Penaclaret.com – Fatima Mernissi lahir di Maroko tahun 1940, di sebuah kota bernama Fez. Ia lahir dalam lingkungan harem yang dilukiskannya sebagai dinding-dinding tinggi dengan gerbang raksasa dan pintu terukir membatasi semua yang berada di dalamnya. Hanya anak-anak yang boleh keluar dari gerbang atas izin orangtua, tetapi perempuan dewasa tidak diperkenankan.
Keluarga Mernissi di kota Fez terbagi menjadi dua kelompok yakni pro harem (nenek Lalla Mani dan Ibu Chama, Lalla Radia) yang menganggap harem sebagai hal baik. Sedangkan kelompok kedua, yaitu Ibunya Mernissi, neneknya Lalla Yasmina, Chama dan bibi Habiba adalah kelompok yang anti harem. Ibunya sering melakukan protes terhadap pemisahan ruangan antara keluarganya dengan keluarga pamannya, yang secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan kepadanya gagasan pembebasan dan pemberontakan perempuan . Ia melihat bagaimana harem itu sendiri telah membuat masyarakat melihat laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan seakan ditakdirkan untuk pasrah melihat ketidakadilan setiap hari.
Di dalam harem, Mernissi menyaksikan perampasan hak kaum perempuan dengan cara yang sangat menyakitkan. Mereka sungguh diperlakukan secara tidak adil. Mereka tidak diperkenankan untuk keluar rumah semaunya. Mereka harus selalu meminta izin jika ingin keluar dan tidak diperkenankan untuk bepergian sendiri. Kebanyakan waktu mereka hanya dihabiskan dalam rumah. Ia kemudian menggambarkan kerinduan yang mendalam dari para perempuan di dalam harem untuk sekadar memandang langit dan bermimpi tentang hal-hal sederhana seperti berjalan dengan bebas di jalanan. Ia sungguh merasakan betapa kebebasan para perempuan di dalam harem sangat dibatasi.
Mernissi – tidak seperti perempuan muslim Maroko lain- tampaknya memiliki nasib yang agak baik. Ia lahir dalam suasana โreformasiโ pemikiran, dimana ada sebagian orang yang terinspirasi oleh gagasan Muhhamad Abduh tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial. Mereka berusaha memberikan pendidikan yang setara bagi laki-laki dan perempuan serta berjuang untuk menghapus poligami dan mengangkat status perempuan menjadi setara dengan laki-laki. Karena itu, Mernissi pun diperkenankan untuk mengenyam pendidikan tinggi, dan banyak mendapat inspirasi dari gagasan-gagasan Muhhamad Abduh.
Mernissi dengan jujur mengatakan bahwa ia memiliki hubungan perasaan yang bertentangan dengan Al-Quran, sebab di sekolahnya Al-Quran diajarkan dngan cara yang sangat keras. Ia justeru lebih menyukai cerita Al-Quran yang dibuat neneknya Lalla Yasmin. Ia menulis: โNenek saya yang buta huruf, Lalla Yasmina, yang telah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis” .
Dalam tahap awal pemikirannya, ia lebih dipengaruhi neneknya. Baginya, sang nenek adalah orang yang kritis. Dari neneknya ia mendengar cerita tentang Rasul dan Madinah. Ia bahkan sangat terinspirasi dengan cerita-cerita sang nenek yang melukiskan bagaimana indahnya kehidupan di Madinah dan persamaan dihargai saat itu oleh Nabi. Cerita-cerita inilah yang kemudian membuat dirinya terobsesi dengan Islam Madinah. Ia mengatakan bahwa sang nenek adalah orang yang sangat peduli terhadap nasib kaum perempuan Maroko, tidak seperti lainnya yang seolah tidak acuh dengan berbagai bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Baginya, sang nenek adalah orang pertama yang menyadarkannya akan ketidakadilan perlakuan yang menimpa perempuan.
Selain sang nenek, ia juga dipengaruhi oleh ibunya sendiri, yang selalu percaya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama. Ia dibuka matanya sehingga sanggup melihat bahwa perasaan superioritas laki-laki terhadap perempuan sesungguhnya sangat bertentangan dengan Islam yang sejati.
Selain nenek dan ibunya, Mernissi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Barat tahun 1990-an yang sangat demokratis. Ia terkejut ketika melihat bagaimana dunia Barat tidak pernah membeda-bedakan dalam segala hal. Hak-hak asasi benar-benar ada dan diterapkan dalam kehidupan. Pengalaman-pengalaman di dunia Barat-lah yang kemudian banyak mempengaruhi dan membentuk pemikirannya, terutama yang menyangkut hak-hak asasi perempuan .
Semua ini membawa dia sampai pada kesimpulan bahwa dalam kehidupan sosial, laki-laki dan perempuan sejatinya memiliki hak yang sama. Ruang gerak mereka tidak sebatas di dalam rumah, tetapi seluas dunia. Karena itu, mereka harus dihargai, diberi peran yang pantas dan dilibatkan dalam segala bidang kehidupan.
Pemikiran-pemikiran Mernissi secara khusus bertujuan mengangkat martabat kaum perempuan yang sudah lama jatuh dalam jurang ketidakadilan. Ironisnya pelecehan terhadap martabat kaum perempuan disebabkan oleh berbagai kultur dalam Islam yang seolah mengiyakan ketidakpantasan perempuan untuk memiliki tempat yang setara atau lebih tinggi dari laki-laki. Parahnya, ada hadits-hadits tertentu yang justru mengafirmasi ketidakadilan ini. Berbekal dorongan untuk menyelamatkan perempuan dari berbagai ketidakadilan, Mernissi kemudian dengan berani membongkar semuanya.
Mernissi bisa dikatakan sebagai tokoh pengkritik bahkan pemberontak terhadap berbagai hadits yang menurutnya tidak logis khususnya yang berkaitan dengan kaum perempuan yang kemudian memunculkan misogini (kebencian terhadap perempuan). Salah satunya adalah hadits dari imam Bakhari yang melukiskan bagaimana Rasullulah berkata bahwa “Anjing, keledai dan perempuan, akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di hadapan mereka, menyela di antara orang yang shalat dan kiblat”. Ia merasa terguncang karenanya dan mengharapkan agar hadits seperti itu harus dihilangkan, sebab bagaimana mungkin Rasululah berkata seperti itu?
Ia juga mengkritik hadits tentang kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan yang menurutnya sangat menyakitkan. Dari angka-angka statistik pemilihan umum di Maroko, ditunjukkan perbedaan yang sangat mencolok antara laki-laki dan perempuan. Meskipun undang-undang dasar Maroko memberikan hak bagi kaum perempuan untuk memilih dan dipilih, tetapi kenyataan politis hanya memberikan kesempatan memilih bagi mereka. Menurutnya, ini disebabkan oleh salah satu Hadits yang menyebut bahwa Rasullulah pernah bersabda: โTidak akan sukses kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan . Menurutnya, hadits ini merupakan bentuk ketidakadilan gender yang dilegitimasi melalui konstruksi budaya dan agama.
Jika ditilik lebih teliti dan kritis, banyak hadits yang menurut Mernissi sama sekali tidak mencerminkan dukungan terhadap martabat perempuan. Dan semua itu dibongkar Mernissi dengan tujuan agar orang melihat bahwa perempuan pun memiliki potensi yang sama dengan laki-laki.
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.