Opini  

Penulis Kitab Suci dan Heidegger aja Mengutip. Apa lagi Kita?

Penulis Kitab Suci dan Heidegger aja Mengutip. Apa lagi Kita?
Picture by plimbi.com

Karena Plagiat

ClaretPath.com – Penulis Kitab Suci dan Heidegger aja Mengutip. Apa lagi Kita?

Dua semester lalu, sempat viral dalam ruang publik penulis, teguran yang dari seorang dosen kepada beberapa kerabat mahasiswa. Alasanya, karena mengambil paper atau karya ilmiah orang lain lalu mengumpulkannya sebagai tugas. Adapun peringatan, kalau mereka melakukan lagi, mereka akan dikeluarkan dari kampus. Nomenklatur Fenomena ini adalah plagiarisme, yakni penjiplakan yang melanggar hak cipta (https://kbbi.web.id/plagiarisme). Senyatanya, kita bisa memakai karya orang lain asalkan mengakui hak cipta dari yang bersangkutan. Kerabat-kerabat penulis tadi hanya mengambil tanpa mengakui. Padahal, ada banyak cara untuk mengakuinya, yakni melalui catatan kaki (foot note), catatan akhir (end note), body note, dan daftar Pustaka.

Sejarah panjang literasi berbagai bidang kehidupan manusia ditandai oleh tindakan mengutip gagasan orang lain dan mengakuinya. Misalkan, Heidegger memakai fenomenologi Husserl untuk proyek metafisikanya. Namun yang berbeda bahwa fenomenologi pada Husserl masih pada tahap epistemologi, yakni bagaimana sesuatu itu disadari atau ditangkap intensionalitas manusia. Fenomenologi pada Heidegger sudah merupakan ontologi, yakni bagaimana ada itu menyingkapkan dirinya. Fenomenologi dipakai oleh Heidegger untuk menjelaskan fenomenalitas “ADA”. Heidegger, gambaran orang yang kreatif dan imajinatif dalam memakai (mengutip) gagasan orang lain.

Teks-teks suci agama Kristiani juga berada dalam horison di atas. Para penulis suci (hagiograf) yang satu memakai nubuat dari yang lain untuk menyampaikan maksud dan kehendak. Misalnya, teks Amsal, “Apabila Ia menghadapi pencemooh, maka ia pun pencemooh, tetapi orang yang rendah hati dikasihani-Nya (Ams. 3:34).” Ungkapan ini kemudian dikutip oleh penulis surat rasul Yakobus, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati (Yak. 4:6).” Penulis surat Yakobus tentu memiliki pertimbangan tersendiri ketika mengutip Amsal.

Tulisan ini berpretensi melakukakan studi banding atas kedua perikop dengan mempelajari latar belakang teks, interese teologis dari masing-masing perikop, sintesa teologis dari kedua teks, dan relevansi kedua teks bagi kehidupan kontemporer. Dengan ini, kita bisa belajar bagaimana mengutip gagasan orang lain secara elegan (kreatif dan imajinatif).

Kerendahan Hati dalam Amsal (3:34)

Amsal, dipahami sebagai kata kiasan atau pepatah. Ia bertujuan menggambarkan maksud tertentu (teguran, nasihat, dan peringatan). Setiap amsal mengandung nilai edukatif yang disampaikan oleh pembicaranya kepada para pendengarnya. Kebiasaan seperti ini terdapat di semua bangsa. Namun yang membedakan Amsal orang Israel dengan amsal bangsa-bangsa lain adalah sifat yahwistisnya. Setiap Amsal Israel selalu tertuju pada YHWH. Dalam perspektif Amsal, Allah menghendaki agar umat-Nya takut pada dia.

Baca juga :  Etika Politik Dalam Keyakinan Budha Mahayana

Kebijaksanaan bersumber dari sikap batin kerendahan hati. Kerendahan hati adalah sikap batiniah terhadap Allah dan prinsip-prinsip yang diajarkan-Nya. Disposisi ini mempengaruhi pandangan kita dalam menanggapi peringatan Tuhan dan menerima kekuasaannya. Kerendahan hati dalam Amsal sering dan bahkan selalu diasosiasikan dengan sikap takut akan Tuhan (Ams. 22:4). Takut akan Tuhan mendatangkan kebijaksanaan. Sementara kerendahan hati membuahkan kehormatan (Jatniel Rodriguez, Humility in the Proverbs, 11).  Artinya, setiap orang yang takut akan Tuhan akan memiliki kerendahan hati (bdk. Ams. 11:2, 18:2). Sikap batiniah ini merupakan jalan menuju kehidupan yang bijak.

Orang yang rendah hati akan bersedia dituntut Tuhan. Sikap ini adalah sebuah tanda kebijaksanaan. Tuhan ingin umat-Nya hidup dalam kedamaian dan keutuhan. Tanggapan manusia menentukan kedamaian dan keutuhan yang ditawarkan Tuhan. Ada dua bentuk tanggapan terhadap undangan Tuhan tersebut, yakni para pencemooh dan yang rendah hati. Para pencemmoh adalah mereka yang menolak kerendahan hati (Jatniel Rodriguez, 12). Kutipan Amsal 3:34 merupakan gambaran mengenai tanggapan Allah terhadap para pencemooh dan yang rendah hati, “Allah akan mencemoohkan para pencemmoh dan menyayangi yang rendah hati.” Kesimpulannya untuk memperoleh kemurahan hati dan kebaikan hati Allah, kita harus memiliki kerendahan hati.

Kerendahan Hati dalam Surat Yakobus (4:6)

Surat Yakobus merupakan salah satu tulisan awal dalam sejarah literatur kekristenan. Surat ini ditulis hampir bersamaan dengan surat-surat awal rasul Paulus sekitar tahun 50-an. Berdasarkan studi literer atas surat Yakobus, para ahli menyimpulkan bahwa surat ini ditulis untuk 12 suku Israel di daerah diaspora (orang Kristen Yahudi), (Yak. 1). Term diaspora mengacu pada orang-orang Kristen Yahudi yang dipaksa meninggalkan Yerusalem dan Yudea setelah Stefanus mati syahid (Kis 8:1). Jemaat yang menjadi tujuan surat ini adalah Yahudi Hellenis. Mereka menetap di luar Palestina, yakni di sekitar wilayah-wilayah Mediterania Timur (Gregory Linton, Ph.D., 5).

Menurut Jobes, tujuan Surat Yakobus adalah memberikan petunjuk dan nasihat spiritual tentang hal-hal yang penting bagi persatuan dan kehidupan komunitas Kristen. Penulis surat Yakobus melakukan ini dengan menyatakan bahwa hikmat Kristen adalah kehidupan yang dijalani dalam ketaatan pada hukum Tuhan sebagaimana diajarkan dan dihidupi Yesus Kristus. J. Hartin mengemukakan bahwa surat Yakobus ditulis bukan untuk membangun pemahaman teoritis tentang iman. Persoalan utama yang disoroti penulis ini adalah soal eksplisitasi dari keimanan akan Kristus. Iman yang dihidupi harus otentik, benar, aktif, hidup, dan berbuah (Patrick J. Hartin, James, 31). Dengan intensi seperti ini dan latar belakang jemaat sebagaimana dibahas di atas, kita bisa memahami maksud tesrsirat penulis di balik pernyataan atau peringatannya, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati (Yak. 4:6).

Baca juga :  Bahaya Reduksi Pendidikan

Menurut Hartin, kutipan Yakobus 4:6 (Ams. 3:34) dipakai penulis untuk menegaskan ganjaran yang diterima bila bersahabat dengan kebijaksanaan yang datang dari atas dan dari bawah. Yakobus mengutip Amsal 3:34 untuk menguatkan keyakinannya soal ketidakberkenaan Allah terhadap orang yang sombong. Orang beriman yang sombong tidak mengekspresikan buah-buah dari keberimanan akan Allah, yakni kelembutan hati dan kerendahan hati (Patrick J. Hartin, 214). Orang yang hidup bijak memiliki jalan hidup yang unik dan khas, yakni eirenike (cinta damai), eupeothes (ketaatan), meste eleous kai karpon agathon (penuh kasih dan berbuah baik), dan adiakritos atau anypokritos (tidak munafik) (Yak. 3:15) (Patrick J. Hartin, 210-211). Sikap seperti ini akan berguna demi membangun kehidupan bersama sebagai anak-anak Allah.

Dari Epistemologi ke Etika

Dalam ulasan atau uraian di atas kerendahan hati selalu dikaitkan dengan Yang Transenden. Amsal menggambarkan kerendahan hati sebagai sebuah disposisi batiniah di hadapan YHWH dan hukumnya. Dalam perspektif Yakobus, kerendahan hati adalah implikasi logis dan pragmatis dari kedalaman intimitas bersama Allah. Sepintas, Amsal lebih menekankan aspek spekulatik-teoretis kerendahan hati, sedangkan Yakobus lebih menekankan aspek praktek dari kerendahan hati.

Dari perbandingan ini kita dapat mensistesiskan kerendahan hati dari dua perspektif ini. Keduanya selaras dalam memahami arti dari kerendahan hati. Dalam ranah domain, Amsal lebih mengarah pada domain epistemologis, sementara Yakobus lebih mengarah pada domain etik. Kedua perbedaan ini sebenarnya dikondisikan oleh konteks sosio-budaya yang dihidupi saat itu. Namun, hemat saya, kedua perbedaan ini dapat disintesisikan dengan satu pernyataan, yakni relasi dengan Allah menentukan relasi manusia dengan sesamanya dan makhluk hidup. Rendah hati di depan Allah berimplikasi pada relasi dengan sesama.

Bisakah Menjadi Rendah Hati tanpa Allah?

Banyak teolog menggagas bahwa kerendahan hati merupakan keutamaan yang fundamental. Kerendahan hati mendasari pertumbuhan dan perkembangan keutamaan-keutamaan yang lain (kelembuatan hati, keramahan hati, kesopanan). Sebagai orang beriman, kerendahan hati dibangun berdasarkan keintiman dengan Realitas Transenden. Buah dari keintiman ini adalah menjadi rendah hati di hadapan sesama. Hemat saya, inilah sebuah sintesa yang dapat kita bangun berdasarkan telaah kritis dan reflektif terhadap teks-teks suci di atas.

Membicarakan sentralitas Yang Transenden dalam kehidupan manusia di zaman ini kelihatan sebagai sesuatu yang usang. Tidak relevan lagi bila membahas atau menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan manusia. Kenyataan ini tidak terlepas dari upaya sekularisasi berbagai dimensi kehidupan manusia. Upaya sekularisai ini dilaterbelakangi oleh anggapan bahwa adanya Allah membatasi kebebasan manusia. Allah harus dibunuh. Dengan gagasan seperti ini, manusia tidak harus mengimani Allah agar dapat menjadi rendah hati terhadap sesama dan alam semesta. Meyakini Allah hanya merupakan satu opsi untuk menjadi rendah hati. Manusia memiliki kecukupan fakultas epistemologi dan etika untuk mengetahui dan mengamalkan kerendahan hati.

Baca juga :  Nusantara: Peradaban Klasik yang Hilang Dulu dan Kini

Namun, melihat kenyataan kerusakan ekologi yang berujung pada penyingkiran manusia lemah, ada upaya untuk mengurungkan gerakan sekularisme yang masif akhir-akhir ini. Muncul pertanyaan, andaikata manusia darinya sendiri memiliki kemampuan untuk hidup bijak, mengapa ada kerusakan dan penindasan terhadap alam semesta dan sesama? Kenyataan ini sedang menunjukkan bahwa ada krisis moral karena semua pertimbangan manusia dibangun atas dasar dirinya sendiri. Implikasinya, the self menjadi ukuran dan tujuan. Tidak mengherankan bahwa yang lain dijadikan tumbal demi memenuhi kepentingan egositik dan narsistik the self.

Kehilangan orientasi dan basis moralitas manusia dapat menunjukan bahwa diskursus moralitas berdasarkan ajaran agama-agama masih relevan untuk dihidupi saat ini. Teologi masih relevan sebagai sebuah perspektif atau pandangan yang memberi pertimbangan epistemologis dan etis bagi relasi manusia dengan lyan. Di sini letak persoalannya bagi orang beriman sendiri. Bagaimana relasi manusia bersama Allah dibawa ke dalam ruang publik yang nota bene berbeda kode epistemologisnya, yakni klaim kebenaran dan pemaknaan. Mengikuti Habermas, rasionalitas publik menjadi filter setiap praksis dan gramatika keagamaan.

Tidak Salah kalau Mengutip

Beberapa kerabat saya yang ditegur pihak kampus mungkin tidak menyadari bahwa ada pedoman akademik yang mesti dipahami ketika mengutip suatu gagasan. Adalah sebuah kerendahan hati kala kita mengutip pendapat atau gagasan orang lain. Yang terpenting mengkauinya sesuai dengan kaidah-kaidah akademik yang menjadi konsensus sebuah institusi. Namun, pada akhirnya kita harus belajar dari para tokoh dunia (Penulis Surat Yakobus dan Heidegger). Kita mengutip demi membangun dan memperluas cakrawala pemahaman. Kita mengutip untuk memproduksi atau menginisiasi gagasan-gagasan yang baru. Imajinasi dan kreativitas dibutuhkan. Kreativitas bisa dipelajari dari banyak sumber. Imajinasi bisa diperluas dengan membaca banyak hal, berjumpa dengan realitas, dan merenung. Inilah yang dilakukan oleh banyak penulis hebat di dunia ini.

Penulis Kitab Suci dan Heidegger aja Mengutip. Apa lagi Kita?

Penulis Kitab Suci dan Heidegger aja Mengutip. Apa lagi Kita?