AKU DAN DIA (PEREMPUAN) ADALAH SAMA

Oleh Fr. Epi Aliuk, CMF

AKU DAN DIA (PEREMPUAN) ADALAH SAMA
Picture By ClaretPath.com

ClaretPath.comAku dan Dia (Perempuan) Adalah Sama | Budaya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Hak seorang perempuan seolah dilucuti oleh sistem kebudayaan maskulinitas yang ketat.

Konstruksi dominasi dan subordinasi Perempuan

Perbedaan gender dibangun atas dasar konstruksi dalam masyarakat yang begitu tertanam kuat. Sistem dalam masyarakat yang begitu androsentris mengakibatkan lahirnya paradigma buruk bagi para perempuan. Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan (androsentris) dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya.

Perempuan dalam budaya Indonesia

Dalam kebudayaan di Indonesia peran laki-laki selalu dijunjung tinggi. Misalnya dalam sebuah pertemuan peradatan lokal, laki-laki selalu menjadi yang terdepan dan menjadi pemimpin jalannya acara, sedangkan perempuan bekerja di belakang atau di dapur menyiapkan segala sesuatu. Perbedaan fungsi dan peran inilah yang membuat pergeseran kesetaraan perempuan dan laki-laki sangat begitu kentara. Budaya patriarki seperti yang tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sekaligus menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi, dan  kekerasan terhadap perempuan.

Mungkinkah suatu kesetaraan gender

Mewujudkan kesetaraan gender bukan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh suatu kelompok atau suatu bangsa, meskipun budaya Patriarki sudah berlangsung lama dan sudah tertanam kuat dalam budaya menjadi tugas yang sangat sulit. Mewujudkan kesetaraan gender merupakan agenda jangka panjang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Karena merubah budaya yang diawali dari perubahan mental dalam memandang sesuatu, dan sangat membutuhkan waktu yang cukup lama.

Untuk membawa perubahan tersebut kaum perempuan melakukan gerakan feminis. Mereka bekerja untuk mewujudkan emansipasi perempuan. Ffeminisme masa kini meliputi perjuangan menentang subordinasi perempuan terhadap laki-laki di lingkungan rumah tangga, melawan pemerasan oleh keluarga, menentang status yang terus menerus rendah di tempat kerja, dalam masyarakat, dalam budaya, serta dalam agama di negerinya, dan menentang beban rangkap yang mereka derita dalam produksi dan reproduksi.[1]

Wajah laki-laki dan perempuan dalam kisah penciptaan

            Dalam kisah penciptaan kitab kejadian 1:1-2:4a begitu sangat menekankan aspek keharmonisan dan keteraturan. Semua diciptakkan berpasangan dan sangat harmonis. Penciptaan laki-laki dan perempuan sejak awal adlah sebuah keharmonisan tidak saling mendominasi. Dalam keharmonisan itu, laki-laki dan perempuan sederajat. Walaupun secara mendasar mereka itu berbeda, tetapi mereka memiliki nilai yang sama dihadapan Allah. Mereka mencerminkan wajah Allah. Perbedaan itu memiliki tujuan untuk saling melengkapi satu sama lain, sehingga mencapai keharmonisan yang penuh dalam diri laki-laki dan perempuan. Keterpenuhan yang menjadi satu. Laki-laki bahkan tidak akan disebut manusia sampai ia bersatu dengan perempuan.[2]

Baca juga :  Meretas Nostalgia: Sebuah Inspirasi Live-In

            Pentingnya kesatuan antara laki-laki dan perempuan adalah demi tercapai suatu keharmonisan dalam hidup. Manusia pada dasarnya adalah mahkluk biseksual dimana sebuah kombinasi antara prinsip maskulin dan feminin dalam proporsi yang berbeda. Seorang laki-laki yang tidak memiliki unsur feminin akan menjadi maklhuk yang abstrak. Sama halnya juga dengan perempuan yang tidak memiliki unsur maskulin dalam dirinya tidak akan menjadi pribadi yang sungguh-sungguh.

Indivu: perpaduan feminis dan maskulinitas

Maskulin secara fundamental memiliki unsur yang lebih ke personal atau berpusat pada diri manusia, sedangkan feminin memiliki unsur yang lebih bersifat komunal dan kosmis (menyangkut keseluruhan alam).[3]

            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesatuan atas kedua unsur tersebut yang membuat manusia menjadi utuh dan lengkap. Jika keduanya memiliki hasrat untuk saling mendominasi, maka kehidupan manusia akan mengalami dis-harmonisasi dalam hidup. Dari hal ini kita dapat melihat bahwa sejak awal laki-laki sebagai wujud maskulin dan perempuan sebagai wujud feminin sudah ada dalam rancangan pikiran Allah sebelum ia menciptakan laki-laki dan perempuan. Walaupun laki-laki dan perempuan itu berbeda, dilihat dari kedua unsur tersebut, tetapi pada hakikatnya memiliki kesejajaran untuk saling melengkapi dan sampai pada kepenuhan manusia yang utuh dihadapan Allah.

Pandangan Gereja mengenai kesetaraan gender

            Terlihat jelas bahwa Gereja sangat kental dengan budaya patriarki. Pandangan itu sangat jelas dalam inti iman (credo) yang menyatakan bahwa Allah itu adalah Bapa (laki-laki). Bahkan dalam penerapan liturgi Gereja sampai saat ini yang menjadi seorang imam dan pemimpin jemaat ialah seorang laki-laki. Dengan melihat kisah penciptaan di atas, Gereja perlu melihat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sederajat di mata Allah. Konstruksi budaya yang berusaha membangun perbedaan antara laki-laki dan perempuan perlu dikikis oleh Gereja. Manusia pada dasarnya memiliki kuasa untuk melakukan hal-hal baik. Sejak awal manusia sudah diberi kuasa untuk menjaga keharmonisan hidup kepada satu sama lain. Kuasa demikian dimaksudkan agar manusia sendiri mampu mengembangkan martabatnya. Jadi dalam kodrat manusia terdapat kewajiban untuk semakin mengembangkan martabatnya, yakni sebagai manusia. Manusia diajak untuk menyadari dan kemudian membaharui wajah kemanusiaannya agar layak dihadapan Allah.

Baca juga :  Homo Deva: Pemenang dan Peraih Masa Depan

            Gereja perlu terbuka bahwa pelayanan bukan hanya datang dari laki-laki saja, melainkan juga keterlibatan dari pihak perempuan. Yesus dalam pelayanan-Nya selalu mengikutsertakan perempuan dalam mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah. Oleh karena itu, relasi kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan setidaknya akan mempengaruhi struktur dan relasi itu akan dibangun dalam Gereja. Dengan mengakui kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, idealnya kesempatan untuk turut ambil bagian/berpartisipasi dalam setiap bidang pelayanan terbuka luas bagi setiap orang tanpa terkecuali perempuan.[4]

Gender di dalam Gaudium et Spes

Dalam dokumen Gereja Gaudium Et Spes art. 29, “Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal-mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan yang sama pula. Maka, harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang.”[5] kita tidak boleh melihat dari perspektif laki-laki saja, tetapi juga melihat kenyataan realitas dari pihak perempuan juga. Karena keduanya memiliki dua unsur yang saling melengkapi.

            Konsili Vatikan II menyatakan bahwa berdasarkan hak-hak asasi setiap orang, berbagai macam diskriminasi entah sosial atau kultural, entah berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa, atau agama harus dihapuskan, sebab hal itu bertentangan dengan kehendak Allah sendiri. Oleh karenanya, kaum perempuan harus dimungkinkan untuk memilih suami sendiri, memilih jalan hidupnya sendiri, serta mendapatkan pendidikan dan kebudayaan seperti yang diperoleh kaum laki-laki (GS, art. 29). Konsili Vatikan II juga menegaskan bahwa bila kaum perempuan belum mendapatkan kesetaraan dan keadilan baik di depan hukum, maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari dengan laki-laki, mereka berhak menuntutnya (GS, 9).[6]

Nilai sebuah kesetaraan

            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, peran gender merupakan sebuah karakteristik yang bisa saling dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan dan karakteristik tersebut juga dapat dimiliki oleh keduanya. Seorang teolog Karl Barth mengatakan, manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan merupakan partner hidup yang sederajat dan hendaknya saling mengasihi dan menghargai tidak hanya di dalam keluarga, melainkan juga di lingkungan masyarakat. Demikianlah, manusia menurut kehendak dan rencana Allah, membedakan jenis kelamin manusia namun tidak membuat perbedaan peran antara keduanya, tetapi untuk saling melengkapi. Oleh karena itu, kesetaraan gender perlu untuk dibangun dalam masyarakat agar dapat dikenal luas oleh semua kalangan, sehingga laki-laki dan perempuan dapat lebih fleksibel untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada di dalam dirinya, tanpa ada rasa takut oleh bayang-bayang perbedaan gender yang diciptakan oleh budaya masyarakat.

Baca juga :  Menilik Pewartaan Gereja: Sebelum, Selama dan Post-Pandemi Covid-19

Perilaku Yesus sendiri?

             Dalam kisah perjanjian baru, Yesus dengan tegas mengatakan kepada mereka “bagi barang siapa yang merasa tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini.” (Yoh. 8:7) Perkataan Yesus ini menunjukkan bahwa, Yesus sangat menentang tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi tersebut. Hal ini dilakukan Yesus karena, Yesus sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender. Yesus paham bahwa Allah saja tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, perlakuan yang tidak adil dan diskriminasi tersebut, hanyalah perbuatan yang dibuat oleh manusia; dibangun atas hasil dari konstruksi manusia belaka bukan datang dari Allah.[7 | Aku dan Dia (Perempuan) Adalah Sama |

Daftar Pustaka

Dokumen Konsili Vatikan II,

Gaudium Et Spes, art: 29.

Iswanti, dan L. Madya Utama, Ignatius (eds),

Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon Katolik), Open Society Institute, Jakarta, 2009.

Syamsiah, Nur,

Wacana Kesetaraan Gender, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN AlauddinMakassar, Jurnal: Sipakalebbi, Volume 1 Nomor 2 Desember 2014.

Purnomo, Albertus,

Dari Hawa sampai Miryam, Kanisius, Yogyakarta, 2019.

Sibarani, Apriani Magdalena,

Ekklesiologi Gereja Dalam Relasi Kesetaraan dan Keadilan Gender, Universitas Methodist Indonesia Medan, Majalah Ilmiah Methoda: Volume 11, Nomor 1, Januari-April 2021: 25-34.

Zega, Yunardi Kristian

Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Kristen, Universitas Kristen Indonesia Didaché: Journal of Christian Education Vol. 2, No. 2 (2021): 160–174.


[1] Nur Syamsiah, Wacana Kesetaraan Gender, Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN AlauddinMakassar, Jurnal: Sipakalebbi, Volume 1 Nomor 2 Desember 2014, 279.

[2] Albertus Purnomo OFM, Dari Hawa sampai Miryam, Kanisius, Yogyakarta, 2019, 20.

[3] Albertus Purnomo OFM, 20.

[4] Apriani Magdalena Sibarani, Ekklesiologi Gereja Dalam Relasi Kesetaraan dan Keadilan Gender, Universitas Methodist Indonesia Medan, Majalah Ilmiah Methoda: Volume 11, Nomor 1, Januari-April 2021: 25-34, 33.

[5] Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium Et Spes, art: 29, 555.

[6] Iswanti, M.Hum dan Dr. Ignatius L. Madya Utama, S.J (eds), Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon Katolik), Open Society Institute, Jakarta, 2009, 49.

[7]Yunardi Kristian Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Kristen, Universitas Kristen Indonesia Didaché: Journal of Christian Education Vol. 2, No. 2 (2021): 160–174, 167.