Aku Momang Ite

photo by Liputan6.com

Oleh: Tom Aq. Woda, CMF*

Suara dentungan lonceng gereja sontak membangunkan setiap mata yang sedang terpejam. Aku pun demikian. Sontak terbangun meninggalkan mimpi yang sedang indah-indahnya. “Sial,” gugamku dalam hati. Padahal tadi aku seperti berada di kisah nyata yang begitu indah. Baru saja tersadar jika itu hanya secuil mimpi semata setelah dilabrak kebisingan lonceng gereja. “Oh Tuhan,” mataku serentak melotot seperti terkena serangan jantung mendadak. “Hari ini kan hari Minggu,” demo dalam suara hatiku. Aku bahkan tidak ingat jika hari ini aku harus bertugas sebagai penanggung bacaan pertama. Aku tidak punya waktu lagi untuk merenung atas dosa yang baru saja aku ciptakan. Sekarang waktunya menebus dosa, bergegas membersihkan diri dan cepat-cepat menuju gereja.

“Ayo cepat,” teriak Eda sambil melambaikan tangan ke arahku yang sedang berlari-lari kecil menghampiri para petugas lainnya. Nafasku ngos-ngosan akibat terburu-buru, “Ayo cepat ganti. romo Dino sudah siap-siap di sakristi. Tinggal kamu yang belum siap.” paksa Eda yang sedikit kesal.

Aku cepat-cepat memakai busana liturgi yang telah disediakan bagi para petugas dan segera mungkin bergabung dalam barisan para petugas lainnya yang akan memulai perarakan memasuki gereja. Nafasku belum stabil. Tapi aku harus tampil. Toh, ini juga salahku.

“Hei…jangan terburu-buru. Kamu terlihat lelah sekali. Ini, kamu boleh pakai tisu,” sapa seorang lelaki tinggi berjubah putih sambil tersenyum. Suaranya begitu lembut, indah dan teduh.

“Terima kasih,” jawabku malu-malu sambil mengeringkan jidatku yang sedikit berkeringat. Ia berdiri tepat di belakangku atau lebih tepatnya sejajar dengan romo Dino. Mungkin ia salah satu petugas liturgi yang bertugas membawakan mazmur hari ini pikirku.

Lagu pembuka dinyanyikan dan perarakkan pun dimulai. Aku gugup sekali saat mulai menyusuri bagian dalam gereja. Aku seperti menjadi bagian dari para malaikat yang berpakaian putih yang sedang menuju ke altar Tuhan. Tapi aku tidak pantas dan tentu berparas dosa. Begitu sakral perayaan Ekaristi ini. Detak jantungku yang tiba-tiba melaju lebih cepat dari biasanya. Apakah disebabkan oleh sapaan lembut lelaki yang tepat berada di belakangku. Harus ku akui, aku terpesona padanya, pada senyumannya, suaranya dan mungkin juga jubahnya. Entalah aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang aku rasakan.

Tugasku selesai. Perayaan Ekaristi hari Minggu berjalan hikmat. Aku bahagia bisa menjadi bagian dari petugas liturgi walaupun diawali dengan sedikit masalah klasik, telat. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Nasib baik aku tidak ditegur romo Dino yang murah hati itu. Lelaki tinggi berjubah putih yang awalnya kusangka sebagai pembawa mazmur ternyata bukan. Aku sendiri saja baru melihatnya hari ini. Maklum, selama empat tahun berada di kota pelajar, baru kali ini aku pulang kampung. Suasana di Jogja membuatku rindu rumah. Setelah menyelesaikan semua tugas belajarku, akhirnya kesempatan untuk melihat kampung halamanku di Manggrai pun tiba.

Baca juga :  Bila Nanti di Tanah Orang

“Selamat hari Minggu semua,” sapa romo Dino di ruang sakristi usai misa yang sentak dibalas juga oleh semua petugas.

“Selamat hari Minggu weta,[1]” kali ini giliran si lelaki berjubah putih tadi menyapaku sambil menyodorkan tangannya kepadaku. Ia sudah berpakaian biasa. Terlihat rapi dan berwibawa. Juga tampan tentunya.

“Selamat hari Minggu juga nara,[2]” balasku sambil tersenyum kepadanya yang juga dibalas senyum. Matanya begitu cerah. Untuk kedua kalinya, aku terpesona. Siapa dia? Namanya belum terdengar di gendang telinga. Bertemu dengannya baru sekali ini saja.

Weta orang baru ya?” tanyanya kepadaku.

“Tidak frater. Dia orang asli sini hanya baru pulang kuliah dari Jogja,” sambar Eda yang mendahuluiku. Siapa yang ditanya, siapa yang jawab. Untung sahabat. Dasar!

“Oh, kuliah di Jogja ternyata. Pantas baru ketemu. Saya pikir orang baru, he..he..he,” candanya sambil tertawa kecil yang kubalas dengan senyum tipis malu-malu. Tapi tunggu dulu. Eda menyapanya dengan sebutan frater? Lelaki berjubah putih tadi ternayata seorang frater? Oh Tuhan, hampir saja aku mengiranya hanya salah satu dari petugas liturgi hari ini.

“Frater sudah kenalanan sama dia?” tanya Eda sambil mengeluarkan ponsel dari tas kecil miliknya.

“Oh iya. Kenalkan nama saya frater Ardy. Saya berasal dari Kupang. Sudah hampir satu tahun menjalani TOP di paroki St. Fransiskus. Senang bisa berkenalan dengan weta,” untuk kedua kalinya kami saling berjabatan tangan. Keringat dingin mulai lagi membasahi jidatku. Aku kok gugup. Ada apa dengan diriku. Tidak biasanya aku segugup ini.

“He..he..he..iya frater Andy, eh Ardy. Nama saya Fani frater,” saking gugupnya aku sampai salah menyebutkan namanya. Tapi tak apalah, cuma kepelesetan dikit.

Setelah perjumpaan itu, ia dan romo Dino menuju ke pastoran paroki, berjalan menyusuri lorong-lorong gereja sambil menggantungkan jubah putih miliknya di bahu bagian kiri. Ia terlihat begitu tampan dengan tinggi badan yang ideal. Oh Tuhan, tidak! Dia seorang frater. Bisa kualat nanti aku. Tapi tidak ada salahnya juga jika aku mengaguminya. Bukankah dengan begitu aku juga mengagumi Dia yang menciptakannya. Ah, sudahlah. Itu hanya sebercik hayal yang mungkin sebentar lagi akan melayang.

Baca juga :  Corona Bulan Juli

***

            Dua bulan terakhir sejak pertemuan kami, aku sering terlibat aktif dalam berbagai kegiatan OMK (Orang Muda Katolik) paroki. Berbekal pengalamanku dulu sebagai mantan ketua OMK, setidaknya ada banyak hal yang bisa aku lakukan. Aku semakin sering bertemunya seiring dengan urusan OMK yang cukup padat. Kebetulan ia adalah salah satu pembina yang sering mendampingi berbagai kegiatan OMK. Tidak jarang kami saling bertegur sapa satu sama lain dan terlibat dalam pekerjaan yang sama.

Jujur, itu semua membuatku semakin ingin mengenalinya. Ia sosok yang cerdas, pandai memainkan alat musik dan bersuara merdu. Aku tidak pernah bosan mendengarkannya seakan-akan aku terhipnotis oleh kharisma sang frater. Ia sering mendapati mataku yang bengong menatapnya. Malu rasanya tapi justru semakin sering aku melakukannya. Aku tahu jika banyak teman-teman OMK ku yang juga mengaguminya. Tapi entah kenapa yang aku rasakan berbeda. Setiap kali dekat dengannya aku selalu gugup. Tapi ingin rasanya berlama-lama. Mungkinkah aku sedang nyaman bersamanya? Jika memang betul, aku sedang berada dengan orang yang salah. Dia yang mungkin tidak akan bisa dicinta secara lebih istimewa.

            “Teman-teman OMK semuanya selamat sore,” suara Sil ketua OMK paroki St. Fransiskus memecah kebisingan. Satu per satu mata tertuju padanya, “teman-teman, karena masa Top dari frater Ardy akan berakhir dalam minggu ini, maka kita akan mengadakan acara perpisahan bersama frater Ardy yang akan dilaksanakan di aula paroki bersama romo Dino. Acara ini akan dilangsungakan pada hari Sabtu malam,” lanjut kata Sil ketua OMK yang berparas ala K-pop korea.

            “Ok. Siap pak ketua,” jawab salah satu anggota OMK yang diiringi desak tawa, kecuali aku. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Berkali-kali aku mencoba untuk ikut mengalir dalam canda, tapi tetap saja aku merasa seperti akan ada kehilangan seseorang. Pikiran serbah salah dan tiba-tiba gelisah, jantung mulai berdebar-debar badan pun ikut meriang. Aku seperti tersiksa tanpa ada alasan hingga tiba-tiba ingat dirinya, frater Ardy.

Baca juga :  Semut, Pergilah

            “Fani, kau baik-baik saja kan?” tanya Eda curiga.

“Saya pamit pulang awal ya. Tiba-tiba kurang enak badan,” sanggaku mencari alasan. Jangan sampai mereka tahu apa yang sedang aku alami. Mataku berkaca-kaca. Bagaimana mungkin aku mengasihi dia yang sudah pasti akan pergi. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Kali ini aku benar-benar bodoh. Sangat bodoh! Tapi bukannya cinta datang tanpa ada yang memaksa? Oh Tuhan, aku ini kenapa.

Hari Sabtu sesuai rencana telah tiba. Berat hati rasa ingin melangkah. Mataku masih lebam semalaman menatap duka. Ingin rasanya untuk tidak pergi daripada menderita menanggung rasa yang berujung kecewa. Tetapi aku tidak punya alasan untuk tidak melangkah. Di mana etikat baik jika tiba-tiba saja aku tiada. Aku hanyalah sebatas cinta yang tidak mungkin dimilikinya. Bagaimanapun juga, aku harus menemui dia mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Semua orang yang hadir tengelam dalam palung sukacita. Mereka saling berbagi tawa dan kisah selama berada bersama frater Ardy. Sedangkan aku harus berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa, mencoba untuk tetap melempar senyum walau seadanya.

Kupandangi dia yang kali ini memakai jubah, terlihat begitu tampan dan semakin berkharisma. Oh Tuhan, dia memang pantas menjadi milik-Mu seorang. Aku tidak mungkin melangkahi-Mu. Itu hanya akan menambah jalur dosa. Tapi ijinkanlah aku menyampaikan rasa walau mungkin tidak akan dimengertinya. Aku hanya ingin menitipkan sebuah rasa yang bernama cinta.

“Frater, aku momang ite (aku mencintaimu),” bisikku saat mendekatinya. Wajahnya sejenak berubah. Lalu kembali tersenyum, senyuman yang paling aku tunggu-tunggu.

Tiba teing weta (terimah kasih saudariku),” jawab frater Ardy sambil menatapku dengan penuh senyum. Senyuman terindah yang pernah aku lihat. Ia menyapaku sebagai weta. Ia mencintaiku sebagai sesama saudara ciptaan Yang Kuasa. Tidak lebih. Mungkin itulah bentuk cintanya, cinta untuk seluruh dunia.


[1] Sebutan saudari dalam  bahasa Manggarai

[2] Sebutan saudara dalam  bahasa Manggarai

*Tom Aquinas, putera kelahiran Manggrai Timur, Flores. Pencinta Kopi lokal dan penikmat filsafat Stoa. Penulis sedang belajar di Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.