Kamis, 17 Februari 2022, Pekan biasa VI
Bacaan I : Yak. 2:1-9
Bacaan Injil : Mrk. 8:27-33
Penaclaret.com – “Hidup hendaknya tidak hanya berdasarkan opini (negatif) orang lain tentang siapa dirimu, karena satu opini buruk yang tertinggal dalam dirimu cepat atau lambat akan berubah menjadi sebatang besi yang siap melengkapi bilangan batang besi yang masih kurang untuk membangun bui bagi dirimu sendiri. Di atas pendapat orang lain, pendapatmu sendiri adalah yang pertama.” Kutipan kecil ini saya sadur dari bagian akhir salah satu curhat singkat seorang perempuan paruh baya yang dimuat di “Ruang Renung”— salah satu Blog facebook—beberapa hari lalu. Alasan kutipan ini sengaja ditempatkan di bagian akhir curhat tadi, karena wanita itu (si penulis) mencoba menasehati dirinya sendiri, lantaran citranya telah menjadi buruk di kacamata orang lain. Karena itu, apresiasi, nasehat dan perhatian dari orang lain adalah hal yang mahal baginya.
Para Sahabat Pena Claret yang terkasih, Yesus dalam bacaan Injil hari ini sebenarnya mengetengahkan topik yang sama dengan rintihan wanita paruh baya di atas, meskipun dalam nada yang berbeda. “Kata orang siapakah Aku ini? Jawab mereka: ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis. Ada juga yang mengatakan Elia, ada pula yang mengatakan seorang dari para nabi…. Ia bertanya kepada mereka: tetapi apa katamu, siapakah Aku ini? Maka, jawab Petrus, Engkau adalah Mesias” (Bdk. Mrk. 8:28-29). Dengan lain kata, pendapat pribadi mengenai seorang pribadi atau sesuatu sangatlah penting.
Berhadapan dengan realitas yang seringkali tidak menentu dan selalu berubah-ubah ini, krisis identitas telah menjadi penyakit sosial yang sangat rentan. Orang tidak mempunyai pijakan atau pegangan yang kokoh dan sering terbawa arus opini massa dan tren-tren temporal. Solusi kecil yang kiranya dapat kita lakukan, yaitu mengenal dan menyadari diri kita. Lagi pula situasi pandemi yang belum kunjung usai ini bisa dijadikan sebagai kesempatan untuk mengenal Tuhan lebih dekat dan personal, membangun opini-opini positif dan mengapresiasi diri. Dengan itu diharapkan kita tidak mudah bungkam dengan hal-hal eksternal.
Akan tetapi selain mempunyai opini positif personal, sebagaimana kritik Yesus terhadap Petrus yang belum sepenuhnya memahami diri-Nya, kitapun harus selalu siap untuk mendefenisikan ulang konsep kita tentang diri kita sendiri, Tuhan, dan orang lain setiap waktu, karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan kaya. Barangkali kita masih keliru atau kurang dalam memberikan defenisi. Lagi pula kita tidak pernah selesai memahami Tuhan dan manusia, termasuk diri kita sendiri, secara mutlak.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus