Sabtu Pekan Biasa XXV
Bacaan I: Za 2,5-9;14-15a
Bacaan Injil: Luk 9,43b-45
Sahabat Pena Claret selamat berakhir pekan. Banyak dari kita sepakat, bacaan-bacaan suci hari ini mengandung dua tema besar: sukacita (Zakharia) dan penderitaan (Lukas). Dalam bacaan pertama kita melihat bagaimana bangsa Israel yang kembali dari pembuangan diizinkan membangun kembali Bait Allah di Yerusalem. Zakharia lalu mendapat penglihatan di mana seorang malaikat membawa tali pengukur namun keterangan selanjutnya adalah Yerusalem akan dibiarkan sebagai padang terbuka dan Tuhan sendirilah yang akan menjadi tembok apinya. Sedang dalam bacaan Injil Yesus sekali lagi menjelaskan tentang penderitaan-Nya kepada para murid yang belum juga mengerti.
Bicara tentang sukacita dan penderitaan, atau, “Sengsara membawa nikmat”, membuat kita teringat akan “Kajaki”, film tentang sekelompok pasukan Inggris bernama 3 Para yang terjebak dalam ladang ranjau aktif bekas invasi Soviet. Berulang kali mereka dijanjikan bantuan dan berulang kali harapan mereka pupus. Namun di tengah keputusasaan itulah “Kajaki” menjadi kisah tentang kesulitan yang ditanggung bersama atau persahabatan. Mereka bahkan masih sempatnya saling menghibur dengan membuat candaan, “Jika saya tidak kembali, beri tahu ibumu saya mencintainya”; yang lain, yang kakinya telah dimakan ranjau, berfantasi tentang bagaimana dia akan mabuk ketika kembali ke Aldershot, dan fantasi utopis tersebut ditepis lirih oleh rekannya yang lain, “Kawan, kamu tidak akan memiliki kaki selama sisa hidupmu”— dan keceriaan muncul di tengah penderitaan.
Para sahabat Pena Claret. Sukacita, tulis Bonhoeffer, “Tidak menyangkal adanya kesusahan, tetapi menemukan Tuhan di tengah-tengahnya”. Itulah yang dialami oleh umat Israel dalam bacaan pertama. Roly Bain, seorang pendeta Anglikan dalam A Call to Christian Clowning’ menyebut bahwa, “Kasih Tuhan adalah kasih dengan senyuman yang menebus” (hal. 39). Maksud Roly tampaknya adalah bahwa banyak dari kita tidak memberikan kesempatan kepada Tuhan untuk tersenyum pada kita, tertawa bersama kita, bernyanyi bersama dan menari kegirangan.
Tawa yang baik memiliki kekuatan mengubah bahkan pengalaman putus asa. Seperti yang dikatakan Victor Hugo, “Tertawa adalah matahari yang mengusir musim dingin dari wajah manusia” (Les Misérables). Tawa mempromosikan kesejahteraan fisik dan psikologis. Tertawa melepaskan kita dari beban yang tidak perlu, meredakan ketegangan dan neurosis.
Meister Eckhart menulis, “Apakah kalian ingin tahu apa yang terjadi dalam inti Trinitas? Saya akan memberitahu. Dalam inti Trinitas, Bapa tertawa – dan melahirkan Putra; Putra menertawakan Bapa – dan melahirkan Roh Kudus; seluruh Tritunggal tertawa – dan melahirkan kita”. Lantas bagaimana dengan pemberitaan kedua tentang penderitaan Yesus apakah harus disambut dengan tawa? Di dalam teks tidak dijelaskan apakah para murid merasa empati. Mereka hanya belum mengerti. Namun yang menarik, dalam ketakpahaman itu, mereka tetap setia mengantar Yesus menuju Yerusalem. Saya percaya di balik kisah getir Yesus yang akan diserahkan kepada tangan manusia, Ia tertawa bahagia, karena para murid-Nya yang selalu gagal memahami dimensi mesianik-Nya tetap menemani dengan segenap kekuatan dan kelemahan.
Misionaris Claretian di Medan