Dobrakan Feminisme Hisako Kinukawa

Dobrakan Feminisme Hisako Kinukawa. Gambar ini adalah seorang perempuan Jepang yang sangat kuat dimensi feminisnya. Akan tetapi menurut Hisako Kinukawa perempuan Jepang ini harus dibebaskan dari tatan patriaki yang dominan dalam kultur Jepang
Picture by https://pixabay.com/

ClaretPath.com – Dobrakan Feminisme Hisako Kinukawa

Salah satu teologi feminisme yang layak mendappat sorotan secara kritis dan reflektif adalah Hisako Kinukawa. Tatanan sosio-kultur Jepang yang sangat patriarkat membuat perempuan telah disepelekan peran kontributifnya bagi masyarakat. Namun, Kinukawa membongkar selubung yang melembagakan tatanan patriarkat tersebut dengan merenungkan secara kritis, reflektif, dan kontekstual narasi Injil mengenai perempuan yang menderita pendarahan (Markus 5:25-34). Refleksinya mewakili suara-suara perempuan yang mengalami ketertindasan. Ia menguraikan refleksinya dalam The Story of The Hemorrhaging woman (Mark 5:25-34) Read from A Japanese Feminist Context.

Konteks Sosio-Kultural-Eklesial Hisako Kinukawa

Mentalitas dan budaya patriarkat menjadi sumber keteralienasian perempuan dari berbagai segmen kehidupan (sosial, politik, eklesial). Hisako Kinukawa mengamini kenyataan ini. Pengakuan ini adalah akibat latar belakang sosio-kultural Jepang. Tempat lahir, bertumbuh, dan berkembangnya Kinukawa sebagai seorang perempuan. Berdasarkan disermen yang kritis dan reflektif dari Kinukawa, ia menemukan bahwa relasi subordinasi perempuan terhadap laki-laki dilembagakan atau dimobilisasi secara kultural dan religius.

Secara kultural, penyembahan dan penghormatan terhadap kaisar sebagai tuhan yang hidup merupakan fons et culmen (sumber dan puncak) pelembagaan sistem patriarkat dalam kehidupan masyarakat Jepang. Secara filosofis, sistem kekaisaran yang terkait erat dengan Negara Shinto menekankan konsep satu rumah tangga dengan klaim bahwa bangsa Jepang terdiri dari satu keluarga besar. Kepala keluarga dari rumah tangga ini adalah kaisar. Setiap keluarga harus mematuhi secara mutlak otoritasnya. Relasi patriarkat berawal dari pemerintahan absolut kaisar atas seluruh keluarga Jepang.  

Baca juga :  Cinta Manusia di Bumi

Sistem patriarki nasional kontra dobrakan feminisme Hisako Kinukawa

Karena itu, denngan mengakarkan relasi patriarkal dalam setiap keluarga. Secara nasional, kaisar memiliki kekuasaan mutlak sebagai bapa bangsa. Di dalam keluarga, figur ayah atau bapa memiliki otoritas mutlak atas rumah tangga mereka. Istri dan anak-anak harus tunduk pada kekuasaannya. Dengan demikian, diskriminasi terhadap perempuan menjadi semakin jelas dan terlembagakan. Perempuan hanya mendapat penghargaan ketika mereka melahirkan ahli waris laki-laki. Kenyataan patriarkat ini juga terlembagakan dalam peran gender dan melegitimasi pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki berprofesi sebagai pencari nafkah, sementara tugas perempuan hanya untuk mengurus rumah, melahirkan dan mengasuh anak.

Dominasi dan hegemoni laki-laki atas perempuan mengganggu kenyamanan Kinukawa. Ketergangguan ini menginspirasinya untuk membaca Kitab Suci dengan kaca mata yang baru. Ia berusaha membaca setiap narasi Injil dalam kaca mata relasi antara perempuan dan Yesus. Kinukawa membaca dan menafsirkan teks ini dengan menempatkan tiga ketersituasian perempuan, yakni orang buangan, agen yang terkehendaki, dan penentang stabilisitas. Tiga hal ini menjadi paradigma dasar Kinukawa membaca dan menafsirkan teks-teks Kitab Suci. Salah satu teks yang Kinukawa dekati dengan tiga pengandaian sebelumnya adalah Markus 5:25-354. Kita akan melihat perspektif fenimisme Kinukawa dengan mengacu pada cara baca Kinukawa atas teks ini.

Allah Tidak Menghendaki Ketidaksetaraan

Bagi Kinukawa, perjuangan si wanita yang menderita pendarahan memperlihatkan beratnya dan sadisnya penindasan agama dan sosio-kultural yang harus dia hadapi. Aturan mengenai kemurnian dari perspektif agama Yahudi melembagakan ketertindasan tersebut. Pendarahan membawa cap buruk untuk dirinya sendiri. Orang-orang menganggapnya sebagai orang kotor dan najis. Pendarahan yang ia alami mengancam integritas dan kesucian komunitas sehingga layak dan harus keluar dari Bait Allah dan ruang publik masyarakat.

Baca juga :  Pendidikan dan Guru: “Media Peretas Intoleransi”

Ia menempuh semua cara untuk pemulihan keutuhan dan kesuciannya. Tujuannya agar ia dapat memperoleh tempat sebagai pribadi dalam lingkaran masyarakat. Dalam masyarakat patriarki Palestina abad pertama, budaya kehormatan menuntut agar perempuan tidak menodai kehormatan laki-laki. Oleh karena itu, dia tidak akan meminta Yesus untuk menyentuhnya dan membantunya. Sebagai orang yang kotor, usahanya untuk mendapatkan kesembuhannya lahir dari kemauan dan tindakannya sendiri. Dia tahu dia tidak bisa meminta Yesus untuk menyembuhkannya. Dia bergerak dengan cara tersembunyi. Motivasi untuk bertindak dengan cara ini adalah keyakinan bahwa “menyentuhnya” pasti akan membawa kesembuhan dari penyakitnya dan keselamatannya.

Ketika Wanita menerobos Budaya Patriaki dan Aturan Kemurnian

Dengan bertindak demikian, wanita itu berani mengesampingkan dua penghalang yang ada di depannya, yakni budaya patriarki dan aturan mengenai kemurnian. Wanita tersebut sedang mendelegitimasi sistem hegemonik dan dominatif yang sudah mapan. Dia menantang batas-batas tatanan yang melegitimasi status quo kaum laki-laki. Dia mendapatkan kesembuhan dan Yesus merasakan kekuatannya keluar darinya. Keajaiban itu timbal balik, bukan sepihak. Kontak fisik ini membuktikan bahwa mitos kontaminasi yang melekat pada pendarahan wanita (Im. 15:19-30) adalah salah. Allah tidak menghendaki ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara semua putra-putrinya.

Baca juga :  AKU DAN DIA (PEREMPUAN) ADALAH SAMA

Dengan perspektif ini, Kinukawa menegaskan si perempuan melambangkan stigma kewanitaan yang setiap perempuan pikul. Namun, tersentuh olehnya, Yesus, pertama, dituntun untuk membuktikan bahwa penghalang kultus yang dibuat antara perempuan dan laki-laki oleh hukum kemurnian adalah tidak sah. Kedua, dengan berbicara dengannya secara pribadi di depan umum, dia telah meruntuhkan penghalang sosial “kehormatan” yang dibatasi untuk laki-laki. Dari dua poin ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kebiasaan menghindari darah, yang pasti terkait dengan struktur patriarki masyarakat, tidak lagi efektif untuk melindungi yang murni. Refleksi teologis ini memiliki implikasi sosial dan eklesial yang dalam bagi Gereja.

Implikasi Eklesial

Dalam konteks Gereja Jepang, Kinukawa melihat bahwa Gereja lebih fokus pada isu-isu kelas menengah dan menihilkan isu sosio-politik orang miskin. Kenyataan eklesial ini menantang kita untuk secara serius membiarkan diri disentuh oleh yang paling mendesak. Salah satu yang paling mendesak saat ini adalah persoalan ketertindasan perempuan. Gereja ditantang untuk meneriakan tangisan dan pendarahan akibat derita yang sudah dilembagakan oleh tata sosio-kultural Jepang.

Sumber Rujukan

  • Hisako Kinukawa, “The Story of The Hemorrhaging Woman (Mark 5:25-34) Read from A Japanese Feminist Context”, dalam Biblical Interpretation Vol. 2., Number 3 (1994), 283-293.
  • Hisako Kinukawa, “Sexuality and Household: when “cultural reading” supersedes and skews the meaning of texts”, 147-170.