Alegori Tanur Pater Claret dalam Persimpangan Gaya Hidup Generasi “TikTok”

Alegori Tanur Pater Claret dalam Persimpangan Gaya Hidup Generasi “TikTok”
Picture from www. shyaki.com

ClaretPath.com – Alegori Tanur Pater Claret dalam Persimpangan Gaya Hidup Generasi “TikTok

oleh Stefanus Epifani Aliuk (Epox)

Pengantar

Generasi TikTok adalah sebutan untuk mereka yang sering kali membuat video pendek/konten di ponsel untuk mencari viewer. Juga tidak menutup kemungkinan mendapatkan uang. Lucunya, fenomena ini mengalami sedikit kekonyolan. Akibat keseringan bermain TikTok generasi itu mengalami kemunduran dalam berpikir dan bertindak. Mereka terkesan lebih instan. Tanpa perlu mendahului suatu proses panjang. Apalagi fenomena TikTok ini  dirancang dengan kecepatan informasi yang tidak bisa dibendung. Orang dibuat seakan-akan mengalami kecanduan untuk selalu meng-klik pada layar gadget.

Kaum muda dibuat seolah tidak berdaya dalam pukat teknologi. Kita dapat melihat, kalau generasi saat ini condong memiliki cara hidup yang cepat dan tidak mau berlama-lama layaknya jari yang selalu scroll pada layar gadget. Hal ini mungkin bisa membuat orang celaka dalam membentuk hidupnya karena terlalu fokus dengan layar gadget sehingga mengabaikan proses di dalamnya.

Kaum muda sekarang seolah-olah berusaha memperlihatkan bahwa kepribadian manusia itu dibentuk oleh dunia maya. Dengan hadirnya TikTok orang bisa mengekspresikan dirinya tanpa harus ada bantuan dari orang lain. Boleh saja kaum muda sekarang memainkan ponsel, tetapi yang terpenting perlu ada sikap kebijaksanaan dalam menggunakannya sambil tetap menjaga relasi dengan sesama dalam persekutuan cinta kasih.

Kebajikan Tanur Pater Claret

Pengalaman tanur (tempat si pandai besi menempa besi) adalah salah alegori yang dipakai oleh Pater Claret untuk menjelaskan bagaimana misionaris sejati itu dibentuk. Tanur  ibaratnya seperti kita mendaki sebuah gunung. Butuh kemauan, ada komitmen, dan penuh risiko. Bila kita telah tiba di puncak, kita akan mengalami pengalaman ketakjuban akan pemandangan yang sungguh membahagiakan. Setelah itu kita akan siap turun kembali dan mengisahkannya pada orang lain. Jika, dilihat dengan fenomena sekarang kaum muda lebih mengisahkan apa yang mereka dapat dengan mengonten di TikTok ataupun di Youtube. Sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Pater Claret. Menurut pater Claret pengalaman tanur di bengkel si pandai besi merupakan ruang interaksi, atau jika tidak berlebihan, adalah suatu jalan yang mengarahkan pandangan pribadi kepada wajah Allah, secara muka ke muka. Ibaratnya seorang yang berusaha menyoroti sebuah patung dengan sorotan cahaya lampu sorot. Bukan keindahan lampu sorot ataupun cahaya lampu sorot itulah yang menjadi tujuan, melainkan keindahan patung itulah yang menjadi tujuan.    

Pada tahap inilah orang muda akan menemukan nilai dari seorang Pater Claret yang juga membentuk identitas misioner kaum muda yang hanya mau mengekspresikan dirinya pada Allah dan bukan gadget. Tanur bagi para orang muda  adalah proses untuk mengenali diri yang sesungguhnya. Kita dapat melihat bahwa manusia mengalami pergeseran eksistensi oleh pelibasan teknologi dalam berkomunikasi. Namun, besi yang telah ditempa secara terus-menerus dalam bengkel si pandai besi akan mulai memperlihatkan bahwa kehidupan ini bukan soal sekali klik dan langsung muncul. Seperti tanur, mula-mula seorang pandai besi akan memulai mencari dan memukul besinya dengan suatu proses yang panjang “agar mendapat bentuk yang sesuai dengan keinginan pemiliknya”.

Baca juga :  Anak Kecil: Model Kepemimpinan

Pater Claret dengan berbagi pengalamannya akan tanur memberikan gambaran jelas bagaimana kaum muda sekarang harus mengambil sikap untuk mau dibentuk layaknya besi ditangan si pandai besi. Dalam autobiografinya, yang dikisahkan Claret kepada kita merupakan pengalaman yang meneguhkan. Dia menulis dalam autobiografinya: “Di hadapan saya, tidak ada yang berani mengucapkan kata-kata jahat atau melakukan percakapan yang tidak sopan. Pada suatu kesempatan, saya kebetulan berada dalam perkumpulan  pemuda, yang biasanya saya hindari karena saya tahu bahasa yang mereka gunakan, dan salah satu yang lebih tua berkata kepada saya, ‘Antoni, pergilah, karena kita akan membicarakan hal-hal buruk’. Saya berterima kasih padanya karena telah memperingatkan saya dan tidak pernah bersama mereka lagi” (Aut., no. 53).[1] Dari kisah Pater Claret ini memberikan suatu nilai yang penting bagi kaum muda saat ini. Hadirnya TikTok membuat orang memiliki cara perkataan yang tidak sopan. Laman comment dijadikan sebagai medan caci-maki antar satu sama lain. Kata-kata jorok diumbar layaknya menelan nasi sebegitu mudahnya masuk tanpa mengunyah dengan etika.

Pater secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa orang muda yang ingin menjadi sahabat sejati Kristus, berguna bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, harus berhati-hati untuk tidak mendengarkan, mengucapkan kata-kata buruk dan menyatu dengan pengalaman pesimistis, eksibisionis dan menyimpang. Kita dalam mutasi penuh teknologi dengan begitu keras menarik kaum muda saat ini kepada kehendak Allah. Banyak anak muda yang tidak memiliki kepekaan dan tidak memiliki teladan yang baik untuk ditiru. Pengaruh teknologi bisa membawa nilai positif dan negatif kepada kaum muda. Kaum muda perlu menyebarkan potensi yang baik dalam dirinya, konteks di mana seseorang berkembang sangat menentukan.

Pater Claret dalam Diri Kaum Muda

Dalam hal ini, “menjadi diri sendiri” saat hidup bersama orang lain itu perlu. Ada risiko melupakan prinsip seleksi yang luar biasa. Ini adalah pertanyaan untuk menegaskan. Tentang menguji dan membuktikan iman dan akal seseorang. Seseorang harus berperilaku bertanggung jawab sambil berhati-hati terhadap peniruan buta dan perintah untuk visibilitas yang dipaksakan kepada kita oleh teknologi informasi dan komunikasi baru seperti TikTok. Jauh lebih tidak bijaksana jika kita berkomitmen untuk melakukan apa yang orang lain lakukan. Krisis kaum muda sekarang adalah mereka mengidentifikasikan atau meniru secara buta apa yang ditampilkan Viral dalam TikTok. Kewaspadaan saat ini adalah anak muda tidak mampu membentuk jati diri yang sesungguhnya. Segala pengekspresian diri dilakukan pada layar gadget. Keprihatinan khusus terhadap “mengikuti sikap” dan “kecenderungan meniru yang buta” pada teknologi menjadi persoalan terbesar kaum muda saat ini. Oleh karena itu Pater Claret menarik perhatian anak muda untuk menghindari menjadi orang yang “buta” dalam iman.

Baca juga :  Interkulturasi dan Harmoni: Cara Bersikap di Hadapan Keragaman Budaya

Bengkel Si Pandai Besi rasanya diksi yang tepat untuk merangkum kehidupan orang muda saat ini yang mengabaikan proses dan mau menunggu hasilnya saja. Pater Claret dengan alegori “Tanur” berusaha mengungkapkan kebersamaan dalam kaum muda. Bagaimana membentuk diri yang baik agar layak di hadapan wajah Allah. Bagaimana menggunakan mata Claret (Pendiri Kongregasi Claretian) membaca dinamika perjuangan kaum muda yang bukan lahir dari mental sekali klik, tetapi mentalitas yang bergerak dari kebaruan perjumpaan yang dangkal sampai pada kemendalaman batin yang mengikat berkat pengalaman kebersamaan yang terulang. Baik dari canda bersama, cultural night bersama, sharing dan bahkan berpijak dalam tatanan iman yang kolektif secara komunal. Wajah yang sama terus berpapasan di setiap perhentian langkah hidup sehari-hari. Semuanya ini menghantar kaum muda sampai pada pemahaman bahwa sejatinya kaum muda sedang diarahkan pada jalan yang sama yakni memandang Tuhan dalam tanur hati masing-masing.

Bila kita membaca pengalaman tanur Claret di Vich-Spanyol, kita akan menemukan suatu keterpisahan tegas antara euforia kaum muda dan semangat mereka. Claret mengidentifikasi dirinya sebagai sebatang besi yang dibakar dalam api yang bernyala. Setelah itu dipukul berulang kali dalam ritme yang sama hingga besi itu mendapat bentuk seturut keinginan si Pandai Besi. Bila diterjemahkan ke dalam konteks sekarang, Orang-orang muda pun sebetulnya perlu berusaha memfaktualkan Claret dalam pengalaman tanur hati mereka masing-masing. Mereka harus menjadi besi yang rela membiarkan diri mereka dibakar dalam keberagaman (furnace), dikeluarkan dan dipukul berulang kali dalam irama yang sama dalam pengalaman kebersamaan.

Pater Claret dengan gaya alegori tanurnya berusaha mengundang para kaum muda di dunia untuk mengubah penampilan mereka di depan berbagai mutasi dunia saat ini. Kaum muda yang ingin bertanggung jawab dan mencita-citakan kehidupan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, hendaknya belajar, tidak hanya untuk menemukan panggilannya yang spesifik di tengah-tengah keragaman panggilan, tetapi juga untuk mengambil risiko, untuk berkomitmen pada dirinya sendiri dan untuk melayani sambil membangun kepribadiannya di atas dasar yang kokoh dan konsekuen. Menjadikan masa muda yang kaya akan pengalaman bersama Kristus, yakni masa yang diberkati oleh Tuhan melalui pendewasaan pribadi, dan tentu saja mengandalkan kasih karunia Tuhan.

Baca juga :  Keotentikkan Diri

Kesimpulan

Kemurnian iman seseorang teruji bila ia menghadapi tantangan dalam kehidupannya. Seperti emas diuji dalam tanur api. Dalam dunia modern sekarang, tantangan  iman  yang  dominan  mencakup  ateisme, sekularisme dan materialisme.[1] Kaum muda perlu membangun gaya hidup kritis alkitabiah, yaitu suatu gaya hidup yang terus mengecek kebenaran informasi yang diterima di media sosial dengan kebenaran Firman Tuhan. Kaum muda ditantang untuk peka dan mampu membeda-bedakan informasi berdasarkan tuntunan Firman Tuhan.[2]

Intelektual Kristen perlu hadir “mendarat” di segala bidang kehidupan dan segala perubahan zaman. Hidup terintegrasi artinya hidup yang tidak ter­pecah atau memisahkan diri dari per­kembangan teknologi dan tetap menjadi orang yang mencintai Tuhan Yesus yang mempunyai spesialisasi di bidangnya masing-masing. Mengikuti teladan Pater Claret, Anda tidak bisa hanya menjadi penonton atas keadaan. Ambillah bagian di dalamnya, untuk mengubah realitas dosa yang kaum muda temukan di tengah dunia yang terus berubah ini. Pater Claret ingin agar kaum muda berusaha untuk memberikan diri mereka dijamah oleh Sabda Allah dan tanda-tanda zaman, dan dalam terang Sabda dan tanda-tanda zaman membaca kembali sejarah dan karisma mereka sendiri, mengingat bahwa hidup di zaman ini seperti air, jika tidak mengalir itu akan membusuk.

Sumber Rujukan

Hendrikus Midun & Yuliana Yarti Jenia,

Hubungan Penghayatan Iman Katolikdengan Nilai Kesetiaan Perkawinan Katolik, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014, Hal 142–149.

Ang Wie Hay,

Gaya Hidup Digital Kristiani Era Globalisasi, Jurnal: Youth Ministry, Vol 3 No 1, Mei (2015).

Christián Kasema CMF,

Youth, A Time Of God’s Blessing And Personal Maturation, diakses dari, https://www.claret.org/youth-a-time-of-gods-blessing-and-personal-maturation/,  16/06/2023, 9:45 WIB

Sant’Antoni Maria Claret,

Autobiografia. Diambil dari, https://www.claret.org/our-congregation/st-anthony-mary-claret/


[1] Hendrikus Midun & Yuliana Yarti Jenia, Hubungan Penghayatan Iman Katolikdengan Nilai Kesetiaan Perkawinan Katolik, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014, hlm. 142-149, hal 143.

[2] Ang Wie Hay, Gaya Hidup Digital Kristiani Era Globalisasi, Jurnal: Youth Ministry, Vol 3 No 1, Mei (2015), hal 57.


[1] Christián Kasema CMF, Youth, A Time Of God’s Blessing And Personal Maturation, diakses dari, https://www.claret.org/youth-a-time-of-gods-blessing-and-personal-maturation/, Pada Jam 9:45, 16/06/2023.