Penaclaret.com – Aku menulis sepucuk surat untukmu. Untuk cinta yang mati di depan diam.!
Lupakah kau saat kita duduk dengan rasa membuncah, berpura-pura tak peduli sampai gerak tubuh kita menyingkap segalanya. Lupakah kau pada bising suara lonceng, ketika pada sayupnya kita mendengar masing-masing hati berbisik tentang cinta yang samar. Kita terjebak dalam kisah yang hampir tragis; saling mengharapkan tapi tak punya keberanian. Dan kita lebih suka berdusta demi menakar siapa yang paling kuat. Haruskah kuajak Cupid, si dewa asmara itu, agar ia membuat kau tak bisa berpaling dariku? Atau haruskah aku bertindak sekejam Hades yang menakar cinta dalam satu khilah sampai layu bunga di lembah Nysa? Tidak. Aku tak akan memperlakukan cinta sekejam itu. Telah kupersiapkan diri sebaik mungkin untuk menerima kejamnya kenyataan dari rasa yang patah. Itulah pilihan terbodohku. Mungkin saja.
Aku tak lupa pada nyanyian malaekat yang bersaing dengan tawa lengkingmu. Juga pendar yang terpancar dari kedua bola mata legammu. Ah, pesona memang berbahaya. Kau tahu cerita tentang Selena yang menghasrati si gembala sampai ia tidur dalam hening yang bisu pada lembah Lakmus yang ternganga? Cinta itu aneh. Ia bisa seabdurd itu. Dan kau seharusnya tahu. Tapi kau malah diam. Mungkin diam adalah caramu memberi jarak pada rasa yang tak menentu. Tapi tahukah kau diammu pun telah menyingkirkanku?
Lupakah kau saat kita bercerita lewat pandang dan aku menjadi penyair seketika mengalahkan Homeros atau Ommar Khayyam pun Gibran. Di hadapan keindahan puisi adalah bahasa yang paling bisa mengerti hati. Dan aku. Tak pernah kubiarkan sepotong dusta pun mampir di tepi bibirku. Mengapa lelaki selalu selemah itu? Cinta telah menyanderaku. Tapi aku akan tetap di sini. Menemani rasa yang sepi di depan palingmu.
Aku masih kalah karena acuhmu. Semesta mungkin jahat karena menempatkanmu pada situasi ini. Tapi salahkah kau jujur dengan hatimu sendiri? Berdosakah kau untuk jatuh cinta? Tidak. Tidak. Lupakanlah kata-kataku. Kau sepenuhnya bebas untuk menjadi siapa yang kau mau. Tak usah kau pedulikan suara dari orang yang tersakiti.
Mungkin perjumpaan ini adalah sebuah pertanda. Atau mungkin penghabisan. Dan waktu menjadi musuh yang kukutuki karena ia membawaku padamu lalu mencampakkan. Aku akan pergi jika itu maumu. Pergi sejauh mungkin. Melupakan pertemuan yang melelahkan ini, karena aku harus bergulat seorang diri. Dengan rasa sendiri. Bukankah itu menyebalkan? Pernahkah kau merasakannya? Abaikanlah pertanyaanku. Atau simpan saja jawabanmu. Toh ia tak lagi mengubah apapun selama kita bukan apa-apa.
Kini aku akan belajar melupakanmu meski itu berarti membiarkan hati untuk merindukanmu sekali lagi. Dan kau masih saja diam. Ya diam. Pilihan terbaik untuk mencintai tanpa takut terluka karena kehilangan. Kudoakan agar kau baik-baik saja dengan diammu. Kelak, akan kukisahkan lagi sebuah tragedi dari cinta yang tak berakhir bahagia. Kubiarkan semesta menjadi saksi dari cinta yang tak bisa dimiliki, apalagi disatukan. Hingga aku lupa pada tangan yang mampu kuraih.
Masih kugenggam bayangmu dalam pendar terakhir dari senja yang mulai berpaling. Malam ini aku ingin tidur dalam kesendirian. Kumasuki keheningan sambil memeluk sepi yang telah menjadi daging dan diam di antara harapan yang tinggal puing. Kuucap sebuah doa agar aku terhindar dari mimpi-mimpi yang rumit. Bila pagi datang akan kuungkapkan rahasia dari merindu. Ah gadisku, kukatakan padamu di depan embun yang mengering ini, aku pun ingin diam bersama kehilangan.
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.