ClaretPath.com – Menahan diri untuk tidak menjual nikel keluar negeri baik mentah atau setengah jadi merupakan satu pilihan yang mulia. Akan tetapi apakah mumpuni? Pilihan ini hanya satu strategi teknis dalam momen yang sangat singkat.
Indonesia larang jual nikel
Tentu banyak keuntungan yang dikais. Awalnya sebagai anak bangsa saya sangat kagum dan setuju dengan strategi Pak Presiden. Mengingat kekayaan negeri ini telah tereksploitasi secara bablasan. Tradisi merkantilisme klasik (Barat) sering terabaikan oleh para pelaku kebijakan politik perekonomian. Sumber daya alam kita dijual secara mentahan ke pasar luar negeri. Kemudian dengan bantuan teknologi dan kepandaian tertentu (baca: di atas standar Indonesia), bahan baku tersebut diproses dan dimodifikasi negara asing menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi. Produk modifikasi ini kemudian kembali ke negara kita dengan harga sangat mahal (Nur Asia, 2021: 12). Bahkan sepuluh kali lipat harga jual mentahan. Kita menjual baja, setelah itu membeli mobil. Berapa total kerugian kita? Tentu saja ceritanya akan lain apabila kita mempunyai aset produksi dalam negeri atau sekurang-kurangnya menjual bahan setengah jadi ke pasar luar negeri.
Pak Jokowi dengan strategi menahan penjualan nikel ini menghentikan skema picik itu. Sekaligus hendak menjadikan Indonesia sebagai pusat. Ingat mimpi Pak Jokowi tentang Indonesia emas pada 2045. Beliau ingin Indonesia menjadi pusat peradaban dunia: pendidikan, teknologi, perdagangan, dan sebagainya (Kompas, 14/08/21). Pak Jokowi rupanya banyak belajar dari catatan kritis negara-negara kaya sumber daya alam, seperti Brazil dan Aljazair. Negara-negara tersebut menjadi pengekspor bahan utama untuk pasar global, terutama ke negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Akan tetapi sayang posisi mereka tetap sama dari dulu. Tidak pernah menjadi negara maju. Masih berstatus negara berkembang sampai saat ini. Pak Jokowi tidak mau nasib Indonesia seperti mereka.
Peluang bisnis
Pak Jokowi melihat nikel saat ini sedang strategis. Mengingat saat ini nikel menjadi bahan baku pembuatan baterai mobil listrik. Dalam pada itu, mobil listrik sendiri sedang menjadi trending topik pasca COP26 di Glasgow, Skotlandia 2021 (Kompas, 03/11/21). Mobil listrik menjadi satu kebijakan bersama untuk menjaga lingkungan: menekan laju perubahan iklim bumi dan pengurangan pelepasan emisi karbon ke atmosfer bumi.
Tentu saja Indonesia yang saat ini memiliki 16,2 miliar ton dari cadangan nikel dunia menjadi rujukan utama produksi mobil listrik. Selain itu tentu banyak investor asing yang datang untuk berinvestasi di Indonesia. Bagi Pak Jokowi dan rakyat Indonesia momen ini adalah momen merayakan keuntungan. Sekaligus mendorong Indonesia ke sentral perdagangan dunia. Indonesia harus menjadi pusat!
Catatan kritis
Akan tetapi, apakah kebijakan ini mumpuni. Saya sendiri kurang yakin. Kebijakan Pak Presiden hanyalah momen keberuntungan. Di mana kejayaannya tidak akan dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Mengingat kita saat ini sedang berada dalam zona kapitalisme lanjut. Semua perubahan besar dapat terjadi kapan saja. Lagi pula teknologi dan ilmu pengetahuan sangat progresif. Hari ini nikel bisa menjadi prioritas. Esok mungkin tidak lagi.
Adam Smith sudah lebih awal mengingatkan kita bahwa sistem pasar selalu saja menghendaki agar pelaku mengeluarkan modal sedikit mungkin demi keuntungan yang lebih besar (Smith, 1977: 12-18). Karena itu logika pasar jelas; mana ada orang mau betah dengan harga bahan baku yang melambung tinggi. Maka, jalan keluar adalah mencari alternatif lain. Dan saya kira ini akan lebih efektif dan sesuai dengan logika pasar.
Para kapitalis akan selalu mencari cara baru. Akan mungkin kalau prinsip “sekali rugi, untung selamanya” diterapkan. Para investor tidak sungkan akan memberikan insentif besar bagi perusahaan riset dan teknologi untuk menemukan alternatif baru pengganti nikel (Tempo, 09/04/23). Penemuan alternatif ini tentu saja diharapkan ketersediaannya lebih mudah didapat, harga murah, dan ramah lingkungan. Dengan demikian bahan baku alternatif pastinya akan menurunkan nikel dari menara gading perputaran ekonomi global
Pesannya jelas. Momen melambungnya harga nikel ini hanya temporal. Masanya akan berakhir ketika alternatif nikel dtemukan. Kalau para pelaku kebijakan tidak pandai membaca peluang dan memainkan strategi lanjutan dalam keadaan ini, Indonesia butuh waktu tambahan untuk menorehkan nama “negara maju” pada statistik dunia.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus