Politik (Demokrasi) Timbal Balik: Untuk Negara dan Rakyat

Oleh Fr. Jery Mamput,CMF

Politik (Demokrasi) Timbal Balik: Untuk Negara dan Rakyat
Picture by https://brotherendrit.com/

ClaretPath.com – Politik (Demokrasi) Timbal Balik: Untuk Negara dan Rakyat

Pengantar

Tema politik Indonesia akhir-akhir ini banyak menghiasi wajah media massa. Eksistensi politik mulai menyita dan menggerakan orang atau sekelompok orang untuk percaya, masuk dan bertindak. Politik dirasakan dalam media massa sebagai sebuah pembawa kehangatan diri dihadapan para pembaca. Sekiranya masyarakat Indonesia sudah mulai membenah diri dengan suatu prinsip media untuk menemukan semua berita politik yang aktual. Dapat dikatakan politik sudah mengambil bagian dan menjadi fenomena dalam kegiatan kesehariannya manusia. Politik keberadaanya sudah mulai ditemukan, kadang dia bisa mewujudkan gejala dalam diri manusia, sebagai makhluk yang berkegiatan.

Dalam website Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI),  Adji Wijayanto, sang Gubernur lembaga memberikan input mengenai faktor masalah politik yang sangat relevan di Indonesia dalam kurun waktu 2023-2024, yakni politik identitas, misinformasi (hoax), dan hate speech (ujaran kebencian). Terlihat bahwa masalah ucapan seorang gubernur ini mengenai politik Indonesia masih sangat memprihatinkan. Bagi penulis ini merupakan masalah yang eksistensial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun, platform-platform tantangan ini muncul dari kebiasaan masyarakat.

Banyaknya pengguna media sungguh dan sangat menunjukan suatu trend baru, yakni adanya keinginan untuk menyampaikan suatu tindakan atas hak atau bisa dikatakan sebagai pemenuhan kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Tak terkecuali aspirasi akan adanya pemilihan presiden 2024, dengan mudahnya orang akan bersarang pada payung politik diseliri tema dan isu masalah sosial. Dalam tahun terakhir ini juga, masalah politik bukan hanya menjadi isu hangat bagi negara, konflik atau masalah-masalah sosial yang privat pun bisa menjadi masalah politik.

Apa yang sebenarnya yang terjadi dengan politik Indonesia? Tentu tulisan ini bukan menjawab secara benar dan pasti untuk mengatasi masalah-masalah politik Indonesia atau menerjemahkan kasus-kasus yang trend untuk dikaji, mulai dari masa sekarang atau bahkan mengupas pemilihan presiden pada 2024 yang akan datang. Maksud penulis dalam tulisan ini hanya ingin menawarkan beberapa poin, yang mungkin bisa membenahi masalah politik Indonesia.

Baca juga :  Etika Politik Dalam Keyakinan Budha Mahayana

Asupan-Asupan Gizi untuk Politik Indonesia

Dunia politik Indonesia selalu up to date. Cara-cara yang canggih untuk menilik semua masalah terus berkampanye kesana kemari untuk mempromosikan diri dalam masyarakat umum. Kampanye semacam ini merupakan tujuan dari semua orang supaya dengan mudah mengakses hangatnya berita termasuk persoalan politik Indonesia.

Panggung politik Indonesia kini dikendalikan suatu paham antara politik dan janji. Misalnya, banyak politikus saat berkampanye selalu menunjukan kegigihan dalam menyampaikan semua wacana politik yang ia anggap bisa dilakukan, tetapi sangat berbeda dengan kenyataan sesungguhnya, bahkan bisa dikatakan sangat bertolak belakang. Ini merupakan seni kemungkinan yang negatif. Politik bukan dijadikan sebagai konsep pembangunan tetapi suatu konsep yang memiliki definisi etika. Drama politik akan sedikit rendah jika kita menggunakan pemahaman Niccolo Machiavelli. Ia mendefinisikan politik sebagai sebuah seni mendapatkan dan mempertahankan (Arif: 2013). Meskipun ia membicarakan bahwa seorang politikus harus mendapatkan sesuatu yang ia inginkan tetapi dalam politiknya, ia juga memberi sebuah porsi bahwa apa yang dilakukan benar atau demi kebaikan umum.

Dalam buku Nomadology: The War Machine, Gilles Deleuze dan Felix Guattari juga melukiskan suatu pemahaman, yaitu nomad. Dikatakan bahwa nomad itu sebagai entitas yang bercirikan berpindah tempat, menjadi, berdeformasi, bertens mutasi, anti identitas, selalu mengalir dan selalu bergejolak (Deleuze dan Guattari: 1968). Kenyataan berbeda dengan pandangan masyarakat, mereka sedikit mengakui bahwa nomad ini selalu berorientasi pada hal negatif, merusak dan dianggap menciptakan suatu keburukan. Tidak seperti demikian, kita harus selalu bergerak maju bahwa ia memiliki

sifat yang selalu produktif. Pengakuan ini kita menyebutnya sebagai perjalanan politik atau aktivitas politik yang tak menetap atau seni kemungkinan yang akan mengubah panggung sandiwara politik Indonesia.

Paham politik sebenarnya adalah sebagai sebuah aktivitas hubungan yang membentuk pola hubungan antara manusia dan negara. Hubungan yang dimaksudkan bahwa antara manusia dan negara merupakan pola timbal balik. Disatu sisi, ia menciptakan komunitasnya (negara), disisi lain, ia pun diciptakan oleh komunitasnya (Reza A.A. Wattimena: 2016). Sebenarnya disini negara tidak memiliki suatu pemahaman kesalahan yang fatal, sebab negara bukan hanya menjaga rakyat dari terhadap invasi luar melainkan peduli dengan semua karakter warganya (Jonar Situmorang: 2020).

Baca juga :  Covid-19 dan Guncangan Pendidikan Indonesia

Politik Membutuhkan Demokrasi

Bicara mengenai demokrasi selalu terarah pada ruang intensitas masyarakat. Demokrasi selalu menaungi politik dalam cita-citanya menggabungkan kebaikan masyarakat. Meskipun memiliki suatu penekanan demikian, di beberapa negara termasuk Indonesia salah praktek masih menjadi trend positif, belum menjalankan arti demokrasi yang sesungguhnya.

Demokrasi pada dasarnya adalah suatu sistem politik yang mana masyarakat, bukan raja, atau ratu atau aristokrat, memerintah (Giddens: 1997) dalam setiap aktivitas modernisasinya politik. Demokrasi bahkan lebih lazim dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan oleh, dari, dan untuk masyarakat. Tetapi, demokrasi kadang dijadikan sebuah pembatasan dari paham sebenarnya. Suatu paham yang gambling membuat roh demokrasi dalam ruang perdebatan memiliki makna ganda, bahkan terbuka dalam debat yang seluasnya (Gallie: 1956).

Menurut Aristoteles di dalam politik demokratis, negara selalu bergerak di dalam kerangka prinsip keutamaan serta membangun sebuah kesetaraan antara manusia (Reza A.A. Wattimena: 2016). Artinya jelas, antara negara dan masyarakat tidak memiliki suatu perbedaan dalam cirinya sebagai manusia dalam membentuk politik

yang berdemokrasi. Meskipun dalam posisi jabatan memiliki suatu kesenjangan yang tinggi bukan berarti negara bisa bertindak sembrono terhadap masyarakatnya. Masyarakat Indonesia perlu diberi tanda sebagai jantung utama demokrasi. Meskipun para penguasa dipilih, itu semua dianggap mereka bisa memberikan yang terbaik untuk semua kalangan masyarakat dan bisa juga diandalkan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat akan haus keadilan. Jelas demikian, yang dipilih diharapkan dapat menjalankan peranya.

Baca juga :  Allah Telah Mati, Yesus Kristus Membunuh-Nya

Sebenarnya bagi penulis gagasan seperti ini merupakan hati dan jantung dari demokrasi. Tidak lepas jauh bahwa ini masih berada dalam proses timbal balik antara negara dan masyarakat, yang saling bergantungan. Demi kebaikan rakyat dan  demi kebaikannya sendiri, maka semua harus menuju pada jalan keadilan.

Meskipun Indonesia belum memiliki suatu demokrasi mandiri, tetapi bukan berarti Indonesia menggunakan arena politik demokrasi yang cacat. Dapat dikatakan, Indonesia masih membenah diri dan tidak akan ada satu alasan yang dapat mengatakan Indonesia harus berhenti dalam panggung politik demokrasi. Bagi Aristoteles sendiri, jika suatu negara memiliki suatu pemahaman yang baik tentang demokrasi, negara tersebut akan memiliki suatu prinsip kebebasan akan maknanya sebagai manusia. Memang suatu pemahaman ini belum sampai pada Indonesia. Indonesia masih menggunakan politik janji. Masih mementingkan sebuah kekuasaan, kelingkungan agama dan mengumpulkan harta benda dan uang. Selagi orang bertindak bodoh akan kepuasan dirinya sendiri, mentalitas demokratis tidak akan tercipta, walaupun banyak orang mengajukan sistem dan fungsi yang sudah dibangun.

Sumber Bacaan

Arif, Rahman, Masykur. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.

Deleuze, Gilles dan Guattari, Felix. Nomadology: The War Machine. New York: Semiotext, 1968.

Diambil dari website Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), masalah politik 2023-2024, pada tanggal 22/04/2023, pkl. 21:30 WIB

Gallie, W.B., “Essentially contested concepts”, dalam Proceedings of the Aristotelian Society, 1965

Giddens, Anthony, Sociology, Third edition, Cambridge: Polity Press, 1997

Situmorang, Jonar. Filsafat Yunani Mengupas Tuntas Sejarah Perkembangan Filsafat Yunani Dan Pengajarannya: Yogyakarta: PBMR ANDI, 2020

Wattimena, Reza A.A. Demokrasi Dasar filosofis dan Tantangannya: Yogyakarta: Kanisius, 2016

Biodata penulis

Penulis merupakan seorang mahasiswa prodi fillsafat universitas Sanatha Darma fakultas Teologi Wedahbakti. Asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Lahir pada tanggal 2 Juli 2001