claretpath.com – Bisakah Sejam Untukku
Semalam komunitas Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta (WSCY) mengadakan aksi Earth Hour. Bentuknya cukup sederhana; semua daya listrik dipadamkan. Durasinya hanya satu jam (20:30-21:30 WIB). Karena rumah menjadi gelap, seisi rumah pun keluar lalu duduk melingkar di tanah lapang kecil. Letaknya beberapa meter dari rumah
Tadinya semua membawa lilin untuk melawan kegelapan. Ehhh, tau-taunya semesta telah menyediakan cahaya bulan. Tapi yah, sudahlah. Duduklah semua di rerumputan itu. Ada sebagian teman yang terdiam sambil memandangi kulit bumi di sekirannya, bahkan hingga yang mengaruk-garuknya. Sementara yang lainya beradu tatap dengan dewi bulan yang sedang berias di atas sana.
Bumi di era urban
Hidup di era urban ini, yang mana mobilitas sangat tinggi, semua orang sibuk, lembur, kecapian, dan bersenda gura di kaffe-kaffe dan angkringan, saya yakin pemandangan semalam sangat langkah. Apalagi langit kota Jogja yang semakin cokelat. Banyak orang tidak lagi tertarik menonton bintang bercubitan dan dandanan dewi bulan. Padahal, konon purnama adalah momen yang dinanti-natikan para bidadari yang lupa jalan pulang ke kahyangan. Para bangsawan di keraton-keraton pun ikut-ikutan.
Di bulan ada bambu
Seingat saya, dulu saat wakktunya bulan purnama, nenek (Tetun: tata) kami selalu membentangkan tikar di halam rumah(Tetun: biti) dan menyediakan beberapa hidangan khas di kampung kami. Di atas tikar itu, semua boleh makan, dan tidur, bersandar, atau duduk. Orang tua itu kemudian menunjuk-nunjuk bulan, sambil menjelaskan arsiran pada bulan; yang biasanya agak gelap dan selalu sama. Katanya ada arsiran yang bentuknya seperti tanaman bambu dan ada orang yang sedang menumbuk padi di lesung. Terlepas dari kebenaranya, hal itu selalu ia ulangi di kala kami berkumpul untuk memandangi bulan purnama. Tidak jarang saya akan lebih dahulu tertidur, saking bosan mendengar omongan yang sama terus itu.
Lalu apa kaitannya dengan earth hour malam tadi? Banyak orang pasti tergesah-gesah menilai kalau earth hour adalah kesempatan untuk memberi jeda bagi bumi. Ia memang benar. Tetapi bukan hanya itu. Memberi waktu satu jam saja tentu tidak cukup. Rasa-rasanya Itu tidak adil. Setiap detik, jutaan ton mineral yang dikeruk dari perut bumi. Itupun belum terhitung eksploitasi di luar perut bumi, seperti polusi udara, polusi bunyi, dan polusi cahaya.[1] Masa hanya dibalas dengan satu jam mematikan daya? Itupun masih ada yang belum melakukan.
Bumi dan tubuh kita
Karena itu, tujuan terdalam dari earth hour adalah menumbuhkan cita rasa sebagai makhluk bumi. Bahwa kita berasal dari bumi dan bagian dari bumi. Daging dan tulang kita adalah tanah; darah dan keringat adalah air. Dengan demikian, tidak merawat bumi sama artinya tidak merawat sebagian dari tubuh kita.[2] Lagi pula semesta ini bagaikan sebuah sistem yang seimbang, bagaikan mesin. Kalau salah satu elemenya rusak, yang lain akan terganggu.[3] Kalau bumi tandus – cuaca menjadi panas – permintaan air conditioner (ac) meningkat, pelepasan gas feron (Chlorofluorocarbon (CFC)) ke atmosfer meningkat yang kemudian merusak lapisan pelindung bumi (ozon).[4] Efeknya suhu bumi meningkat – es di kutub mencair – banjir di mana-mana. Kemudian datanglah anak-anak persoalan yang tiada habisnya.
Menipisnya cita rasa makhluk bumi
Cita rasa sebagai makhluk bumi hanya akan mungkin kalau ada kedekatan dengan bumi: tanah, air, hewan, tumbuhan, dan hawa alam. Dan itulah yang masih kurang. Kaum laki-laki tidak lagi berburu, maka tidak peka lagi dengan perubahan musim dan jumlah hewan buruan yang berkurang. Tidak lagi bercocok tanam, maka tidak peka dengan pergeseran musim, hama, dan survive yang sangat arkaik. Perempuan tidak lagi mencari kayu kering di hutan, maka tidak tahu lagi soal hutan yang gundul. Tidak lagi ada yang menimba air di sumur, maka tidak ada lagi kepekaan tentang kekeringan dan air yang tercemar limbah. Tidak ada lagi pasangan yang memburu purnama, karena itu tidak ada yang sadar kalau awan telah digantikan asap pabrik. Dan masih banyak lagi kekeliruan dan ke-tidak-sadaran yang bisa ditambahkan sendiri.
Orang-orang dulu sangat merawat bumi karena merasakan langsung ketergantungan hidup dari alam. Hewan buruan berkurang, nyawa mereka ikut terancam. Panenan gagal, otomatis dilanda kelaparan. Sementara hari ini ekspor-impor mampu mengatasi kelaparan, meski tidak menyelesaikan akar persoalan, yaitu krisis lingkungan.[5] Belakangan ini, lahan pertanian tidak lagi disentuh tangan manusia. Semuanya serba mesin. Alhasil kontak dengan alam semakin kecil. Sentuhan langsung denga alam semakin langkah. Maka, sangat logis kalau, orang-orang modern tidak lagi peka dengan alam. Harga yang harus dibayar, yaitu cita rasa sebagai makhluk bumi semakin menipis.
Merleau-Ponty dan sensasi tubuh
Orang seperti Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), seorang fenomenolog Prancis sangat jelas menerangkan kalau persepsi kita tentang dunia terjadi melalui perantaraan tubuh. Tubuh adalah mediasi realitas. Di dalam The Phenomenology of Perception (1962)[6] Ponty menjelaskan bahwa tubuh bukan objek pasif, melainkan subjek. Tubuh menangkap segala realitas dari luar dirinya, seperti panas, dingin, hitam, putih, sakit, nikmat, dan sebagainya. Dengan demikian tidak ada pengetahuan yang terjadi tanpa melalui tubuh.
Bisakah Sejam Untukku
Pengetahuan yang benar dan cita rasa akan bumi dan alam ini pun demikian. Selalu terjadi melalui mediasi atau perantaraan tubuh. Kalau tubuh tidak pernah dekat dengan alam besar kemungkinan tidak peka dengan alam. Apa konkretnya? Umumnya orang yang pernag menghirup udara segarlah yang hidungnya sensitif dan terganggu kalau dikelilingi bau amis. Kalau kamu orang yang hanya biasa-biasa saja, ada yang sedang tidak beres. Ohh iya, omong-omong, sudahkah kamu mematikan daya untuk bumi?
#_Bisakah Sejam Untukku
Bisakah Sejam Untukku
[1] Basis, edisi Maret 2024
[2] Laudato Deum, 2023, 3
[3] Laudato Si, 2015, 35
[4] Kompas.com, “Mengapa Penggunaan AC Dapat Meningkatkan Pemanasan di Muka Bumi?” diakses pada 24/03/2024, 21:40, https://www.kompas.com/skola/read/2022/03/05/105302869/mengapa-penggunaan-ac-dapat-meningkatkan-pemanasan-di-muka-bumi
[5] Paus Fransiskus, Laudato Si, 2015, 51
[6] Maurice Marleau-Ponty, The Phenomenology of Perception, Routledge & Kegan Paul di London dan Humanities Press, New York, 1962
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus