Opini  

Warisan Leluhur “Hel Keta” Dilarang oleh Uskup, Apa Saja Alasanya?

Warisan Leluhur “Hel Keta” Dilarang oleh Uskup, Apa Saja Alasanya?
Picture By Kompasiana.com

ClaretPath.com – Warisan Leluhur “Hel Keta” Dilarang oleh Uskup, Apa Saja Alasanya?

Pada tanggal 07 Februari 2022, saya menerima satu pesan dari seorang teman berupa screenshot surat keputusan Bapa Uskup Atambua, Mgr. Dominukus Saku yang melarang penyelenggaran upacara ada “hel keta”. Dalam surat itu dikatakan bahwa setelah mencermati fenomena yang berkembang akhir-akhir ini terkait acara “hel keta” menjelang upacara pernikahan dalam budaya Dawan yang berdampak juga pada upacara perkawinan dengan orang dan budaya lain di wilayah keuskupan Atambua, maka Bapa Uskup melarang penyelengaraan upacara “hel keta”.

Ada empat alasan yang disampaikan oleh Bapa Uskup dalam suratnya. Pertama, upacara “hel keta” bertentangan dengan iman Katolik (praktek superstisi dan mythis-magis). Kedua, acara adat ini tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural. Ketiga, “hel ket” memecah belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia. Keempat, acara adat ini menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.

Baca juga :  Interkulturasi dan Harmoni: Cara Bersikap di Hadapan Keragaman Budaya

Selain itu, Bapa Uskup dalam suratnya juga memberikan peringatan kepada pasangan nikah dan keluarga yang melaksanakan acara itu maka pemberkatan nikah akan dibatalkan. Bapa Uskup juga meminta para pastor paroki, administrator, pembantu, dan seluruh agen pastoral untuk memperhatikan hal ini dan mengumumkannya kepada seluruh umat untuk dilaksanakan. Tembusan surat ini juga ditujukan kepada vikjen Keuskupan Atambua, bupati Belu, Malaka, dan TTU, dan juga para deken se-Keuskupan Antambua.

Larangan ini kemudian mendatangkan tanggapan beragam. Ada yang menolak surat edaran ini tetapi ada juga yang menerimanya.  Apakah benar bahwa upacara “hel keta” bertentangan dengan iman katolik (praktek superstisi dan mythis-magis)? Apakah benar bahwa “hel keta” tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural? Apakah “hel keta” memecah belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia? Apakah acara adat ini menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat?

Baca juga :  Mitos Anggur

Acara “hel keta” sendiri merupakan warisan adat turun temurun dari nenek moyang atoin meto. Acara ini merupakan tahap yang harus dilalui oleh pasangan yang hendak menikah sebelum acara malam adat untuk penyerahan mahar (belis). Acara ini mejadi simbol pertemuan antara mempelai pria dan wanita yang akan melakukan pernikahan, bahwa mereka sudah dipertemukan oleh Tuhan sehingga mereka tidak bisa dipisahkan lagi oleh apapun. Acara ini juga dilihat sebagai tahap perkenalan, di mana mempelai pria memperkenalkan mempelai wanita kepada keluarganya, begitupun sebaliknya. Umumnya setelah acara adat ini, kedua mempelai akan langsung dinikahkan secara agama (pemberkatan nikah). Setelah melewati semua acara ini sang mempelai pria boleh membawa sang istri ke rumahnya. Fungsi dari ritual adat ini adalah pada dasarnya adalah merekonsiliasi pertikaian yang terjadi di masa lalu sehingga tidak menjadi halangan bagi kedua pasangan yang akan menikah.

Baca juga :  Cinta Manusia di Bumi

Alasan Bapa Uskup melarang acara “hel keta” sebenarnya sudah sangat jelas dalam awal suratnya, bahwa ada fenomena-fenomena yang berkembang yang membawa dampak negatif bagi kehidupan bersama. Dapat dikatakan bahwa Bapa Uskup tidak ingin menghilangkan warisan leluhur ini melainkan ingin mengembalikan warisan leluhur ini pada apa yang menjadi esensi dari upacara hel keta. Hel keta harus benar-benar menjadi upacara rekonsiliasi, bukan membawa masalah baru bagi kehidupan bersama.