Hari Sabtu sesudah Rabu Abu
Bacaan Pertama: Yesaya 58, 9b-14
Bacaan Injil: Lukas, 5:27-32
Penaclaret.com – Frasa itu saya kutib dari bacaan pertama hari ini. Lengkapnya, “Apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka …. kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari” (Yes 58,10). Rembang, kaṣ.ṣā·ho·rā·yim (כַּֽצָּהֳרָֽיִם׃) dalam kata asli Yesaya, berarti siang hari, saat sang surya persis di titik tengah ketika dipandang dari bumi. Namun siapa berani memandang matahari di atas kepala? Mungkin bisa namun tak lama, atau bisa namun selalu tidak persis, buram, bahkan keburaman itu membuat kebutaan sementara.
Yesaya menempatkannya dalam konteks kesalehan yang palsu dan yang sejati. Frasa yang saya kutib tentu saja masuk dalam daftar kesalehan sejati. Sifatnya rembang, tidak mudah dipandang kecuali bagi manusia-manusia pemberani yang ingin mengalami kebutaan sementara: memberi orang lapar apa yang kita sendiri hasrati dan memuaskan hati orang yang tertindas. Lalu apakah memang yang rembang itu sulit direngkuh?
Dalam sejarah etimologi termin rembang (Bahasa Indonesia), ada banyak versi kendati yang menarik, semua versi tersebut berada pada wilayah yang sama, yakni ujung timur Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Rembang.
Versi pertama dikisahkan bahwa kata “rembang” diambil dari ritual Ngrembang Sakawit, “memangkas tebu”, yang konon pada zaman dahulu dilakukan oleh warga Kabongan saat fajar menyingsing. Ritual pemangkasan tebu ini didahului oleh upacara suci, sembahyang dan semedi, yang dilakukan pada hari Rabu Legi, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337. Versi pertama ini menunjukkan bahwa “rembang” tidak hanya merujuk pada laku (praktek kesalehan) yang tekanannya pada usaha manusia, namun juga ngelmu (kebatinan) yang tekanannya pada karunia terberi berkat praktek kesalehan. Dalam Serat Wulangreh yang dibuat oleh Pakubuwono IV, terdapat ungkapan, Ngelmu iku kalakone kanthi laku, “pengetahuan terlaksana dalam perbuatan”. Ini tidak boleh dipahami secara dualistis, karena kata kanthi: “dengan”, mengandaikan ngelmu dan laku bertautan.
Dalam versi lainnya dikisahkan bahwa kata “rembang” diambil dari kerem kemambang. Konon, ada seorang empu (pembuat keris) yang percaya bahwa besi baja pada Jangkar Raksasa Dampo Awang memiliki kekuatan luar biasa. Si empu kemudian memberanikan diri mengambil sedikit dari besi yang ada di Jangkar tersebut. Setalah dipotong sedikit, tiba tiba datanglah badai besar dan hujan lebat disusul pasangnya laut Jawa yang menenggelamkan wilayah tersebut. Sebagian runtuhan ada yang kerem (tenggelam) dan ada yang kemambang (mengapung). Jadi rembang dalam versi ini adalah gabungan dari dua kata paradoks, tenggelam dan mengapung.
Dalam khazanah sastra Jawa, konsep rembang ini menunjukkan sesuatu yang serba mungkin. Kerem Kemambang itu kalau diuraikan lebih panjang akan menjadi Njabane arem, tapi Atine ngambang. Maksudnya adalah orang-orang Rembang itu kalau dilihat dari luarnya nampak penuh kedamaian, namun sebenarnya memendam perasaan yang mengambang, mereka nampaknya begitu iklas menerima kehidupan (nerimo ing pandum) tapi sebenarnya mereka dirundung kegelisahan yang tak ada hentinya.
Para sahabat pena Claret! Apapun pengertian rembang dalam sejarah etimologinya, saya lebih tertarik pada pengertian asalinya yang dipakai oleh Yesaya, rembang tengah hari yang sulit dipandang dengan persis. Yesus sendiri dalam khazanah teologi dilihat secara simbolik sebagai rembang, fajar yang menyingsing. Kita tahu bahwa pewahyuan yang telanjang dapat membutakan mata manusia, oleh karenannya rahim Marialah yang menyaringnya agar sesuai dengan pandangan manusia. Kendati demikian, sebagai rembang dalam keberadaan ontologis-Nya, Dia menampakan Allah sekaligus menyembunyikan-Nya. Singkatnya Dia tetap tidak dapat dilihat secara persis. Kaum Farisi saja salah menebaknya apalagi kita 2000 tahun setelahnya.
Jika kita sulit melihat secara persis rembang-Nya, bukankah lebih baik, kita melihat pada rembang lain yang Dia sendiri identifikasi sebagai bias rembangnya: orang kelaparan, yang tertindas, dan yang paling “berdosa” dalam struktur masyarakat. Mereka ada di sekitar kita. Hanya kadang kita melihat mereka hanya untuk menghibur diri bahwa betapapun beratnya hidup ini, setidaknya tidak seburuk mereka. Atau mungkin kita melihat mereka untuk menghilangkan ketakutan kita sendiri dan untuk mendapatkan sedikit wawasan tentang perjuangan batin yang telah menyebabkan banyak manusia menemukan di dalam diri mereka kekuatan untuk bertahan dari hal terburuk yang dapat ditimbulkan oleh kehidupan.
Satu tantangan terletak pada kenyataan bahwa rembang semacam itu dapat memicu kelelahan dalam pandangan kita. Kita melihat kengerian setiap malam di televisi, diselingi dengan acara memasak, audisi menyanyi dan TalkShow, olahraga dan komedi, dan menjadi sulit untuk beralih dari banalitas berbusa ke tragedi penderitaan dalam sekejap. Semuanya melayang ke dalam kekaburan moral dan emosional, di mana tidak ada yang benar-benar mengguncang kita keluar dari zona aman. Kita menjadi seperti tukang karet yang berdiri di sekitar melongo terpesona pada suatu kecelakaan. Hingga akhirnya rembang nurani kita menjadi redup karena pikiran dan hati yang membuat kita melihat, berpikir, merenung sama sekali tidak dibiarkan untuk ditantang.
Para sahabat pena Claret! Saat ini, kita telah memasuki masa Prapaskah. Kata bahasa Inggrisnya memiliki turunan lain yang sangat indah—berasal dari kata Anglo-Saxon (Inggris kuno) yang berarti “memperpanjang”: pada saat siang hari “diperpanjang”, saat musim semi mendekat. Sama seperti matahari yang memperpanjang hari-hari selama awal musim semi, demikian cahaya Allah. Dalam bahasa Inggris, memang, ada permainan dari kata “sun” dan “son” yang diucapkan secara identik. Sama seperti matahari yang terlihat melakukan pekerjaan memperpanjang hari-hari di musim semi, demikian pula Putera Allah, Yesus Kristus, yang melakukan pekerjaan memperpanjang dalam pertumbuhan rohani. Gambaran ini memberikan kesejukan bagi dunia modern yang sibuk, di mana hiperaktif dapat menjadi norma. Sebuah norma yang akhirnya dibungkam oleh standar sosial Allah sendiri, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa— karena— bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (Luk. 5:31-32). Tuhan Memberkati!
Misionaris Claretian di Medan