Agama Shinto dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang

Agama Shinto dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang
Picture by blogspot.com

ClaretPath.com – Agama Shinto dan Kehidupan Sosial Masyarakat di Jepang

Pengantar

            Jepang adalah negara yang terkenal dengan kekayaan kebudayaannya atau biasa disebut sebagai negara Kulturnation yang salah satu ciri uniknya adalah rasa solidaritas yang tinggi dengan sesama. Ada banyak literatur yang dapat saya jumpai mengenai kehidupan sosial, agama dan kebudayaan di Jepang, namun minat sebagian orang Indonesia kurang terhadap terhadap masyarakat Jepang sangatlah minim. Sehingga semakin kuat keinginan dalam diri saya untuk memperkenalkan pola kehidupan orang Jepang agar terlihat “lebih menarik” dari sebelumnya.

Selain itu, secara garis besar Agama Shinto penting sekali untuk dipelajari. Bagaimana tidak, agama ini sedikit banyak telah mempengaruhi budaya kita melalui penjajahan bangsa Jepang ke Indonesia. Keunikan agama Shinto perlu dikaji dengan baik menggunakan pisau analisa teologis dan filosofis. Ada begitu banyak konsep teologi keselamatan agama Shinto yang mirip dalam kaitannya dengan konsep keselamatan agama Kristiani, yang cukup menarik untuk dikaji yakni bagaimana hidup sebagai saudara dengan alam ciptaan seperti yang diproklamirkan oleh St Fransiskus dari Asisi.

“Kami” dalam Agama Shinto Jepang

Shinto merupakan agama asli Jepang. Kata Shinto berasal dari bahasa Jepang yang sering diterjemahkan dalam bahasa lain sebagai “Jalan para dewa”. Hal ini mengacu pada pemujaan masyarakat Jepang terhadap berbagai macam “Kami” (dewa). Dalam legenda tersebut dipercayai bahwa dulunya alam semesta beserta isinya adalah satu bentuk yang tidak bisa dibedakan antara manusia, hewan, langit, ataupun bumi. Namun lama-kelamaan terpisah atas kedua unsur tersebut, unsur yang ringan membentuk langit, sedangkan unsur yang berat membentuk bumi.

 Dalam dunia Jepang modern, pemujaan tersebut ditandai dengan bentuk-bentuk ritual praktis dan kepercayaan yang terfokus pada kuil-kuil Shinto (jinja,“kami-places”) yang secara konstitusional terpisah dengan kuil Buddha. Shinto pada mulanya adalah agama bumi karena memercayai adanya jiwa dalam setiap dan makhluk hidup. Ajaran agama yang merupakan perpaduan antara paham animisme dengan pemujaan terhadap fenomena-fenomena alam. Agama Shinto sangat dikenal pada masa kekasiaran Meiji hingga pada akhir perang dunia II. Subjek ilahi yang mereka sembah disebut sebagai Kami. “Yang Ilahi” mereka yakini hadir dalam alam ciptaan atau dalam arti jelasnya mereka sebut sebagai Dewa, roh alam, atau sekedar kehadiran spiritual.

Eksistensi alam merupakan bentuk penyingkapan hadirnya Yang Ilahi. Dengan cara yang sangat sederhana, masyarakat Jepang kuno menganggap semua benda, baik itu hidup atau mati, dianggap memiliki roh atau spirit dalam hal ini agama Shinto dapat dikatakan mengalami percampuran dengan tradisi kepercayaan Budhisme. Semua ruh atau spirit tadi dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya tersebutlah yang akhirnya disebut Kami.[1] Dalam hal ini agama Shinto merupakan agama kosmik yang melihat bahwa “Yang Ilahi” hadir dalam ciptaan alam semesta berbeda dengan agama monoistik Abrahamistik yang melihat Yang Ilahi hadir dari luar ke dalam alam semesta.

Baca juga :  Menjunjung Tinggi Nilai Kehidupan

Dan Kami yangmereka sebut sebagai Yang Ilahi diyakini sebagai bentuk representasi suatu daerah dan dianggap sebagai roh yang mewakili daerah tersebut agar terhindar dari bencana atau nasib buruk. Namun Kami lainnya mewakili benda dan proses alami utama, misalnya Amaterasu, sang dewi matahari.[2] Dan Kami dalam pandangan mereka dilihat seperti sebuah cermin, merefleksikan semua yang ada di alam. Kekuatan dari Yang Ilahi terpantulkan melalui hadirnya alam. Yang Ilahi hidup dalam diri setiap maklhuk dia alam semesta. Agama ini menekankan kepercayaan kosmik. Dia (Yang Ilahi) bertindak dengan keadilan yang tidak memihak dan tidak menegang setitikpun kotoran. Apa yang ada di langit itulah Kami, di alam itulah Ruh dan dalam diri manusia itulah ketulusan. Jika ruh alam dan hati manusia suci dan jernih, maka mereka menjadi Kami.[3]

Dalam pandangan antropologisnya Agama Shinto meyakini bahwa “semua manusia adalah anak-anak Kami” yang artinya tiap manusia yang diberikan hidup oleh Kami dan kehidupannya adalah suci. Yang kedua, itu berarti kehidupan sehari-hari diciptakan oleh Kami dan oleh karena itu kepribadian dan kehidupan orang-orang patut dihormati. Seorang individu harus menghormati hak asasi manusia setiap orang sebagaimana dia sendiri ingin dihormati haknya.[4]

Izanagi dan Izanami

            Izanagi  dan  Izanami adalah Dewa-dewi  yang menempati  kedudukan  istimewa  dalam  agama  Shinto  Jepang. Mereka berdua diyakini sebagai pencipta lahirnya pulau Jepang. Izanagi mewakili sosok laki-laki (maskulin) sedangkan Izanami mewakili sosok perempuan (feminim). Dalam legenda tersebut dipercayai bahwa dulunya alam semesta beserta isinya adalah satu bentuk yang tidak bisa dibedakan antara manusia, hewan, langit, ataupun bumi. Namun lama-kelamaan terpisah atas kedua unsur tersebut, unsur yang ringan membentuk langit, sedangkan unsur yang berat membentuk bumi. Kalau dilihat konsep langit dan bumi dalam proses penciptaan hampir mirip dengan ajaran Konfisiusnisme. Agama Shinto sendiri mengalami proses hibriditas dengan aliran kepercayaan Konfisius dengan konsepnya mengenai Yin dan Yang. Yin mewakili langit dan Yang mewakili bumi.

Izanagi dan Izanami adalah Kami bagi agama Shinto dari kedua substansi ilahi tersebut mewarisi turunan anak yang bernama Jimmutenn, dia adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar jepang pertama kali. Dari hal ini menimbulkan kepercayaan dikalangan rakyat Jepang bhwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti kekaisaran tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Eksistensi kedua sosok ilahi tersebut memberikan keseimbangan dalam membangun relasi manusia dengan alam. Dan pembahasan mengenai dewa-dewi dalam mitologi Jepang dalam agama Shinto dijaga dan dilestarikan  dalam  berbagai  lini  kehidupan masyarakat di Jepang.[5] Bahkan ada yang menaruh kedua tokoh ilahi tersebut dalam film dan serial anime di Jepang hingga sekarang walaupun penggambaran mengenai kedua tokoh tersebut tidak jelaskan secara mendetail.

Baca juga :  Taman Nasional Komodo Tumbal Atas Kekuasaan?

Dengan meyakini bahwa setiap benda dan makhluk hidup di alam semesta ini berdiam Kami Gami di dalamnya sehingga para penganut agama Shinto diajarkan untuk menjaga dan merawat alam semesta ini. Kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik karena polanya cenderung tidak bersifat Vertikal, namun lebih banyak bersifat horizontal. Hal ini ditandai dengan hidup harmonis dengan alam demi memperoleh keselamatan di akhir hayat, karena pada dasarnya kedudukan manusia dengan segala maklhuk ciptaan adalah sama, namun berbeda dalam akal budi yang dimiliki oleh manusia.

Terkait dengan gagasan-gagasan yang ada diatas kita dapat melihat bahwa masyarakat Jepang pada umumnya sangat menekankan nilai keharmonisan manusia dengan alam sekitar. Alam semesta seolah-olah menjadi bagian dari tubuh. Mengedepankan kebijaksanaan untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan semesta. Alam dalam tradisi kepercayaan agama Shinto memiliki sifat ilahi. Manusia seolah-olah memiliki utang yang besar dengan berkat alam yang begitu melimpah disertai segala kekuatan spiritual yang terkandung didalamnya. Alam memiliki kekuatan ilahi yang menghidupkan memberikan kemakmuran, kesuburan, dan pertumbuhan yang baik perlahan membawa pada keselamatan.[6]

 Antara Alam, Budaya, dan Masyarakat

            Agama Shinto sendiri memiliki begitu banyak ritus syukur sebagai bentuk pengungkapan membalas kebaikan dari Kami yang telah memberikan berkat kepada mereka melalui alam semesta. Festival Matsuri ini dilakukan untuk sebagai bentuk silih akan datang nasib sial pada kehidupan mereka. Hal ini juga menjadi langkah tobat jikalau dalam hidup mereka menyimpang dari sistem tatanan alam yang berlaku. Kegiatan festival Matsuri menjadi sebuah tindakan alat kontrol bagi manusia menjadi pengingat untuk kembali kepada Sang sumber Ilahi. Dengan segala keindahan yang ada pada alam memberikan kesan ketakjuban pada manusia. Dan dari kesan ketakjuban itu merangsang manusia untuk mencari siapa yang menjadi dalang atas semua keindahan ini? rasa ketakjuban itu mengontrol mereka. Festival Matsuri menjadi aksi konkret atas rasa ketakjuban itu.

            Namun, didalam setiap keindahan alam tersembunyi sisi gelapnya. Alam semesta sebagai representasi Yang Ilahi ada kalanya memunculkan kemurkaan yang membuat manusia gemetar terhadapnya. Manusia melihat ini sebagai rasa ketidakpuasan Yang Ilahi kepada manusia karena berperilaku tidak senonoh kepada alam ciptaan. Tetapi, Jepang sendiri mempunyai kekuatan membangun kembali yang sungguh luar biasa. Walaupun Jepang merupakan langganan bencana alam, hal itu tidak membuat mereka luntur iman kepada Kami atau yang ilahi.

Bencana alam yang menimpa mereka ditanggung dengan disiplin iman yang kuat. Budaya Jepang kebanyakan sangat menekankan ramah-tamah, sopan santun, dan tak emosional ini menjadi keutamaan mereka dalam hidup yang mereka sebut gammang, semacam kesabaran dan rela untuk menanggung penderitaan. Namun pengorbanan yang dihidupi oleh orang Jepang berbeda dengan pengorbanan yang diyakini agama Kristiani barat yang lebih menekankan prinsip cinta kasih. Orang jepang lebih mendasarkan pengorbanan untuk mencapai tujuan yang hendak diraih dan hal ini bukan sesuatuyang bersifat religius melainkan lebih kearah nilai yang mengikat kebersamaan dalam sosial-budaya.

Baca juga :  Ekologi Hati ala Paus Fransiskus

Dalam tradisi kepercayaan orang Jepang tidak soal kehidupan baru setelah kematian. Motif-motif religius dengan melakukan tindakan baik agar masuk surga tidak banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Agama Shintoisme sendiri lebih berorientasi pada kehidupan yang terjadi saat ini, di dunia ini. Dengan adanya kematian perjalanan hidup seseorang telah selesai. Maka satu-satunya pegangan hidup mereka adalah sedapat mungkin berlaku sebaik-baiknya selagi masih hidup di dunia ini. Dan ukuran baik tidaknya seseorang dilihat dari seberapa jauh dinamika tingkah laku dengan sesama dalam mengejar tujuan Bersama sebagai nilai yang luhur.[7]  

Daftar Pustaka

Adriani, Sri Dewi Eksistensi,

Agama Shinto Dalam Pelaksanaan Matsuri Di Jepang, Jurnal Lingua Cultura, Vol.1 No.2 November 2007: 132-141.

Afrianti, Muflikhatun,

Dewi Izanami Dan Dewa Izanagi Dalam Agama Shinto Jepang, Jurnal: Religi, Vol. XIV, No. 2, Juli-Des2018: 169-193.

Ismatulloh, Muhammad Kholid,

Shinto Agama Endemik dari Jepang, Jurnal: Academia, diakses dari https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=izanagi+dan+izanami&btnG=.

Iwan, Madari,

Shinto Religiusitas Masyarakat Jepang, Diakses dari, https://elsaonline.com/shintoreligiusitas-masyarakat-jepang/. Diakses tgl 13 Oktober 2022.

Prakosa, Heru,

Penghuni Hutan dan Ancaman Gincu, Basis: Nomor 09-10, Tahun ke-67, 2018.

Shindunata,

Kekuatan Kultur dalam Pusaran Krisis Bangsa, Basis nomor 05-06, Tahun ke-60, 2011.

.


[1]Muhammad Kholid Ismatulloh,  Shinto, Agama Endemik dari Jepang, Jurnal: Academia, diakses dari https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=izanagi+dan+izanami&btnG= , Rabu, 11-Oktober-2022, Jam: 18:00, hal 3.

[2] Sri Dewi Adriani, Eksistensi Agama Shinto Dalam Pelaksanaan Matsuri Di Jepang, Jurnal Lingua Cultura, Vol.1 No.2 November 2007: 132-141, hal 135.

[3] Sri Dewi Adriani, Eksistensi Agama Shinto Dalam Pelaksanaan Matsuri Di Jepang, Jurnal Lingua Cultura, hal 135.

[4] Madari Iwan, Shinto Religiusitas Masyarakat Jepang, Diakses dari, https://elsaonline.com/shintoreligiusitas-masyarakat-jepang/. Diakses tgl 13 Oktober 2022.

[5] Muflikhatun Afrianti, Dewi Izanami Dan Dewa Izanagi Dalam Agama Shinto Jepang, Jurnal: Religi, Vol. XIV, No. 2, Juli-Des2018: 169-193, hal 173.

[6] Heru Prakosa, Penghuni Hutan dan Ancaman Gincu, Basis: Nomor 09-10, Tahun ke-67, 2018, hal 12.

[7] Sindhunata, Kekuatan Kultur dalam Pusaran Krisis Bangsa, Basis nomor 05-06, Tahun ke-60, 2011, hal 8.