ClaretPath.com – Homo Deva: Pemenang dan Peraih Masa Depan
Setiap manusia mempunyai usaha dalam mempertahankan hidupnya. Di tengah perubahan yang masif seperti hari ini, manusia dituntut lebih untuk mencari dan mengusahakan hidupnya. Aristoles (384-322 SM), seorang filsuf Yunani Kuno menyatakan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah kebahagian (eudaimonia, happiness/well-being). Untuk mencapai pada titik ini tidaklah mudah. Kebahagiaan ini bisa dirasakan manusia lewat impian yang dicapainya. Kebahagiaan tidak hanya tentang masa depan, tetapi juga hari ini yang merupakan acuan untuk mencapai mimpi yang kita miliki.
Artikel sederhana ini merupakan hasil pembacaan atas karya Mary Belknap dalam bukunya berjudul “Homo Deva” (2019). Buku ini menerangkan satu tahap dari evolusi umat manusia untuk memenangkan masa depan-meraih masa depan. Dalam karyanya ini, Mary memosisikan manusia sebagai pusat jantung bumi.
Homo Deva berbeda dengan Homo Deus, karya Yuval Noah, seorang professor Israel. Homo Deus menampilkan manusia sebagai individu yang kelihatan jahat. Dalam konteks ini manusia sebagai Tuhan sendiri. Dengan posisi semacam ini manusia mengejar imortalitas keabadian, menjadi pusat kontrol alam semesta, sekaligus pusat kehendak dan pusat sejarah alam semesta. Homo Deus menjadi makhluk terhebat, mampu memprediksi, mengontrol dan mengatasi semua yang ada di sekitarnya. Homo Deus mengagungkan teknologi sebagai sarana untuk mengendalikan segala sesuatu yang ada pada alam semesta. Homo Deus melupakan Sang Pencipta dan meletakan manusia sebagai Tuhan atas semua yang ada dengan mengendalikan segala yang ada tanpa kecuali.
Berbeda dengan Homo Deus, Mary Belknap dalam bukunya Homo Deva menempatkan manusia yang lebih bermoral, menjadi penjaga bumi memiliki sifat Ilahiah. Homo Deva memosisikan manusia dengan kapabilitas luar biasa, komitmen tinggi, kreatif sebagai inovator dan kepedulian terhadap spesies lain.
Ia kemudian menawarkan tigas fase bagaimana manusia mencapai masa depannya. Pertama, fase I mengkonstruksikan dan memosisikan setiap orang sebagai figure-figure yang imajinatif dan kreatif berbudaya. Selain itu, manusia mampu mengintegrasikan pikiran dan perasaannya. Hal ini kemudian menggriring manusia bukan standing pada opini, melainkan membawa kecerdasan dan hasrat kita ke dalam sintesis kuat yang memungkinkan kita bergerak keluar dan maju meraih mimpi. Tahapan ini menampilkan brain game manusia yang mencintai kekayaan kultur di dalam dunia. Realitas dunia memicu brain game untuk mnedekati realitas dan menjadikan instrument untuk menatap dan meraih masa depan.
Kedua, fase II. Mary Belknap memosisikan manusiai manusia sebagai figure yang inovator regional. Fase ini adalah fase Homo Deva Madya atau fase pertengahan-perantara. Manusia dalam kategori ini sangat tekun bekerja dan tekun dengan pelbagai cara dengan semua komplesitas bidang yang digeluti. Fokus manusia pada fase ini adalah bukan diri sendiri dan seluruh hidupnya, tetapi orang lain dan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemberian diri setiap manusia lebih bergerak keluar dan menghadirkan kepedulian terhadap sesama sebagai animale sociale dari pada dirinya sendiri. Manusia dalam fase ini mempunyai komitmen dan keutamaan yang kuat untuk membicarakan, menghadirkan dan mengajarkan orang lain untuk mengaktualisasi dalam hidupnya tentang kebenaran hati. Lingkaran hidup manusia dibaluti dengan api kasih sayang.
Ketiga, fase III. Mary Belknap menyebut manusia sebagai “benih kehidupan” (life seed). Manusia dalam kategori ini mempunyai energi yang luar biasa. Bahkan dalam kategori ini manusia dikatakan Mary Belknap sebagai orang-orang yang nmendapat “sentuhan rahmat” atau kelompok ini menghadirkan Tuhan dalam hidupnya. Bukan sebagai Tuhan itu sendiri seperti dalam konsep Homo Deus, tetapi mereka mendapat sentuhan rahmat. Dalam Fase ini, manusia mempunyai kecepatan yang ditandai dengan akselerasi signifikan dalam hidup. Homo Deva adalah manusia yang penuh dnegan kreativitas, daya cipta yang sangat tinggi, peka, intuitif, tidak mendiskriminasi spesies lain, tetapi sebaliknya, merangkul seluruh spesies dan memiliki komitmen akan pemeliharaan dan penjagaan atas masa depan bersama.
Penulis Buku “Dialektika Lepas” dan Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Filsafat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta