Penderitaan, Momentum Pedagogis

Picture by: UNICEF

Senin Pekan Biasa XXVII

Bacaan I: Yun 2:3.4.5.8

Bacaan Injil: Luk 10:25-37

Penaclaret.com – Para sahabat Pena Claret yang terkasih, kita masih hidup di bawah bayang-bayang ‘kekuasaan’ Covid-19. Kita masih menggunakan masker saat bepergian dari rumah. Kita juga masih takut untuk terlibat dalam kerumunan ketika berada di ruang-ruang publik. Tidak salah, keselamatan diri sendiri menjadi jalan untuk menyelamatkan orang lain dalam konteks saat ini.

Di tengah situasi ini, imajinasi jauh mengenai kehidupan setelah pandemi Covid-19 (post-Covid life) sudah menjadi objek diskursus di berbagai forum. Salah satu imajinasi yang patut kita renungkan adalah hidup kekal. Pertanyaan dasarnya, bagaimana cara agar kita memperoleh kehidupan kekal di dunia ini bukan setelah kematian (after life)? Imajinasi liar ini berangkat dari satu kenyataan, yakni Covid-19 menyerang semua manusia tanpa membedakan status sosial, suku, agama, dan profesi apa pun. Semua manusia rentan. Dari imajinasi liar ini, kita melihat bahwa penderitaan membuka jalan bagi terciptanya imajinasi-imajinasi dan peradaban-peradaban baru.

Baca juga :  Kesadaran Memilih Hal yang Baik

Sahabat Pena Claret yang terkasih, Yunus mengisahkan pengalamannya yang sangat tragis, yakni terlempar ke pusat lautan dan menjadi objek gulungan ombak dahsyat (Yun 2:3). Pengalaman sadistis ini dimaknai Yunus sebagai momentum keterlemparan dirinya dari Allah (Yun 2:4). Di tengah pergumulan antara hidup dan mati, Yunus tetap meyakini bahwa orang yang setia kepada Allah tidak akan binasa oleh karena berbagai mala petaka dunia. Pengalaman Yunus mengingatkan kita bahwa penderitaan adalah kesempatan purifikatif (pemurnian). Kita bisa belajar bahwa tekad dan komitmen dipertaruhkan ketika berhadapan dengan berbagai tragedi yang mengasingkan kita dari diri sendiri, sesama, alam semesta, dan Allah.

Narasi serupa pun kita temukan dalam bacaan Injil hari ini. Penderitaan seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, seorang yang jatuh ke tangan penyamun-penyamun, yang dirampok habis-habisan dan dipukul, sejatinya menguji komitmen kita terhadap kemanusiaan orang lain. Orang Lewi dan imam (orang yang teguh beragama saat itu) gagal menghidupi komitmen ini. Kesetiaan ‘buta’ terhadap tradisi religius menumpulkan kepekaan budi dan hati terhadap kepiluan dan derita yang lain (Luk25:30-32).

Baca juga :  Biarkanlah Tuhan yang Menilai

Orang Samaria sering dicap oleh orang Yudea sebagai pendosa. Kepeduliannya terhadap sesama yang menderita menunjukkan bahwa ia adalah sesama yang baik bagi yang lain. Pengorbanannya untuk memulihkan penderitaan fisik dari si korban layak kita teladani (Luk 25:33-36). Dari si Samaria, kita belajar bahwa penderitaan orang lain adalah juga momentum purifikatif. Dikontraskan dengan orang Lewi dan Imam yang pada konteks itu dikenal sebagai pemuka agama, kita hendaknya menggugat diri seberapa jauh kesetiaan terhadap tradisi dan ritual keagamaan turut menajamkan kepekaan kita terhadap keberhargaan martabat manusia.

Baca juga :  Yesus Kabar Buruk Bagi Herodes

Sahabat Pena Claret yang terkasih, kedua bacaan suci bisa menjadi inspirasi untuk melihat makna setiap penderitaan yang kita alami. Para saintis dan teknokrat modern berusaha semaksimal mungkin menghilangkan penderitaan dari manusia dengan memanfaatkan berbagai teknologi. Usaha semacam ini sedang memandulkan potensi edukatif dan pedagogis bagi penyadaran hidup kita. Penderitaan menjadi jalan untuk mentransformasi diri. Harapannya, transformasi post-penderitaan menciptakan tatanan sosio-politis yang humanis dan berkeadilan. Kita patut merenung jangan-jangan setelah wabah Covid-19, hidup kita dipentaskan dengan skenario yang sama seperti sebelum-sebelumnya? Tidak ada imajinasi baru dan peradaban baru yang tercipta. Selamat merenung semoga Tuhan memberkati kita semua.