapitalis, tetapi memiskinkan sikap etis dan humanis sangat diperlukan.

Adapun solusi kecil yang dapat penulis sumbangkan adalah evolusi mental untuk meruntuhkan roh kapitalis yang sebenarnya sudah meresapi dalam mindset anak-anak bangsa. Dan lingkungan pendidikan menjadi ruang yang dapat mewadahi mimpi evolusi mental ini. Misalnya pendidikan karakter melalui karya-karya sastra sebagaimana Nussbaum tawaran di atas. Penguatan norma-norma yang telah tertanam dalam budaya atau daerah, dan kemampuan berpikir kritis untuk menjernihkan berbagai cacat berpikir yang melahirkan patologi publik. Evolusi ini hendaknya berjalan sejak individu dapat meresapi input-input dari lingkungan sekitar. Dengan evolusi ini, harapannya dalam kebijakan publik yang diambil tidak hanya mementingkan individu, tetapi turut mempertimbangkan konsekuensinya atas orang lain. Dengan demikian, roh kompetisi yang kurang sehat, seperti konsumerisme, korupsi, dan berbagai penyakit publik lainya dapat diretas.