Bahagia Kok Pura-Pura?

Bahagia: Tulus, bukan “pura-pura”

Penaclaret.com – Jika seseorang ditanya tentang apa dan bagaimana hidup ideal yang dicita-citakannya, maka jawabannya adalah hidup bahagia. Itu jawaban normal dan layak. Sebab, tidak ada seorang pun ingin hidup menderita. Apapun kondisinya, kebahagiaan adalah hak semua orang. Siapa saja boleh memilikinya. Itu mutlak! 

Term “pura-pura bahagia” seolah sedang berada di puncaknya. Kata-kata ini cukup familiar. Maknanya pun kurang jelas. Tidak pasti antara bahagia atau tidak. Ia tidak netral apalagi memihak. Yang jelas, “pura-pura bahagia” tidak realistis. Dapat diilustrasikan jika tersenyum belum tentu menunjukkan seseorang sedang bahagia. Bisa jadi ia sedang “pura-pura bahagia”. Mungkin, “pura-pura bahagia” ingin menunjukkan bahwa subjek sebenarnya sedang tidak baik-baik saja tetapi ingin atau harus tetap terlihat baik-baik saja. Pura-pura bahagia dapat menjadi sarana sementara sambil memulihkan keadaan. Pertanyaannya adalah mau sampai kapan berpura-pura bahagia? Bukankah itu justru membuat hidup tidak bahagia? Bahagia kok pura-pura.

Hidup adalah sebuah realitas dinamis. “Tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap”, demikian kata-kata seorang filsuf Yunani kuno yang bernama Herakleitos. Kata-katanya, “panta rei khai uden menei” (semuanya mengalir dan tidak ada satu pun yang tinggal tetap), menunjukkan suatu pemandangan hidup yang penuh dinamika. Ia mengibaratkan realitas dinamis yang terus mengalir bagaikan suatu sungai.[1] Kita tidak akan pernah turun ke aliran air sungai yang sama sekalipun dilakukan secara berulang-ulang. Kira-kira demikianlah juga hidup. Akan selalu bergerak. 

Baca Juga :

Meninggalkan Segala Sesuatu dan Mengikuti Yesus

Pemikirannya tersebut setidaknya menyiratkan bahwa memang hidup itu unik. Ada dinamika yang kita perankan. Sebagai pemeran utama, kita harus mengerti skenario bukan menurut ego. Tentu saja akan selalu ada perubahan. Roda akan terus berputar. Ada saatnya di mana sukacita menghampiri kita dan ada saatnya juga kemalangan, rasa kecewa, galau dan ketidakenakan lainnya menjadi bagian dari kita. Semuanya normal dan jika perlu patut disyukuri. Itulah kehidupan. Jika kita tidak merasakannya, maka kita sedang tidak hidup.

Baca juga :  Cinta Diri di Tengah Pandemi Sebagai Bentuk Egoisme Etis

Hidup Realistis

Menurut Aristoteles, ada dua macam tujuan utama manusia dalam hidupnya, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan yang lebih lanjut. Sedangkan tujuan akhir adalah sesuatu yang jika sudah tercapai, tidak ada lagi sesuatu yang diminati selebihnya. Jika belum tercapai, manusia akan terus berhasrat untuk tetap mencarinya. Bagi Aristoteles, tujuan akhir itu adalah kebahagiaan![2]. Kebahagiaan yang dimaksud ialah yang sejati, real, tulus dan tidak pura-pura. 

Baca juga :  Reba: Pesona Inkulturasi dari Tanah Ngada

Lantas, apakah “pura-pura bahagia” dapat menjadi pilihan? Hemat saya tidak! Kita tidak boleh hanya terdiam dan tenggelam dalam kepiluan. Kita termakan oleh pikiran yang tebal akan ego diri sendiri. Tanpa disadari, pikiran tersebutlah yang menjadikan hidup semakin berat dan tidak bahagia. Bahkan melelahkan.

Baca Juga :

Iman dan Pengharapan

Salah satu cara menuju kebahagiaan adalah hidup secara realistis. Hidup dalam realitas sendiri adalah suatu keunggulan. Sederhananya, jika bahagia katakan bahwa “saya bahagia” dan jika tidak, jujurlah terhadap diri sendiri bahwa kita sesungguhnya sedang tidak bahagia. “Pura-pura bahagia” justru bukan metode penyamaran yang baik karena akan semakin membuat kita tidak bahagia. Akibatnya, manusia yang ingin terus terlihat bahagia dalam situasi yang tidak stabil justru akan menggunakan segala sarana, misalnya dengan memakai narkoba seperti sabu yang meningkatkan dopamin dan serotinin sehingga seorang akan terlihat bahagia berlebihan.

Para filsuf dari aliran Stoikisme yakin bahwa kebahagiaan hanya muncul lewat olah batin dan hidup berkeutamaan.[3]Aristoteles juga menawarkan cara lainnya yaitu gaya hidup sesuai dengan moral sebab moralitas mengantar manusia pada kebahagiaan.[4] Pada dasarnya, kebahagiaan tidak jauh dari diri kita sendiri. Artinya, diri kitalah yang menentukan apakah kita mau hidup bahagia atau tidak. Keputusan sedang berada di tangan kita sendiri. “Pura-pura bahagia” itu melelahkan. Dan memang “pekerjaan” itu percuma. Banyak waktu yang terbuang pada suatu hal yang tidak berguna. Hiduplah secara realistis dan rasional. Menerima kenyataan bukan berarti berlarut-larut dalam ketidakbahagiaan. Menikmati hidup apa adanya tanpa ekspetasi berlebihan. Tidak ada satu pun kebahagiaan yang berdasarkan pada kepura-puraan. Berbahagialah seperti apa yang kita mau, bukan seperti apa yang ingin dilihat orang.

Baca juga :  Roti Hidup: Bekal Menuju Keabadian

[1] Kees Bertens, “Sejarah Filsafat Yunani”, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), 46.

[2] Franz Magis-Suseno, “Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles”, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 3.

[3] A. Setyo Wibowo, “Ataraxia: Bahagia menurut Stoikisme”, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), 14.

[4] Franz Magis-Suseno, “Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles”, 5.