Opini  

Feminisme dalam Cantik itu Luka

Gambar ini menunjukkan sebuah potret perempuan yang sedang terluka. Karena itu memiliki hubungan dengan kata kunci opini yang berjudul Feminisme dalam Cantik itu Luka.
Feminisme dalam Cantik itu Luka. Picture by pixabay.com

ClaretPath.com – Feminisme dalam Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, seorang penulis Indonesia yang terkenal. Novel ini merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia. Melalui cerita yang menarik dan kompleks pembaca dapat melihat secara tajam isu-isu sosial, politik, gender, dan budaya masyarakat.

Dewi Ayu tokoh utama dalam novel Cantik itu Luka

Novel ini bercerita tentang seorang wanita bernama Dewi Ayu yang adalah wanita paling cantik di desanya. Namun, kecantikannya ini tersembunyi di balik luka-luka dan pengorbanan yang telah dia alami. Dewi Ayu adalah seorang pelacur yang tinggal di desa Halimunda selama periode kegelapan dan ketidakstabilan politik di Indonesia. Kisah perjalanan hidup Dewi Ayu yang sarat dengan tragedi, simbolisme, dan penindasan gender.

Pertama-tama, Dewi Ayu lahir dengan kecantikan yang luar biasa. Meski ibunya ingin menyembunyikan keberadaannya, Dewi Ayu tetap tumbuh menjadi wanita yang menyita perhatian banyak pria. Namun, nasib buruk Dewi Ayu mulai menetas ketika seorang bekas tentara penjajah Jepang memperkosanya. Kejadian ini tidak hanya menghancurkan kecantikannya, tetapi juga merenggut kebebasan dan martabatnya.

Kedua, tragedi keluarga Dewi Ayu. Dewi Ayu memiliki empat anak dari empat pria berbeda. Dan semua anaknya terlahir dengan keanehan fisik. Mereka mewarisi nasib buruk ibu mereka dan menjadi seolah kutukan keluarga. Kehidupan mereka pun penuh dengan kekerasan dan penderitaan, serta terusir dari masyarakat karena penampilan yang berbeda.

Ketiga, simbolisme. Dewi Ayu sendiri melambangkan Indonesia yang terjajah dan diperkosa oleh kekuatan asing. Anak-anaknya yang memiliki keunikan fisik menjadi simbol kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Melalui simbolisme, Eka Kurniawan menyampaikan pesan tentang penindasan dan kegagalan sistem yang ada.

Meski hidupnya penuh dengan tragedi, Dewi Ayu tetap bertahan dan berjuang untuk melindungi anak-anaknya. Ia mendedikasikan hidupnya untuk melayani pelanggan dan mendidik anak-anaknya. Meskipun penuh dengan penderitaan, Dewi Ayu tetap setia pada prinsip hidupnya dan bertindak dengan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Meski kisah Dewi Ayu penuh dengan tragedi dan kesengsaraan, ia mengajarkan tentang ketahanan dan kemampuan manusia untuk bertahan dalam lingkungan yang keras.

Baca juga :  Kamu Nanye  Kerusuhan? Hobbes Menjawab!

Daya simbolisme novel Cantik itu Luka

Penggunaan bahasa yang khas dan imajinatif menciptakan sebuah novel yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memaksa pembaca untuk memikirkan makna yang ada di balik setiap halaman. Selain itu, novel ini juga menyoroti pembahasan tentang peran perempuan dalam masyarakat. Melalui karakter Dewi Ayu, Eka Kurniawan mengkritik budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia. Dewi Ayu adalah seorang perempuan yang mengalami berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan, tetapi dengan kekuatan dan ketangguhannya, ia mampu bertahan dan melawan.

 Di sisi lain, novel ini juga menggambarkan warisan kolonial di Indonesia. Eka Kurniawan menyelipkan sejarah dan mitos dalam ceritanya, menghadirkan dunia yang penuh kontradiksi dan ketidakadilan. Melalui karakter-karakter yang hidup dalam latar belakang sejarah, Eka Kurniawan menggambarkan perjuangan rakyat kecil dalam menghadapi penindasan dan keterbatasan.

Novel Cantik itu Luka” juga menggambarkan kehidupan masyarakat yang kompleks di Indonesia, terutama dalam konteks politik dan korupsi. Eka Kurniawan secara sinis mengkritik politikus yang korup dan licik, serta menampilkan sisi gelap dari kehidupan politik Indonesia. Novel ini memberikan ruang untuk refleksi terhadap kenyataan politik yang tidak jarang melibatkan korban dan keadilan yang hilang. Novel ini juga membawa tema percintaan dengan cara yang unik. Eka Kurniawan menceritakan kisah cinta yang rumit dan penuh gejolak emosi, menciptakan hubungan yang tidak biasa antara karakter-karakternya. Melalui kisah cinta yang rumit ini, Eka Kurniawan menggambarkan kerentanan dan ketidakpastian dalam percintaan, serta dampak-dampak yang dapat timbul dari hubungan yang kompleks

Aspek Feminisme Novel Cantik itu Luka

Bentuk penghargaan terhadap martabat perempuan sudah menjadi diskusi yang sangat ramai. Itulah yang jiwa dari Gerakan feminism. Feminisme merupakan gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender, memberikan hak yang sama bagi perempuan; sebagaimana kepada laki-laki. Feminisme mungkin lahir dari barat. Tetapi Gerakan itu ada juga di Indonesia. Salah satunya di novel ‘cantik itu luka’ karya eka kurniawan. Novel ini menggambarkan perempuan-perempuan di Indonesia yang hidup dalam budaya patriarki yang melekat kuat. Mereka berhadapan dengan berbagai kesulitan dan kesengsaraan karena adanya ketidakadilan gender.

Baca juga :  Guratan Makna Sosial-Politik Sawah Lodok dalam Pijar Filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas

Tanggapan Gereja terhadap Gerakan feminisme

Tanggapan Gereja terhadap feminisme dalam novel ini juga menjadi sorotan yang menarik. Gereja sering kali menyelubungi pandangan patriarkis dan menekankan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri. Dalam novel ini, karakter ibu Srintil sangat terpengaruh oleh agama dan bisa dikatakan bahwa Gereja lebih menghambat kemajuan feminisme dan kesetaraan gender ketimbang mendukungnya. Bu Srintil menghadapi penderitaan dan penindasan sepanjang hidupnya karena dia tidak memenuhi harapan sebagai seorang ibu dan istri yang saleh menurut ajaran Gereja.

Namun, ada juga karakter-karakter perempuan lain dalam novel ini yang semangat dan tegas dalam mencari kebebasan. Mereka melawan budaya patriarki dengan mengambil jalur yang berbeda. Mereka melawan norma-norma sosial yang membatasi perempuan untuk berkembang dan mengejar apa yang mereka impikan. Keberanian dan pemberontakan mereka menunjukkan bahwa feminisme tetap relevan dan penting, bahkan di tengah agama dan budaya yang membatasi dan mengekang perempuan.

Untuk apa feminisme dalam Gereja

Dalam banyak aspek Gereja, peran dan akses perempuan sering terbatas. Namun, feminisme dalam Gereja bertujuan untuk mengubah pandangan ini dan memastikan bahwa perempuan memiliki tempat yang setara dalam penyembahan, pelayanan, dan kepemimpinan Gereja. feminisme dalam Gereja mendorong solidaritas dan dukungan antara perempuan Gereja. Tujuan utamanya adalah memperjuangkan hak-hak perempuan Gereja, termasuk hak untuk menyampaikan khotbah, memimpin pelayanan, dan ikut serta dalam pengambilan keputusan Gereja. Gerakan ini juga mencoba untuk mengatasi prasangka dan stereotip gender yang masih ada dalam Gereja, dan bekerja sama dengan laki-laki Gereja untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil. [1]

Feminisme dalam Gereja juga mencoba menghadapi teologi patriarkal yang sering kali mendasari praktik diskriminatif dan pengucilan perempuan. Gerakan ini menafsirkan kembali kitab suci dengan sudut pandang gender yang lebih setara, menekankan nilai-nilai seperti kerjasama, keadilan, dan penghargaan terhadap keberagaman. Dengan melibatkan perempuan dalam pemikiran teologis, feminisme dalam Gereja berusaha untuk membangun pemahaman yang lebih inklusif terhadap peranan dan panggilan mereka dalam iman Kristen.

Kritik feminism (pasca kolonial) dalam novel Cantik itu luka

Feminisme merupakan gerakan yang telah menjadi bagian penting dalam perjuangan kesetaraan gender di seluruh dunia. Namun, seperti halnya gerakan lainnya, feminisme juga memiliki kritikan-kritikan tertentu yang muncul dalam konteks pascakolonial. Model ini menyoroti ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat yang telah lepas dari kekuasaan kolonial..

Baca juga :  Dobrakan Feminisme Hisako Kinukawa

Selain itu, kritikan feminisme dalam konteks pascakolonial juga mencerminkan keterkaitan antara berbagai bentuk ketidakadilan sosial. Feminisme yang hanya berfokus pada isu-isu gender saja sering kali gagal memperhatikan ketidakadilan sosial lainnya, seperti ketidakadilan rasial atau kelas. Dalam konteks pascakolonial, ketidakadilan gender sering kali terkait erat dengan ketidakadilan sosial lainnya yang dialami oleh masyarakat yang masih merasakan dampak penjajahan. Oleh karena itu, kritikan feminisme dalam konteks pascakolonial menekankan pentingnya memahami dan memperjuangkan kesetaraan gender dalam kaitannya dengan kesetaraan sosial dan ekonomi secara keseluruhan.

                    Pandangan khusus mengenai feminisme adalah penderitaan. Banyak kali kaum feminis dianggap tidak mampu bersaing dalam rana apapun. Begitupun dalam novel Cantik itu Luka, dimana Dewi Ayu sang tokoh utama memiliki suatu sifat penderitaan tersebut. Ini disebabkan oleh suatu budaya patriarki yang sangat tinggi. Banyak alih-alih khusus merebut nuansa hangat perempuan untuk berdamai. Dalam novel ini tersingkap melalui ungkapan Hasrat seksual laki-laki yang dilampiaskan kepada perempuan. Seolah  perempuan adalah objek seksual belaka.

Eka Kurniawan menggambarkan latar cerita pada masa penjajahan Belanda. ia menghadirkan peran tokoh utama, Dewi Ayu, sebagai perempuan yang terjebak di dalam dunia prostitusi. Peranan yang digeluti Dewi Ayu sebagai pekerja seks di era kolonial membuatnya seakan-akan tidak memiliki pilihan lain selain menikmati apa yang telah menjadi pekerjaannya sehari-hari.[2]  Ini merupakan suatu bingkai fiksi yang mana    ingin menampilkan suatu pandangan khusus mengenai perendahan martabat perempuan oleh laki-laki.


[1] Albertus Purnomo, Dari Hawa sampai miryam, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hal. 56

[2] S. Endraswara,. Metodologi Penelitian Sastra. (Yogyakarta: CAPS. 2013) hal. 143