Allah Telah Mati, Yesus Kristus Membunuh-Nya

Picture by Blogspot.com

“Allah telah mati”, Nietzsche katakan dalam aforisme 125, dan Balthasar secara provokatif, mengutip Ernst Bloch, menyambung, “Yesus Kristus membunuhnya”. Teori “Kematian Tuhan” adalah penyelesaian hukum batin sejarah hasrat dalam drama “Dionysus versus the Crucified” atau “Kristus versus anti-Kristus”— sejarah penebusan hasrat ciptaan, untuk “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Hasrat ini penuh kekerasan, kebodohan, dan kegilaan dalam drama sejarah. “Tuhan atau badut?” tanya Nietzsche. Namun dalam konsep transvaluasi nilai Nietzsche, atau selalu “sebagai”, Tuhan “sebagai” badut. Lantas kepada badut Tuhan mana kita bersujud? “Festival Pantat” Nietzsche yang menandakan bermensch atau Kristus sebagai badut?

Vox clamantis in deserto, ada suara yang berseru di padang gurun. Roh mengarah ke padang gurun. Di gurun orang menemukan batas-batas kebebasan dan hasrat. Di gurun ini kemampuan manusia untuk menolak atau menerima cinta dan penebusan Allah diuji. Dan ini adalah kisah penebusan Sang Pembunuh Sabda, Kata, Tuhan, Nietzsche (1844-1900). Seorang manusia menjanjikan “yang hanya perlu melakukan apa yang ingin dia lakukan”, sejak kelahirannya di Röcken, dekat Leipzig, 15 Oktober 1844.

Friedrich Nietzsche tentu adalah figur yang sulit dipahami. Seperti Heraklitus, Nietzsche adalah seorang Riddler yang, “meniru seorang aktor”. Dia, kadang-kadang, seorang buffo, histrio, mimomaniac— seorang penggoda, pesulap topeng yang memikirkan pertunjukan, permainan dalam permainan— pemikir samar-samar dalam mencari asal metafisik yang gelap, dan oleh karenanya, hasrat intelektualnya tidak pernah membiarkan secercah sensibilitas manusiawi yang sangat terasa denyutnya terselebung dalam kegelapan. Karena, sehubungan dengan hasrat, Nietzsche tidak pernah mau berjalan, berlari atau berenang, dia memilih “terbang”, sebuah “tujuan biru” yang tanpa berhenti, tanpa mendarat, tanpa mendapat. Kalaupun toh akhirnya dia harus berlayar, Nietzsche memilih untuk membakar dermaganya dan berlayar ke laut tak bernama.

Tentang hubungannya dengan aforisme 125, Gott ist tot, Rene Girard menulis dalam “Strategies of Madness” bahwa sebetulnya Nietzsche adalah apologet negatif untuk Kekristenan. Dia tersandung pada radikalitas Salib dan sesuatu tentang para korban yang tidak bersalah. Jika dalam aforisme 125, Nietzsche memproklamirkan kemenangan abadi atas Kekristenan, dia juga berbicara tentang The Founding Murder, “penemuan pembunuh”. Nietzsche terikat oleh kemenangan Salib. Di sini “Sejarah mulai menginjak ruang tanpa dasar pengetahuan Kristen”. Dan Nietzsche mengingatkan, “Siapa pun yang melawan monster harus memastikan bahwa dalam prosesnya dia tidak menjadi monster. Seperti ketika kalian menatap cukup lama ke dalam jurang, jurang itu akan menatap kembali kalian.”

Baca juga :  Moralitas Kristiani: Buah Sakramen Rekonsiliasi

Perlu disadari, salah satu tugas penting pemikiran Kristen adalah mengungkap “atau” memalsukan pemalsuan. Pemalsuan besar-besaran Nietzsche diperlihatkan dalam ungkapan The Will to Power yang diterbitkan secara anumerta, dalam “The Roman Caesar with the Soul of Christ”. Namun, pernyataan yang demikian, menurut William Desmond, hanya mengimplikasikan pertanyaan tentang anti-Kristus. Sampai di sini sepertinya Desmond dan Girard berdiri dalam ruang apokaliptik Kristen yang sama, ruang parodia sacra, di mana pemalsuan Tuhan-manusia oleh Dewa anti-Kristus terlibat.

Untuk merenungkan klaim tersebut, usul Desmond, kita harus memasuki padang gurun-belantara yang adalah parodi dari gurun-gurun di mana Kristus dicobai Setan— dan pencobaan Nietzsche adalah pencobaan terakhir Kristus (menurut Injil Lukas), yakni kesombongan rohani— superbia— untuk mencobai Tuhan. Namun bagaimanapun, perjalanan ke padang gurun hanyalah upaya mencari ketenangan, bukan ketentraman. Ketenangan dapat berarti meredam pergulatan dan depresi. Namun chaos ini, bagi Nietzsche “akan melahirkan bintang”. Nietzsche menyebut secara gamblang bahwa “Manusia yang berpengetahuan tidak hanya mampu untuk mencintai musuh-musuhnya, namun juga ia harus mampu membenci sahabat-sahabatnya”. Sayangnya, kemampuan yang demikian menuntut perjalanan yang tidak ringan. Betapa sukarnya jalan yang harus ditempuh.

Nietzsche berobsesi menjadi lebih raksasa secara rohani daripada Kristus. Niatnya untuk membuat jejaknya selama ribuan tahun, untuk menulis ulang, dan untuk menilai kembali cara kita mengurutkan sejarah. Sejarah tentang “luluh”, “terbenam”, “hilang”, “lumpuh”, “mengguruh”, “menyerang”, “hening”, “aku” dan, “kau” (sajak 1943 Chairil Anwar). Saatnya telah tiba dan dia datang untuk menulis “injil kelima”— Demikian sabda Zarathustra.

Namun seperti “Aku” dalam sajak Chairil, Nietzsche harus berbaur dengan malam yang kelam dan jalan yang lurus kaku, dicegat oleh Atah Berantah hingga dunia privatnya ditindas oleh bahasa orang ramai. Dunia privat yang berakhir dengan kehancuran total, malam tanpa pembedaan. Dia yang dulunya Dionysus sekarang Disalibkan. Kristus adalah Dionysus, Dionysus adalah Kristus, oposisi pecah menjadi sesuatu yang kabur. Kekaburan ini adalah tanda bahwa Nietzsche tidaklah sempurna. Dia makhluk fana yang mengandung kebakaan.  Kebakaan inilah nasib, yang oleh Anwar, merupakan “kesunyian masing-masing”. Kesunyian ini adalah sebuah langkah kecil menuju catatan klinis rumah sakit jiwa di Jena di mana pasien diolesi kotorannya sendiri, makan kotorannya sendiri, dan dicuci dengan air kencingnya sendiri.

Baca juga :  The Crucified People | Teologi

Giuseppe Fornari dalam A God Torn to Pieces: The Nietzsche Case (2013), menggambarkan bahwa hantu iblis menghantui Nietzsche selama sebagian besar hidupnya. Dalam sebuah teks dari tahun 1868-1869, Nietzsche menulis: “Yang saya takutkan bukanlah sosok mengerikan di belakang kursi saya, tetapi suaranya; dan bukan kata-katanya, tetapi nada yang sangat tidak jelas dan tidak manusiawi dari sosok ini. Andai saja ia berbicara sebagaimana manusia berbicara” (87).

“Nada tidak manusiawi” tersebutlah yang melolong Nietzsche di rumah saudarinya di hari-hari terakhir kegilaannya. Dapat dibayangkan, Nietzsche menggambarkan penampakan ini sebagai frequent visitor, “pengunjung rutin”. Nietzsche menulis, “I know the devil and the perspective from which Helooks towards God” (86). Fornari lalu mengajukan pertanyaan paling provokatif, apakah Nietzsche diampuni Kristus. Dan dia tepat menjawab pertanyaan yang tak seorang pun tahu, “Untuk diampuni seseorang harus menerima pengampunan”.

Baca juga :  Menuju Bahagia

Seperti yang ditulis Girard, “Apa yang hebat dari Nietzsche bukanlah bahwa dia mendapatkan sesuatu yang benar namun lebih dari itu, dia membayar mahal untuk kesalahannya” (76). De Lubac dalam Nietzsche as Mystic juga menyebut bahwa “Nietzsche menemukan ketakbersalahannya (innocence) yang telah dia cari begitu lama— tetapi secara tidak sadar. Dia menjalankan tugas ini sendiri” (509). Nietzsche gagal menjadi Overman. Dia menjadi korban yang termakan oleh iblis, korban yang termakan oleh kebebasan dan hasrat mimesisnya sendiri. Tapi tentang interpretasi ini, menurut saya, tidak ada yang tahu persis. Pada akhir Esai Kedua The Genealogy of Morals, Nietzsche membuat suatu ramalan yang mengerikan:“Anti-Kristus dan anti-nihilis ini; pemenang atas Tuhan dan ketiadaan— dia harus datang suatu hari nanti”(25).

Nietzsche mengakhiri semuanya dengan mengatakan “cukup”, dia harus tetap diam agar tidak merebut tempat Zarathustra. Dia membawa kita ke padang gurun hanya untuk mengumumkan apa yang akan datang, dan kita tidak pernah tahu, “apa keadaan kita kelak” (bdk. 1 Yohanes 3:2).

Catatan

Diolah dari Philip Gonzales, “God is Dead and Jesus Christ Killed Him”, Church Life Journal, (University of Notre Dame, Januari 2022).

Artikel Rujukan:

Giuseppe Fornari, A God Torn to Pieces: The Nietzsche Case (East Lansing, MI: MSU, 2013)

René Girard,  “Nietzsche versus the Crucified”, dalam The Girard Reader, (New York: Crossroads, 1996).

________, “The Founding Murder in the Philosophy of Nietzsche,” dalam Violence and Truth, (London: Athlone, 1987).

William Desmond, “Caesar with the Soul of Christ: Nietzsche’s Highest Impossibility”, dalam Is There a Sabbath for Thought?: Between Religion and Philosophy, (New York: Fordham University Press, 2006).