Opini  

UU Perampasan Aset dan Pemberantasan Korupsi

UUD Perampasan Aset dan Pemberantasan Korupsi
Picture from Facebook.com

ClaretPath.comUUD Perampasan Aset dan Pemberantasan Korupsi

Oleh Fr. Firminus Deo, CMF

Baru-baru ini negara diributkan oleh fenomena kasus korupsi. Menteri Johnny G Plate menjadi terdakwa dugaan korupsi penyediaan Base Transceiver Stasion (BTS) dalam program Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020-2022 sebesar 8 triliun. Fenomena kasus korupsi menjadi suatu ironi karena kemiskinan menjadi persoalan yang sangat serius di Indonesia. Hal ini korupsi seakan menjadi persoalan yang biasa-biasa saja. Para pejabat selalu menggunakan jabatan untuk mengeruk uang rakyat. Mereka tidak lagi melihat apa yang menjadi kepentingan rakyat, tetapi mereka hanya memenuhi kepentingan mereka sendiri.

Korupsi sebagai salah satu masalah yang merusak tatanan sosial, ekonomi dan politik dalam suatu negara. Korupsi menjadi suatu wabah yang memutuskan harapan akan masa depan suatu bangsa. Korupsi tidak hanya merugikan uang negara, tetapi memutuskan harapan rakyat.

Sebagai negara hukum sudah layak dijadikan negara maju dan negara berkembang. Akan tetapi, salah satu indikator yang harus dibangun, yaitu tindak pidana korupsi. Tidakan pidana korupsi pada saat ini belum terlalu maksimal dalam menaganinya.

Baca juga :  Aku Shopping Maka Aku Ada

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih dianggap jauh dari apa yang diharapkan atau dicita-citakan. Buktinya masalah korupsi di Indonesia semakin banyak. Dalam beberapa tahun terakhir ada begitu banyak yang terjerat kasus korupsi. Oleh karena itu, membangun sistem hukum harus kuat. Harus dibangun dengan sistem yang jelas dan tegas dalam menangani tindakan pidana korupsi. Pertanyaannya bagaimana arah kebijakan hukum untuk menjawab persoalan yang ada?

Hukum tentang penyitaan negara terhadap harta milik koruptor bervariasi di berbagai negara, tetapi prinsip umumnya adalah untuk menghukum koruptor dan mengambil kembali harta yang diperoleh secara ilegal. Hal ini biasanya diatur dalam undang-undang anti-korupsi.

Penyitaan harta milik koruptor dapat mencakup berbagai aset, termasuk properti, uang tunai, kendaraan, atau aset lain yang diperoleh dengan cara yang melanggar hukum. Tujuannya adalah mengembalikan aset-aset tersebut ke kas negara atau menggunakannya untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan oleh korupsi.

Penerapan hukum ini sering kali melibatkan penyelidikan yang cermat dan proses hukum yang adil, termasuk pengadilan yang memutuskan apakah harta tersebut harus disita atau tidak. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk memerangi korupsi dan memastikan bahwa harta yang diperoleh secara tidak sah tidak diizinkan untuk tetap dalam kepemilikan koruptor.

Baca juga :  Adakah yang Bukan Engkau? || Puisi

Di Indonesia, undang-undang yang mengatur penyitaan harta milik koruptor termasuk dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang berkaitan dengan penyitaan harta milik koruptor terdapat dalam undang-undang ini.

Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur lebih lanjut tentang tindakan penyitaan harta koruptor.

Namun, perubahan dan amendemen dalam hukum dapat terjadi, jadi selalu penting untuk memastikan bahwa Anda merujuk pada undang-undang terbaru dan peraturan yang berlaku untuk informasi yang paling mutakhir.

Kelebihan:

Pemulihan aset yang diperoleh secara ilegal: Penyitaan harta koruptor membantu dalam pemulihan aset yang diperoleh secara ilegal atau dengan tindakan korupsi, sehingga mengurangi dampak buruk korupsi terhadap perekonomian dan masyarakat.

Baca juga :  Alegori Tanur Pater Claret dalam Persimpangan Gaya Hidup Generasi “TikTok”

Efek jera: Tindakan penyitaan harta dapat menjadi contoh dan efek jera bagi potensial pelaku korupsi lainnya, mengurangi insentif untuk melakukan korupsi. Sumber pendanaan untuk proyek publik: Aset yang disita dapat digunakan oleh negara untuk mendukung proyek publik dan layanan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kekurangan:

Proses hukum yang panjang: Proses penyitaan harta bisa menjadi panjang dan kompleks, memerlukan waktu dan sumber daya yang signifikan.

Potensi penyalahgunaan politik: Ada risiko penyalahgunaan tindakan penyitaan harta untuk tujuan politik atau pribadi, yang dapat merusak prinsip hukum dan keadilan.

Tantangan dalam pembuktian: Kadang-kadang sulit untuk membuktikan dengan pasti bahwa harta milik koruptor adalah hasil dari tindakan korupsi, yang dapat menghambat proses penyitaan.

Penyitaan harta koruptor adalah alat penting dalam upaya pemberantasan korupsi, tetapi juga memerlukan keseimbangan yang baik antara hak-hak individu dan upaya melawan korupsi.