Ketika Tuhan Dipertanyakan

Sumber Gambar: banten.tribunnews.com

Penaclaret.com – Pertanyaan mengenai eksistensi “Yang Ilahi” tidak akan sepenuhnya rampung terjawab oleh pengetahuan manusia. Sejak paham modernisme mulai berkembang, pertanyaan-pertanyaan seputar “Yang Ilahi” terus digelontorkan. Pertentangan agama dan sains terus berlangsung. Soal menalar “Yang Ilahi” dalam rana sains selalu menjadi kemustahilan. Di sini persisnya peran teologi untuk menjawabnya. Pembelaan teologi dan filsafat ketuhanan diharapkan mampu memberikan jawaban bagaimana harus menjawab berbagai pertanyaan tentang “Yang Ilahi”.

Dunia modern diganggu oleh aneka ragam kepercayaan. Semuanya berusaha menalar mengenai “Yang Ilahi” sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Namun, bagaimana jika semua pandangan yang ada justru menciptakan konflik baru yang tidak hanya melibatkan agama dengan sains, tetapi juga antara agama yang satu dengan yang lainnya?  Setiap agama harus mempertanggungjawabkan kepercayaannya secara rasional dan berdasarkan wahyu yang diilhaminya masing-masing sebagai sumber kebenaran.

Baca juga :  Cinta Sejati Tidak Pernah Mati

Saya mengutip seorang fisikawan Inggris, Paul Davies yang juga menempatkan keraguannya atas fisika dengan berasumsi bahwa sains belum tentu mampu menjelaskan segala sesuatu dalam dunia fisik. Baginya, mustahil untuk meraih dasar dari segalanya. Selalu ada misteri di ujung alam semesta, tetapi tetap layak untuk mengetahui segalanya secara rasional. Baginya, cepat atau lambat, kita semua harus menerima sesuatu yang ada begitu saja, seperti Tuhan atau pun logika. Para ilmuwan akan sampai pada kebuntuan ide. Kebuntuan itu berkaitan dengan penciptaan keseluruhan alam semesta dan asal usul tertinggi dunia fisik.

Arah pemikiran manusia kemudian terus berkembang dalam alur post-modernisme. Segala yang berkaitan dengan manusia dan lingkungan sekitarnya kini menjadi sumber pertanyaan bagi manusia bahwa apa itu kehidupan. Melihat kenyataan dunia saat ini, saya seperti dipaksa juga untuk bertanya tentang eksistensi pribadi “Yang Ilahi” sebagai pemberi hidup. Siapa itu “Yang Ilahi”? Pertanyaan tersebut bisa menjadi celoteh sederhana para atheis dan agnostik tentang “Yang Ilahi”. Bahkan, orang beriman sekalipun bisa saja bertanya hal serupa.

Baca juga :  Hidup Bahagia ala Epikuros || Filsafat

Apakah salah jika “Yang Ilahi” dipertanyakan? Rm. Franz Magnis Suseno, SJ dalam bukunya “Menalar Tuhan” menerangkan pendapat para filosof bahwa iman yang tidak disertai nalar belumlah utuh. Dalam beberapa pengalaman pun, ketika menghadapi masalah yang sulit dihadapi, saya cenderung mempertanyakan eksistensi “Yang Ilahi.” Dimanakah Tuhan ketika melihat penderitaan manusia? Pertanyaan tersebut memang tidak salah, mengingat para filosof menerangkan bahwa beriman butuh bernalar, begitupun sebaliknya. Dengan begitu, apa yang saya Imani dapat dipahami dengan akal budi.

Baca juga :  Dilema “Maya”

Menalar Tuhan dalam filsafat ketuhanan bukan untuk menggali misteri Allah, melainkan untuk menjawab semua pertanyaan tentang Tuhan, sejauh itu masih dalam jangkauan pemahaman dan pengetahuan manusia. Filsafat Ketuhanan membuka jendela baru bahwa filsafat ketuhanan menjadi alur berpikir kritis, sistematik, metodis secara mendasar tentang Tuhan. Dalam hal ini, kepercayaan akan Tuhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Agama dan sains memiliki jalan yang berbeda. Keduanya bisa diterima sebagai kebenaran dalam ranah diskursusnya masing-masing.