Pengakuan Simeon || Sabda Harian

Image by Herald Malaysia

Penaclaret.com – Tak jarang kita mendengar atau mungkin sejenak membaca berbagai kisah pengakuan terhadap Yesus yang terdapat dalam Kitab Suci, seperti pengakuan Petrus (Lukas 9:18–20) dan pengakuan Yesus yang adalah Tuhan ( Roma 10:9-10; 1 Korintus 12:3; Roma 10:9-10). Kisah-kisah tersebut hendak menampilkan sisi ilahi dalam diri Yesus, Putra Allah yang telah menjadi manusia. Gelar Yesus yang adalah Tuhan pun bukan menjadi sebuah dongeng yang terus menerus diceritakan seiring berubahnya zaman. Fakta hidup yang memiliki nilai historis tersebut hendaknya menjadi bukti kuat bahwa seorang yang bernama Yesus Kristus, dulunya pernah hidup bersama manusia, meskipun pada akhirnya dianggap sebagai “bongkahan omong kosong” yang berusaha mempengaruhi pemikiran publik di zaman-Nya sehingga harus dilenyapkan.

Baca juga :  Menuduh: Membebaskan loh! | Renungan Harian

Tokoh dan penokohan, baik dalam Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes pun menjadi bukti pendukung bahwa ada dialog yang sempat terjalin antara Yesus yang disebut Kristus dengan orang-orang Israel di zaman-Nya. Salah satunya bisa kita lihat bersama dalam kisah Simeon yang hidupnya penuh dengan kesalehan. Bagi Simeon, Yesus adalah Kristus (Yang diurapi); sebaris ungkapan yang digerakan Roh Kudus untuk mengakui bahwa Yesus benar-benar seorang penghibur yang dinantikan Israel, seperti dirinya. Simeon melihat Yesus sebagai “Yang diurapi”, sehingga cenderung memunculkan kesan bahwa Yesus adalah seorang yang sungguh-sungguh ia nantikan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Simeon? Mengapa ia sungguh merasa tenang dalam kematiannya ketika ia sudah menemukan Kristus dalam diri Putra Maria dan Yosef itu?

Baca juga :  Berbahasa adalah Gambaran Kepribadian | Renungan Harian

Simeon sebenarnya menjadi potret sederhana dari gambaran Israel yang sungguh merindukan sosok seorang penyelamat. Seperti yang sudah diketahui bersama, dalam tradisi Perjanjian Lama, Allah tidak lagi berbicara secara langsung dengan manusia sampai Yosua wafat. Selebihnya, sejarah perjalanan hidup bangsa Israel dituntun oleh hakim-hakim (bdk. kitab Hakim-Hakim) yang dipilih di kalangan bangsa Israel dengan cara musyawarah. Akibatnya, apa yang diajarkan para hakim itu tidak sepenuhnya sejalan dengan perintah Tuhan karena dijalankan sepenuhnya dengan cara dan kehendak manusia. Kehidupan Israel selanjutnya justru mengalami kemerosotan iman karena berpaling ke Allah lain dan membawa mereka pada pengalaman penderitaan. Gambaran seperti ini yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa orang Israel, seperti Simeon sangat merindukan seorang penghibur.

Baca juga :  Hukum Taurat Menakutkan?

Dalam masa Natal ini, kita diajak untuk tetap menjadi para pengikut Kristus yang tidak hanya melabel diri sebagai seorang Kristen, melainkan menghidupi apa yang telah diperintahkan Tuhan kepada kita. Simeon menjadi tempat kita belajar bahwa menanti Tuhan perlu dengan sikap kesalehan dan bertindak baik melalui sikap kasih terhadap sesama.