Opini  

Orang-Orang Lelah | Opini

Suatu Senja di Warmindo

Senja menjelang malam. Udaranya sejuk dan segar. Ibarat seorang pelancong di padang gurun Sahara, ia menemukan suatu oase pemuas dahaga di tengah kekeringan. Sore ini adalah saat itu. Aku duduk menepi di sebuah Warmindo di sekitar daerah Yogyakarta. Sambil menyeruput kopi seteguk, dua teguk, dan seterusnya. Sesekali memandangi kerumunan orang-orang di sekitarku. Tidak satupun kukenali, begitu juga sebaliknya. Mungkin juga pengenalan mereka terhadapku. Sedikit pengecualian untuk penjaga warmindo ini. Hampir setiap waktu luangku dihabiskan di tempat ini.

 Aku terhentak dengan fenomena para pengunjung yang berada di sekitarku. Di belakangku, duduk menyendiri seorang pria. Duduk membungkuk, jari-jemari tangannya terus menari pada papan keyboard laptopnya yang bermerek ASUS. Sesekali mulut mengomat-ngamit sekata, dua kata, dan seterusnya. Di sela-sela rutinitas, ia menegakan pundak dan menyeruput kopi hangat di depannya. Di samping kiriku, duduk sekumpulan perempuan yang asyik berdiskusi. Raut muka tampak menyimak ketika yang lain berbicara atau mengemukakan pendapat. Di samping kananku, duduk segerombolan pria yang asyik bermain catur dan gaming.

Aku terbayang lagi kisah Brooks sebagaimana diangkat dalam Film Shawsank Redemption. Brooks telah ditahan di penjara Shawsank hampir 50 tahunan. Awalnya berat, hidup sebagai tahanan. Namun dalam berjalannya waktu, ia menikmati kehidupannya. Ia menemukan bahwa ia masih berguna. Ia dipercayai sebagai petugas perpustakaan.  Tanggung  jawab tersebut dienbannya selama hampir 30-an tahun. Pada suatu hari, ia bergulat setelah mengetahui bahwa masa tahanannya akan berakhir. Ia akan menikmati kehidupan sebagai orang bebas. Namun ia sendiri takut dengan situasi itu. Ia ingin membunuh atau melukai sesama tahanan Shawsank sehingga masa tahanannya diperpanjang.

Namun dengan bantuan teman-teman, ia tidak jadi melakukan tindakan nekad tersebut. Ia bebas pada akhirnya. Namun di luar Shawsank, ia tidak mampu beradaptasi karena distigmatisasi sebagai mantan napi, sudah tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Ia tidak memiliki teman. Ia kemudian bernostalgia lagi mengenai kehidupannya di Shawsank. Di sana, ia masih berguna walau hanya sebagai petugas perpustakaan. Berhadapan dengan ketersituasian seperti ini, Brooks merasa putus asa, kehilangan harapan, dan mengalami depresi berat. Ia mengakhiri hidupnya dengan seutas tali terlilit pada leher.

Baca juga :  Keadilan Sosial dan Korupsi Politisi

Bagiku, kisah Brooks menggambarkan nasib orang-orang lelah. Sebuah konsekuensi pragmatis dari ketidakberdayaan manusia di hadapan tuntutan zaman. Tidak salah, andaikata banyak orang memilih untuk berlari, ketimbang menghadapi sadismenya kehidupan. Di Jepang, berdasarkan data stastik dari pemerintah, jumlah kasus bunuh diri pada Agustus meningkat sebesar 15,4 (1.854 kasus). Sebuah penelitian di AS yang dirilis pada bulan Mei memperkirakan sebanyak 75.000 orang meninggal akibat bunuh diri selama pandemi (https://lifestyle.bisnis.com/read/20201009/106/1302926/). Kenyataan ini dan kisah Brooks membawaku pada sebuah kesimpulan sederhana, orang-orang yang duduk di Warmindo ini. Mungkin mereka sedang mencari tempat yang lain. Kelainannya terdapat pada efek yang ditimbulkan pada imajinasi manusia mengenai kehidupannya. Warmindo ini menjadi sebuah antitesa terhadap berbagai tempat yang mapan seperti kelas dan perpustakaan.

Efek Pencapaian Diri (Self-achievement)

Masyarakat abad ini mendedikasikan seluruh tenaga dan waktu untuk berprestasi. Individu menuntut diri untuk menemukan atau menghasilkan sesuatu bagi diri sendiri dan kebanyakan orang. Di dalam masyarakat seperti ini, Unlimited Can (dapat yang tidak terbatas) adalah kata kerja modal positif (positive modal verb) dan menjadi semangat hidup (Byung-chul Han, Burnout Society, 8). Benar adanya nubuat ini. Kita mendengar dan melihat ungkapan, kamu pasti bisa. Kita mampu untuk mencapai ini dan mencapai itu asalkan kerja keras. Dorongan untuk memaksimalkan potensi sudah menjadi kesadaran sosial dan personal. Byung-chul Han menamai fenomena ini self-achievement society (masyarakat pencapaian diri).

Baca juga :  Jean-Joseph Jacotot: Kesetaraan Intelegensi dan Kehendak untuk Belajar

Self-achievement merupakan pengejawantahan dari kesadaran untuk selalu berpikir positif dan menghindari berpikir negatif. Asumsi dasarnya, ketika kita terus berpikir positif, kita akan sanggup untuk merealisasikannya. Akan tetapi, orang lupa bahaya hidup dikendalikan oleh berpikir positif. Pendewaan manusia terhadap kemampuan untuk mampu dalam situasi apapun sedang menunjukan ketidakberdaulatan manusia itu sendiri. Atas nama i can be producitve, manusia menjadi homo laborans sepanjang waktu. Manusia mengeksploitasi dirinya sendiri dengan pikiran positifnya. Ia bekerja dengan sukarela sepanjang waktu. Diri dan kemampuannya menjadi ukuran dari dan untuk dirinya sendiri (Byung-chul Han, 11). Namun, benarkah manusia mampu untuk segala waktu?

Mentalitas self-achievement yang bablas berakhir sebagai eksploitasi diri sendiri. Pengeksploitasian diri memuncak ketika subjek tidak lagi sanggup (No-longer-being-able-to-be-able). Fase liminalitas ini telah melahirkan berbagai macam penyakit neurologis (neuronal disease), yakni depresi, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), gangguan kepribadian ambang (BPD), dan sindrom kelelahan (burnout syndrome). Pada akhirnya individu mencela diri dan bermuara pada agresi otomatis atas diri sendiri. Sebuah kenyataan pahit yang berpotensial terjadi ketika manusia tidak mampu secara bebas untuk berprestasi. Ketidakberhasilan Produktivitas membatasi individu.

Warmindo Menjadi Ruang Heterotopia

Aku memandang lagi para pengunjung di sekitarku. Masing-masing dengan cara beradanya sebagaimana aku katakan pada awal. Lantas muncul pertanyaan dalam diri, mungkinkah Warmindo ini telah menjadi sebuah ruang heterotopia. Sebuah tempat yang berbeda dengan biasanya. Sebuah tempat yang tidak terjamah keseharian hidup manusia di kantor dan sekolah (Michele Foucault, “Of Other Spaces”,17). Keberlainan dari tempat ini terletak pada potensinya untuk menantang kelangsungan normalitas. Tempat ini menyadarkan orang akan keterlemparan dirinya. Berpindah dari tempat ini, orang mereorientasi visi kehidupannya dan menjadi baru.

Baca juga :  Etika Politik Dalam Keyakinan Budha Mahayana

 Bisakah ruang Warmindo yang kudiami ini adalah sebuah ruang heterotopis bagi para pencari suaka semangat di tengah bebannya nasib yang mesti ditanggung sebagai konsekuensi pragmatis dari kehidupan yang menutut prestasi dan produktivitas? Si Pemuda dan kerumuanan perempuan tadi menggunakan tempat ini untuk belajar. Apa yang terjadi dengan perpustakaan kampus atau juga kamar pribadi? Seingat saya tata ruang kampus dan kamar pribadi itu tertutup karena berdinding. Ada banyak aturan yang mesti dipatuhi di ruang perpustakaan. Misalnya, dilarang beribut, dilarang membawa makanan ringan, dan setumpuk aturan yang lainnya. Kalau di kamar pribadi, belajar berarti aku bersama buku dan laptop seandainya ada. Saya melihat Warmindo ini, tidak berdinding, lebih terbuka. Tidak ada aturan yang ditempel pada dinding. Realisasi kehidupan di sini pada akhirnya didasarkan pada kesadaran moral setiap pengunjung berdasarkan perjumpaannya dengan hembusan udara malam dan para pengunjung.

Warmindo ini sejenak memberi kebebasan untuk orang menjadi dirinya sendiri dalam berbicara, mendengar, dan belajar. Saya jadi teringat dengan pernyataan ini, ide-ide revolusioner tidak dilahirkan di kampus dan kapela atau Gereja. Ide-ide besar dan revolusioner dilahirkan di angkringan-angkringan jalanan, warmindo-warmindo, resto dan coffe. Newton menemukan hukum fisikanya ketika duduk dan menyaksikan jatuhnya sebuah apel. Ide-ide besar lahir dari keseharian yang banal seperti ini. Ide-ide inilah yang direnungkan secara kritis dan reflektif pada dinding kampus dan kapela. Sepintas kita bisa mengatakan bahwa mimbar kelas kampus dan altar kapela (Gereja dan Katedral) tanpa persentuhannya dengan fenomena riil manusia dengan kebiasaan dan rutinitasnya hanya akan berakhir sebagai ide-ide tanpa daya ubah terhadap kehidupan riil.