Kembali Dari Luka

Sumber gambar: ClaretPath.Com

(Sebuah Refleksi Biblis-Filosofis Tentang Paskah)

ClaretPath.Com-Hidup adalah sebuah fakta keterlemparan ke dalam dunia. Demikian ujar Martin Heidegger saat mendefenisikan eksistensi manusia yang hadir ke dunia dengan fakta kebertubuhannya (Wattimena, 2009:9). Di dalam keterlemparan itu, manusia kerap kali terbentur situasi-situasi sulit. Penderitaan, kelaparan, proposal dan lamaran kerja ditolak, kematian orang yang dicintai, pengkhianatan orang yang dikasihi, ditipu oleh sahabat yang sangat dipercayai, pemutusan hubungan pekerjaan atau bahkan percintaan (PHP) adalah sekelumit kisah luka yang acap kali juga hadir dan mengiringi setiap pengalaman suka hidup kita. Dengan menilik beberapa pengalaman luka ini, kita akhirnya dihantar pada sebuah kesadaran bahwa luka itu busuk, kejam dan sadis. Karena itu jangan tanya luka kenapa? Sebab luka itu sendiri menurut Karl Jasper adalah sebuah situasi batas yang mana kita tidak lagi berkata-kata dengan mulut melainkan cucuran air mata (Cahyono, 2019: xxiv).

Air mata selalu menjadi kosakata terakhir dari setiap peristiwa luka yang kita alami. Meski begitu, pemaknaan akan air mata (baca: menangis) sebagai kosakata terakhir bukanlah sesuatu yang bersifat infantil dan ekspresi dari kaum lemah. Tidaklah demikian. Mengapa? Sebab menurut Paus Fransiskus, air mata justru merupakan suatu Rahmat Ilahi yang begitu istimewa bagi manusia. Melaluinya (tangisan/air mata), manusia bisa melihat dan mengalami realita kehidupan yang sejati, kompleks dan rumit ini secara lebih dekat. Bahkan lebih lanjut, Sri Paus menjelaskan bahwa mereka yang tidak tahu menangis adalah orang-orang yang apatis, takut dan tidak mampu mengambil resiko demi menolong sesamanya yang tengah terluka. Mereka menjadi orang asing dan tidak tahu lagi bagaimana menangis. Mereka lupa bahwa beberapa realitas hidup hanya dapat dilihat dari mata yang dibersihkan oleh air mata. (Paus Fransiskus, 2019: 30)

Situasi Batas

Rentetan peristiwa paceklik atau situasi batas dalam hidup juga bisa kita temukan dalam pesta Paskah yang telah kita rayakan pada bulan April lalu. Tindakan bestialis Yudas Iskariot yang rela menjual Gurunya dengan sebuah ciuman pengkhianatan demi 30 keping perak (Mat. 26:14-16); penyangkalan Simon Petrus demi kenyamanan dan keselamatan diri (Luk. 22:54-62); tindakan kedua belas rasul terkecuali Murid yang dikasihi Tuhan (Yohanes) yang lari terbirit-birit meninggalkan Yesus seorang diri saat peristiwa penangkapan di bukit Zaitun (Mrk.14:50) juga adalah kepingan-kepingan luka yang dialami Yesus selain cambukkan; tamparan dan tikaman tombak bengis para algojo.

Sementara itu pada saat yang sama, hati para murid pun mulai ikut terluka. Air mata kembali menetes tanpa daya. Hidup mereka terasa sepih sebab semuanya diam bersembunyi dan mengunci diri dalam ruangan ketakutan (Yoh. 20:19-23). Itulah situasi batin para murid yang ikut tersayat sedikit demi sedikit. Peristiwa penangkapan dan penyaliban Yesus adalah sebuah tikaman langsung ke dalam hati para murid yang lalu melumpuhkan semangat kemuridan mereka. Karenanya, pasca peristiwa pilu itu, para murid memilih untuk kembali menjalani hidup seperti sediakala. Kembali ke kampung, mulai melaut dan menjala ikan lagi (Yoh. 21:1-14).

Baca juga :  Ruang Batin dan Seni Bereksistensi

Defenisi Romantika Paskah

Menarik sekali bahwa tema Paskah tahun ini begitu inspiratif. Nada kebangkitannya begitu terasa, membekas dalam hati dan terutama membangkitkan pengharapan akan hari esok.  Sekadar mengingatkan kembali bahwa tema Paskah pada tahun ini adalah: “Ia mendahului kamu ke Galilea, Jangan takut” (Mat. 28:10). Tema Paskah dalam tulisan ini lalu coba dikemas dalam sebuah defenisi yang agak romantis dan ilmiah dengan tetap mempertahankan sensus fidei (Citarasa Iman) para pembaca. Defenisi romantika Paskah itu adalah “Kembali Dari Luka”.  Kembalinya Yesus dari luka (baca: Kebangkitan) menjadi sangat bermakna bagi iman Kristiani sebab tanpa kebangkitan-Nya maka kelahiran dan kematian-Nya pun akan sia-sia atau tanpa makna sebab manusia biasa seperti kita juga mengalami kelahiran dan kematian. Terhadap potensi Kesia-siaan pengorbanan Kristus ini, Rasul Paulus sendiri bersaksi: “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Kor. 15:14).

Kristus Bangkit, Ada Hari Esok

Tanpa kebangkitan Kristus, maka kelahiran Yesus (Natal) menjadi berita biasa dan kematiaan-Nya (Salib) tidak ada artinya. Janji dan nubuat Para Nabi dalam Kitab Suci tidak akan tergenapi. Perkataan Yesus bahwa IA akan bangkit tidak dapat dipercaya; murid-murid dan kita semua yang mengimani-Nya akan tetap hidup dalam ketakutan dan tanpa pengharapan. Roh Kudus tidak akan datang; Gereja dan Kekristenan tidak akan berdiri dan bertahan. Berita Injil akan tidak berarti dan kosong; kita tetap berada dan terjebak dalam balutan luka-luka dosa. Bersama Para Murid kita akan menjadi saksi-saksi palsu kebangkitan. Iman; persekutuan; pemberitaan Injil dan pengharapan kita akan kebangkitan (baca: Kesembuhan dari luka-luka dosa) menjadi sia-sia. Namun, yang benar adalah bahwa Kristus sungguh telah kembali dari luka. IA telah bangkit.  Dengan demikian, Natal menjadi kabar sukacita dan kematian-Nya menjadi sangat bermakna sebab IA menyembuhkan luka-luka dosa kita dan membangkitkan pengharapan dalam diri bahwa hari esok itu sungguh ada (Jonch, 2022: 8-9).

 Setelah melihat dan mendengar tema Paskah kita tahun ini, tentu kita akan bertanya-tanya: Mengapa Galilea? Mengapa bukan Betlehem atau Nazareth? Galilea rupanya adalah locus di mana Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama yaitu; Simon Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes (Mat. 4:18-22). Dalam kisah itu, sebagaimana danau merupakan pertemuan antara darat dan air (laut) atau sebaliknya, maka di sana juga terjadi suatu transformasi atau perubahan orientasi hidup dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Kita pun dipanggil Tuhan untuk menjala atau menjaring sesama kita agar mendekat dan menjadi murid Tuhan juga. Kita dipanggil untuk selalu kembali dari luka-luka kita. Tidak terlalu larut dalam kelukaan tetapi selalu memiliki pengharapan di dalam Kristus bahwa hari esok akan senantiasa ada; selepas luka kesembuhan akan menghampiri kita.

Baca juga :  Meretas Nostalgia: Sebuah Inspirasi Live-In

Nostalgia

Singkatnya, alasan Yesus memilih Galilea sebagai tempat reuni/nostalgia bersama para murid itu adalah agar supaya para murid mengenang kembali saat-saat indah bersama Sang Guru sekaligus penyegaran, pemulihan kembali/pembaruan panggilan hidup mereka. Di dalam kisah Injil Mat. 28:1-10, kita juga akan berjumpa dengan Yesus yang menitipkan pesan Paskah-Nya kepada Maria Magdalena dan Maria yang lain agar meminta para murid pergi, kembali ke Galilea sebab di sanalah mereka akan melihat dan berjumpa dengan Yesus yang telah bangkit mulia. Bukan lagi Yesus yang masih menderita dalam kubur melainkan IA yang telah kembali dari luka. IA yang telah bangkit. Kembali dari luka itulah paskah; itulah kebangkitan.  Dan kini, IA mengajak kita juga untuk bernostalgia bersama-Nya sebab nostalgia juga berarti kembali dari luka bukan sekadar sentimentalitas masa lalu belaka.

Nostalgia menjadi begitu penting dalam hidup kita sebab bukan hanya untuk melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu tapi juga beberapa alasan ini;

pertama; membantu kita mencegah rasa kesepian. Melalui nostalgia kita merasa lebih baik dari kesepian. Kita kembali membangkitkan kenangan-kenangan manis yang pernah dilalui bersama orang-orang terdekat yang mungkin selama ini terbenam dalam kesibukan kuliah dan pekerjaan lainnya.

Kedua; Nostalgia membantu kita untuk lebih menghargai hidup. Tidak bisa kita pungkiri juga bahwa terkadang nostalgia menyodorkan dan membangkitkan memori-memori luka dalam diri. Akan tetapi, kita perlu menanggapinya secara positif yaitu dengan melihatnya sebagai kesempatan dan pengalaman yang memperkaya hidup kita masing-masing. Sebagaimana hidup adalah kesempatan. Begitu pun dengan luka.

Luka adalah kesempatan bagi kita untuk menunjukkan siapa diri kita yang sejati. Terlebih pengalaman luka adalah peluang untuk berbuat baik.  Ketika terjadi pengkhianatan, maka itu adalah kesempatan untuk belajar tentang kesetiaan. Ketika terjadi banyak kejahatan, maka itu adalah kesempatan untuk memberi cinta yang menyegarkan dan mendamaikan. Selain itu juga, luka adalah bukti kepahlawanan karena itu tidak perlu dinafikkan.

Baca juga :  Viralkan Yesus | Renungan Harian

Banyak orang takut akan lukanya. Karena itu, mereka selalu berusaha untuk melupakannya. Alih-alih mencoba untuk melupakan lukannya, mereka malah tenggelam dalam hiburan semu seperti, bagadang; mengkonsumsi alkohol, suka baring-baring di tempat tidur sambil scroll Tik-tok, WhatsApp, Facebook, Instagram dan Youtube. Alhasil, luka tidak lagi menjadi sebuah pengalaman hidup yang memperkaya melainkan sebaliknya memiskinkan hidup kita sendiri. Hidup berlalu begitu saja tanpa makna. Padahal setiap sayatan luka adalah simbol keperkasaan dan piala-piala tanda keagungan.  

ketiga; Nostalgia membantu kita mengurangi rasa sakit. Sebagaimana rindu hanya akan terobati bila ada sebuah perjumpaan, maka kita pun perlu kembali ke Galilea hidup kita masing-masing agar boleh bersua lagi bersama Kristus yang telah bangkit mulia. Galilea hidup kita masing-masing itu antara lain, komunitas; rumah; keluarga; kampus; tempat kerja dan pengalaman hidup harian setiap kita.

Galilea-Galilea hidup kita yang telah disebutkan tadi akan mencapai kepenuhan/kesempurnaanya di dalam doa, devosi pribadi, belajar, kerja, rekreasi, makan bersama dan Ekaristi. Sebab di sanalah kita akan berjumpa face to face dengan Yesus yang telah bangkit jaya dan kita pun akan mengalami suatu transformasi paskah di dalam hidup; kita menjadi pulih kembali sebab bersama Kristus kita telah kembali dari luka.

Kembali Ke Galilea

Akhirnya, jangan takut untuk kembali ke Galilea hidup kita masing-masing. Sebab Yesus sendiri telah berjanji akan menjumpai kita di sana. Jangan takut juga bila Yesus tidak menepati janji-Nya, sebab IA sendiri adalah Pemberi Harapan Paripurna (PHP) bukan pemberi harapan palsu (php). Selain itu, IA juga tidak bisa menyangkal diri-Nya sebab IA sendiri adalah KASIH dan SETIA. Dan semoga perjalanan pulang ke Galilea hidup kita masing-masing nantinya tidak terhenti pada Galilea-Galilea online saja melainkan terus menerobos masuk ke dalam Galilea-Galilea kehidupan nyata kita masing-masing. Terutama di sini dan sekarang (Hit et Nunc).

Sumber Bacaan:

Christian Jonch, Kristus Bangkit Ada Hari Esok, Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media, 2022

Gerejawi, Seri Dokumen. Seruan Apostolik Pascasinode Paus Fransiskus: Christus Vivit (Kristus Hidup). Edited by Bernadeta Harini Tri Prasasti R.P. Andreas Suparman, SCJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), 2019.

J. B. Suharjo B. Cahyono, Is Suffering the Enemy? Bertumbuh Dalam Rasa Sakit dan Penderitaan, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019

Lembaga Biblika Indonesia, Alkitab Deuterokanonika

Reza Wattimena, Protopia Philophia Berfilsafat Secara Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius, 2009