Permainan Bahasa Butuh Logika

Sumber Gambar Inilahbanten.co.id

Penaclaret.com – Bahasa bukanlah sebuah kata baru di telinga kita, melainkan suatu bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Bahasa merupakan bentuk verbal dari pikiran manusia, bahkan merupakan alat dan sarana untuk berkomunikasi. Akan tetapi, kenyataan riil manusia sering menunjukkan permainan bahasa yang dilantunkan lewat kata-kata mematikan tujuan utamanya. Bahasa sebagai sarana komunikasi sering diserong dan disorong ke arah untuk menunjukkan diri seseorang akan tingkat pengetahuannya.

Namun, hemat penulis, etalase semacam ini memosisikan subyek dalam dua keadaan. Di satu sisi, mengafirmasi kepintaran dan luas pengetahuannya, dan di lain sisi, menunjukkan kebodohannya jika menyematkan berbagai diksi dan istilah bukan pada tempat yang sebenarnya. Keadaan yang kedua ini membuat bahasa menjadi rancu dan tak bermakna. Apalagi jika pembaca dan penyimaknya adalah mereka yang awam akademik atau berpengetahuan pas-pasan. Mereka selalu melihat bahasa itu sebatas bisa menyampaikan sesuatu. Tujuannya sangat sederhana agar penerima informasi dapat memahami apa yang disampaikan. Sebagai sarana komunikasi bahasa dijadikan alat untuk saling memahami antar sesama.

Baca juga :  Bahagia Kok Pura-Pura?

Pemahaman bahasa tidak terlepas dari makna yang dikandung dalam konteks bahasa yang digunakan. Penggunaan bahasa logika yang sempurna berarti pemakaian alat-alat bahasa, seperti kata dan kalimat tepat sasaran. Tidak sedikit orang menggunakan diksi tertentu tanpa melihat konteksnya. Hal ini membuat informasi dan pembicaraannya kehilangan makna. Setiap diksi tidak bisa digunakan atau disematkan begitu saja dalam sebuah kalimat.

Penulis kadang-kadang merasa lucu membaca tulisan atau mendengar pembicaraan segelintir orang dengan argumentatif serba-serbi diksi yang rumit dipahami. Di satu sisi, itu perlu diapresiasi dengan kepandaiannya dalam permainan bahasa. Namun di lain sisi, sangat disayangkan jika diksi dan permainan bahasanya salah. Tentu hal ini dengan sendirinya akan menghilangkan maknanya. Perlu diketahui bahwa bahasa itu bermain dalam lingkaran logika. Bahasa punya aturan sintaksis untuk mencegah dan memerangi merebaknya bahasa dan ungkapan yang tidak bermakna.

Baca juga :  Roti Hidup: Bekal Menuju Keabadian

Dalam panggung filsafat, ada yang namanya analisis bahasa atau filsafat analitik. Hal ini memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisis pernyataan-pernyataan dan konsep-konsep yang logis. Hal ini bermaksud agar menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.

Salah satu tokoh filsafat analitik adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dia memberi pemahaman yang sederhana tentang permainan bahasa (language games). Lewat Philosophical Investigations, Wittgenstein menegaskan bahwa makna dari sebuah kata itu tampak dalam penggunaannya dan maknanya ada dalam hidup riil manusia. Bahasa perlu ditekankan aspek pragmatik demi kegunaannya yang tepat sasaran sebagai sarana dan alat komunikasi.

Permainan bahasa, diksi dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang tabuh, melainkan butuh kesadaran subyek pengguna dalam menyampaikan sesuatu. Entah lewat apa pun! Jika permainan bahasa tanpa logika. Maka akan banyak terjadi kesalahpahaman makna dan maksudnya. Untuk mengantisipasi kesalahpahaman ini, kita perlu menyelaraskan bahasa dengan logika yang disampaikan atau digunakan. Membuka kabut kesalahpahaman itu bukanlah mudah bagi segelintir orang. Subyek penyampai harus memahami konteks dan situasi yang ada.

Baca juga :  Fenomena Erotis: Resonansi Agustinian Dalam Fenomenologi Cinta Marion

Sebab bahasa pada suatu kalimat yang sama dapat memiliki kemungkinan penggunaan yang sangat berbeda bergantung pada konteksnya. Untuk itu, penulis mengamini apa yang ditekankan Wittgenstein bahwa permainan bahasa berkaitan dengan bahasa sehari-hari (ordinary language) yang bersifat sederhana. Quo vadis bahasa jika permainan diksinya tanpa logika?