Senin, 02 Mei 2022, Peringatan Wajib St. Athanasius, Uskup dan Pujangga Gereja
Bacaan 1 : Kis. 6:8-15
Bacaan Injil : Yoh. 6: 22-29
Penaclaret.com – Siapa yang tidak takut mati? Seorang teman masa kecil sangat takut mengenakan jas yang dijahit dari kain adat (motif Timor). Karena di Timor, orang mati sering dibaluti kain adat. Karena itu, asumsi pertama teman itu ketika berhadapan dengan kain adat adalah kematian. Nomaden manusia purba, struggle for existence ala Darwin, lobby Ukraina-Rusia, dan Vaksin covid-19, dan editing genom manusia yang kemudian menciptakan manusia super merupakan jejak-jejak sejarah perjuangan manusia untuk meloloskan diri atau sekurang-kurang menunda kematian. Kematian menjadi misteri yang mengerikan. Apabila ada yang kurang setuju dengan postulat ini, coba katakan kepada pasanganmu dengan ekspresi yang sedikit serius, “kemungkinan saya akan meninggal esok.”
Albert Camus, seorang pemikir Prancis kontemporer mempertanyakan telos (tujuan) dan makna kehidupan manusia, apa artinya hidup, jika di ujung semuanya itu hanya kematian. Apa artinya perbuatan baik, usaha-kerja keras, bahkan harta berlimpah yang kita miliki selama kita bernafas, jika akhirnya semuanya itu takluk di hadapan kematian. Kepanikan Camus ini rupanya telah terdiagnosa dalam termin Heidegger, sein zum tode, ada untuk tidak ada. Atau dengan kata lain kita ada (hidup) untuk menunggu tidak ada (kematian) kita. Seolah hidup manusia saat ini hanya sebuah momen menunggu keberangkatan kereta waktu menuju kematian di halte (dunia saat ini).
Max Tegmark, Seorang pakar Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) meramalkan kemungkinan akan pengambilalihan semua pekerjaan manusia oleh mesin (Tegmark, 2017). Apakah perkembangan ini akhirnya membuat manusia lebih beradab atau justru menjadi mandul lantaran semua potensi manusia dikebiri secara perlahan dengan motif kemudahan juga kemalasan. Noah Harari kemudian menawarkan satu harapan, setelah sebagian kerja teknis manusia diambil alih oleh manusia, yang tersisa adalah pekerjaan non-teknis, seperti mencintai, menghargai, berbagi, dan sebagainya (Harari, 2020). Kemungkinan tawaran Noah Harari ini juga yang menjadi anjuran Albert Camus di hadapan fakta keberadaan manusia yang absurd. Manusia hendaknya memberontak terhadap keberadaannya yang “ada untuk tidak ada” (absurd) dengan mengkreasikan makna agar melampaui absurditas eksistensinya (Camus, 1956). Harari hendak melampaui yang teknis dan Camus melampaui yang absurd. Tawaran Harari dan Camus ini penulis gunakan untuk mengais makna bacaan Injil hari ini.
Secara garis besar bacaan Injil hari ini memuat kritikan Yesus atas orang-orang yang mencari Yesus atas motif rasa kenyang. Atau dalam terminologi Plato, epitumiah: orang-orang yang hanya berorientasi pada kepuasan badan-kenikmatan perut semata. Tipe-tipe manusia seperti ini dalam kacamata Camus belum melampaui realitas yang absurd, karena bagaimanapun juga kenikmatan perut akan bertekuk lutut di hadapan kematian- orang kenyang juga mati kok!
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal…”. Pesan Yesus ini kemudian penulis maknai sebagai pelampauan realitas fisik sebagaimana yang ditawarkan Harari dan Camus.
Hari ini di dalam Gereja kita memperingati Peringatan Wajib santo Athanasius, seorang doktor dan Uskup yang memberikan sumbangsih besar kepada doktrin-doktrin Gereja. Karena itu sejurus dengan tawaran-tawaran di atas, pesan yang kita boleh bawah pulang adalah hendaknya ajaran dan peringatan St. Athanasius ini bukan sekadar pengetahuan spekulatif tentang ajaran iman dan rutinitas yang sudah dibekukan selama ribuan tahun, melainkan pemaknaan iman yang lebih mendalam.
Selain peringatan St. Athanasius, dalam konteks Indonesia kita merayakan hari Lahir Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Hari lahir tokoh terkenal ini kemudian diabadikan sebagai hari Pendidikan Nasional yang juga tidak dapat dilepas pisahkan dari term dasarnya “Pendidikan”, topik yang terus mengalami bongkar-pasang di tanah air. Masih sejalan dengan pelampauan yang ditawarkan Yesus dan dua pemikir lainnya, hendaknya pendidikan kita tidak hanya berhenti pada hitam di atas putih: memberi nilai (angka) dan mendapat ijazah (formalitas). Semuanya itu hanya proyek luaran. Pendidikan hendaknya mengisi kepala dan hati. Di atas semuanya itu, “pendidikan adalah motor peradaban”- kata Nelson Mandela. Juga tidak lupa pula penulis menitipkan selamat merayakan hari raya kemenangan- Idul fitri bagi saudara/i umat Muslim sekalian, mohon maaf lahir dan batin.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus